Supir Uber dan Cici, Malam Itu di Mampang

Konten dari Pengguna
13 Juni 2017 17:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eddward S Kennedy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Transgender (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Transgender (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Perempatan Mampang, pukul 11 malam. Seketika supir Uber itu membuka jendela dan berteriak memanggil seseorang di lampu merah: “Cici!” “Cici!”
ADVERTISEMENT
Yang dipanggil segera menyahut dari kejauhan: seorang pengamen transgender berperawakan gempal. Ia bergegas menghampiri sang supir. Keduanya lantas bertukar sapa dengan akrab, seperti karib yang telah lama tak bertemu.
Berselang detik kemudian, Cici spontan berkata: “Anterin gua pulang dong, bentar lagi ada 'garukan' nih.”
Sang supir meledeknya. “Enak aja, minta izin dulu tuh sama mas di belakang.”
“Boleh, ya, Mas?” Boleh dong…”
Mas yang dimaksud adalah saya dan Cici pun saya persilakan naik di bangku depan.
* * *
Cici, tentu bukan nama sebenarnya, memang biasa beroperasi di seputaran perempatan Mampang. Malam itu, dengan mengenakan seragam laksana penari balet -- rok tutu berwarna putih, stocking, atasan unitard, dan sepatu yang berwarna sama -- ia tampak masih asyik ngalor ngidul bersama pengamen lain di lampu merah.
ADVERTISEMENT
Di perjalanan, saya kemudian tahu betapa Cici dan si supir memang punya relasi karib. Cici sempat bekerja sebagai pelayan di salah satu rumah makan milik supir Uber tersebut. Namun karena pendapatannya kurang, ia pun mencari pemasukan tambahan sambil mengamen di jalanan.
Cici, Anda tahu, sejatinya adalah seorang ayah dengan anak satu. Di Jakarta, ia kos sendirian di sekitar Warung Buncit. Istri dan anaknya di kampung dan tentu saja tidak ada yang tahu jika ayahnya mesti bersalin rupa (profesi) setiap malam.
Si supir mengatakan, Cici menempuh jalan sebagai transgender karena sudah “gelap” dalam mencari pemasukan tambahan.
Saya tak paham apa yang dimaksudnya dengan “gelap”, tapi dari keterangannya, istilah tersebut kurang lebih bermakna sama seperti “buntu” mencari pekerjaan. Bukan merupakan justifikasi seksualitas.
ADVERTISEMENT
Cici sempat bekerja serabutan, termasuk mencoba melakoni jalan sebagai make up artist. Gagal. Si supir mengenal Cici dari istrinya yang juga berprofesi sebagai tukang rias. Ia lalu diajak bekerja di resto milik si supir. Di sana Cici bekerja dengan tekun kendati, ujar si supir dengan berkelakar, “sering meminjam uang”.
“Dia tuh sering minjem duit sama saya. Nggak pernah gede, sih. Kadang 100, 200. Terakhir 200, katanya buat anaknya yang nggak mau sekolah kalo nggak dibeliin sepatu baru.”
“Tapi dia selalu balikin. Hari ini dia pinjem, besok udah dibalikin.”
* * *
Obrolan kami singkat belaka. Sekiranya tak sampai 10 menit, Cici sudah turun di Warung Buncit. Saya menyalaminya ketika turun dan ia, dengan becanda tentu saja, memainkan telunjuknya di telapak tangan saya.
ADVERTISEMENT
Saya melihatnya dari kejauhan dan berpikir bagaimana ia pulang nanti? Apakah ia akan mengganti bajunya dulu atau cuek belaka menuju kos? Atau seperti apa?
Seolah mengetahui apa yang saya pikirkan, si supir melanjutkan cerita soal Cici.
“Jam segini dia emang baru selesai ngamen. Biasanya dia juga tau tuh saya juga suka lewat sini jam segini. Kadang kalo abis saya anterin, saya diminta tungguin dia ganti baju dulu, hahaha…”
Rumah si supir di Depok dan memang satu arah dengan pulangnya Cici. Jika bertemu di perempatan itu, keduanya pasti akan pulang bersama.
Saya percaya si supir adalah jenis orang baik yang cukup langka. Perlu nyali dan nihil gengsi untuk melakukan adegan seperti tadi di tengah jalan raya Jakarta: memanggil seorang transgender dan mengajaknya pulang bersama menaiki mobil.
ADVERTISEMENT
Jika itu belum seberapa, masih ada faktor lain: ia melakukannya ketika tengah membawa penumpang.
Ada risiko besar baginya untuk dilaporkan karena dianggap melakukan hal tak nyaman. Akan tetapi ia, dengan jenaka dan tanpa pretensi moral apapun, mengajak saya untuk menempuh kebaikan yang sama.
“Kita ini mah siapa sih, dosanya juga banyak. Kalo bisa bantu orang, ya, bantu. Ada yang kesusahan, ya, tolongin. Sebisanya aja, asal jangan diem kalo emang mampu. Dia (Cici--red) juga orang baek. Nyari duit halal.”
* * *
Anda tahu apa yang terbaik dari cerita ini? Semua ini, kawanku, terjadi di bulan Ramadhan, beberapa malam lalu.