news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Yang Menyenangkan dan Menakutkan dari Ramadhan Dulu dan Sekarang

Konten dari Pengguna
27 Mei 2017 18:54 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eddward S Kennedy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Ramadhan Dulu dan Sekarang (Foto: Thinkstock)
Ada dua hal yang paling dinanti ketika Ramadhan tiba bagi anak-anak: bunyi bedug yang ditabuh dan shalat taraweh.
ADVERTISEMENT
Meresapi tetabuhan bedug di kala maghrib saat Ramadhan adalah menghayati kemenangan melawan setan. Begitulah wejangan yang kerap dituturkan setiap orangtua kepada anaknya.
Saya kira, persoalannya tidak sedramatis itu bagi anak-anak. Mereka menikmati maghrib tiba selayaknya kode kebebasan. Semacam peluit tanda dimulainya permainan. Dan ajang sholat taraweh adalah momen yang tepat untuk merealisasikannya.
Maka jangan heran ketika taraweh tiba banyak masjid atau mushola beralih fungsi seperti layaknya taman bermain. Anda akan menemui riuh keramaian anak-anak dan ragam permainan. Pekik gembira dan sorak sorai yang menyenangkan.
Mereka yang bermain petasan, berkejar-kejaran main petak umpet, tepok benteng, pijit sarung. Bahkan saling mengerjai sesama ketika khusyuk shalat seperti menarik kaki ketika sujud atau menyingkap sarung teman di depan teman-teman perempuan.
ADVERTISEMENT
Pray (Foto: Pixabay)
Belasan tahun lalu, saya merasakan itu semua setiap puasa. Kesenangan untuk bermain saat taraweh segendang-sepenarian dengan perasaan semringah ketika adzan maghrib dikumandangkan. Terutama di minggu awal Ramadhan.
Saya akan segera meluncur ke masjid dekat rumah tak lama setelah menikmati santap berbuka. Menemui teman-teman, lalu kami bersama-sama mengambil wudhu, saling menciprati air satu sama lain dan baru terdiam ketakutan sejenak ketika ada bapak-bapak yang memarahi kami.
Acara bermain-main sesungguhnya dimulai ketika pertengahan taraweh. Satu per satu dari kami keluar, dan, ya, semua terjadi tanpa komando. Semacam anarki hura-hura tanpa arah dengan tujuan yang begitu sederhana: bersenang-senang.
Sudah berapa puluh bulan ramadhan saya lewati, dan tahun ini, saya kira salah satu ramadhan yang terburuk.
ADVERTISEMENT
Asumsi tersebut menguar setelah saya membaca sebuah berita segerombolan anak-anak yang tengah melakukan pawai obor menyambut Ramadhan beberapa hari lalu. Sepintas begitu menyenangkan melihat ritual itu masih terjadi di zaman serba bergegas seperti sekarang, terutama di wilayah urban.
Akan tetapi, betapa mengerikannya setelah mengetahui apa yang mereka serukan: sorak sorai untuk membunuh Ahok.
Bunuh, saudara-saudara. Bunuh.
Angry gif (Foto: Istimewa)
Anda harus tahu sebelumnya, saya bukanlah simpatisan cagub manapun. Saya memilih jalur Golongan Putih pada momen pencoblosan, bahkan ketika Pilpres 2014. Saya sengaja berjarak dengan politik praktis. Mungkin karena sudah tak percaya lagi dengan elit-elit di republik ini, maka nihilisme politik adalah satu-satunya hal yang masuk akal bagi saya.
Pada Pilgub tempo lalu, saya sama sekali tidak tertarik kepada (program) Anies - Sandi. Pun sebelumnya, saya juga kerap mengkritik kebijakan Ahok yang doyan menggusur rakyat kecil.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini, harapan positif saya sederhana belaka: semoga Jakarta aman terlepas dari siapapun yang terpilih.
Tapi saya sepertinya perlu menimbang ulang dengan amat serius harapan tersebut setelah membaca berita tadi. Sentimen politik yang terjadi di pertarungan Cagub DKI sudah sedemikian brutal dan bengisnya hingga anak-anak dengan begitu ceria mengglorifikasi pembunuhan.
Saya sadar masih ada kemungkinan lain: barangkali setelah dewasa anak-anak tadi akan menyadari betapa mengerikan kelakuan mereka.
Anda tahu, pengalaman membentuk pola pikir, dapat pula mengubah pandangan hidup. Tak sedikit dari mereka yang ketika kecil hidup dalam doktrin ketat agama, justru tumbuh sebagai pribadi yang sekular-liberal. Begitu pula sebaliknya: mereka yang liberal sejak kanak justru menjadi seorang ekstrimis garis keras.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, kemungkinan terburuk pun masih terbuka.
Bagaimana jika anak-anak tadi tumbuh besar sebagai serdadu ganas yang saban melihat perbedaan sebagai dalih untuk menghabisi? Bagaimana jika sentimen rasialisme itu begitu mengakar kuat di benak mereka? Bagaimana jika memang seperti itulah wajah generasi Indonesia pada tahun-tahun mendatang?
Terlalu banyak kemungkinan, terlalu sedikit--untuk menyebut tidak ada sama sekali--upaya untuk mengembalikan kembali anak-anak kepada marwahnya. Mereka adalah korban dari kebiadaban politik orang-orang dewasa yang terlalu pongah dan kebelet kekuasaan. Menjijikkan.
Saya tak tahu adakah saya hanya sedang bersedu sedan atau memang betul ketakutan. Barangkali, saya hanya rindu ramadhan yang menyenangkan.