Jika Beribadah Bisa di Mana Saja, Dapatkah Iman Diselingi Tawa?

Konten dari Pengguna
30 Mei 2017 16:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eddward S Kennedy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Agama dan anak-anak (Foto: Pixabay)
Saya bukan orang yang religius. Bagi sebagian mereka yang mengenal, saya bahkan dianggap sengaja berjarak dengan segala hal tentang religiusitas. Bukan tuduhan yang salah-salah amat, sebetulnya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, beberapa kali saya mendapati momen religi yang lumayan berkesan. Saya akan ceritakan beberapa di antaranya.
Ketika SD, bapak sering mengajak saya berburu babi hutan bersama teman-temannya. Mereka tergabung dalam organisasi bernama Porbi Jaya: Persatuan Olahraga Buru Babi Jakarta Raya.
Kebanyakan dari mereka adalah orang Minang, ada pula Batak, Jawa, Tionghoa, dan sebagian penduduk setempat. Biasanya kami berburu pada akhir pekan. Berangkat subuh dari rumah, rombongan akan janjian di rest area untuk kemudian konvoi ke lokasi perburuan.
Tiba di lokasi, para pemburu akan mengeluarkan semua anjing yang mereka bawa dan mulai menyisir titik-titik yang disinyalir menjadi sarang babi. Jika tepat, tiap anjing akan menyalak, begitu pula dengan para majikannya yang ikut teriak-teriak. Histeria massal terjadi dan di situlah titik didih perburuan.
ADVERTISEMENT
Ketika siang tiba, rombongan beristirahat. Masing-masing akan membuka matras dan asyik menyantap bekal yang dibawa dari rumah.
Ini yang menarik: banyak dari para pemburu yang tak lupa menunaikan ibadah shalat dzuhur. Setelah makan dan mengikat anjing masing-masing di pohon, mereka mulai shalat berjamaah.
Pernah suatu siang di dalam hutan di daerah Jonggol, persis ketika shalat berjamaah dilakukan, melintas seekor induk babi bertubuh besar. Anjing-anjing sudah ribut menyalak.
Mereka yang tak ikut shalat segera melepas anjingnya. Sementara bagaimana dengan jamaah yang shalat tadi? Ada yang nyelonong keluar dari shaf dan ikut perburuan, ada pula yang tetap khusyuk.
Satu hal pasti: semua tertawa bersama-sama karena momen yang tak disangka-sangka itu.
ADVERTISEMENT
* * *
Setiap perayaan May Day, segenap elemen pergerakan mahasiswa dan para pekerja di Jogja akan berkumpul di titik nol--pusat kota. Mereka menggelar demonstrasi damai dengan membacakan tuntutan hak buruh.
Pada May Day 2009, saya bersama kawan-kawan ikut turun ke jalan. Aksi yang semestinya berlangsung damai itu mendadak jadi ricuh lantaran ada ormas yang menamakan dirinya FAKI (Front Anti Komunis Indonesia) dan dengan gegabah berusaha membubarkan massa.
Dengan mengendarai dua mobil pikap dan berseragam selayaknya tentara, mereka menyerang membabi buta. Beberapa kali saya dan kawan-kawan baku pukul dengan mereka sebelum rombongan polisi datang mengamankan kericuhan.
Tapi kisah serunya bukan di situ…
Kami panik karenan seorang kawan lain tidak ada di lokasi. Kami mencoba menghubungi telepon selularnya, aktif tapi tak diangkat. Kami bertanya ke rombongan lain, kabarnya tetap nihil.
ADVERTISEMENT
Kami mulai menduga-duga: jangan-jangan ia diculik?
Hingga kemudian ketika kami melintasi ruas jalan yang tak jauh dari situ, persis di bawah pepohonan yang rimbun, kami melihat si kawan tadi tengah berada dalam posisi tahiyat akhir di atas gelaran koran..
Tentu kami merasa takjub. Pada saat situasi mencekam, kawan ini masih ingat kepada Yang Maha Kuasa. Luar biasa. Namun semua berubah ketika ia mengatakan sesuatu.
“Apik tho akting shalatku? Hehehehe…”
“Cah asu!” Umpat kami bersama-sama kepadanya.
* * *
Masih ada beberapa kisah konyol lain yang pernah saya dapati.
Misal: seorang kawan yang belagak shalat subuh di atas gunung hanya menggunakan sarung dan bertelanjang dada. Hasilnya malah terkena hipotermia level dini. Absurd.
ADVERTISEMENT
Tapi ada baiknya kisah-kisah yang lain saya simpan karena berpotensi dianggap “menistakan agama”.
Anda tahu, hari ini, ketika banyak orang begitu bangga beriman dengan cara yang amat sensitif, sikap memperlakukan iman dengan sedikit humor akan segera dituding “sesat” atau “tak menghormati keyakinan seseorang”.
Hari ini, banyak orang beragama dengan begitu emosional, begitu menggebu mengkapling surga sendirian, hingga menganggap perbedaan lain sebagai ancaman. Semacam musuh yang harus segera dienyahkan.
Barangkali iman mereka terbuat dari lempung yang mudah goyah dan musykil tegak, maka berlindung di balik kemarahan adalah satu-satunya cara membentengi keyakinan.
Mungkin kita perlu bertanya: jika beribadah bisa di mana saja, dapatkah iman diselingi tawa?