Rilis Media Walhi Jatim

Supriyadi
freelancer
Konten dari Pengguna
27 Mei 2020 22:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Supriyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kondisi Gunung Tumpang Pitu. Dok Walhi Jatim
Fokus Atasi Virus dan Hentikan Sementara Operasi Pertambangan
Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Coronavirus Disease dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Skala Besar, yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi tampaknya tak berlaku bagi korporasi tambang. Pasalnya korporasi tambag hingga kini masih berproduksi secara masif.
ADVERTISEMENT
Jika merujuk pada rilis JATAM Nasional hampir di beberapa wilayah tambang seperti Morowali, Sulawesi Tengah; Konawe, Sulawesi Tenggara; Halmahera, Maluku Utara; Mimika, Papua; Dairi, Sumatera Utara; Banyuwangi, Jawa Timur; Pati dan Rembang, Jawa Tengah; dan Kalimantan Timur. Masih beroperasinya korporasi tambang hingga saat ini di tengah pandemi tentu mempertaruhkan keselamatan para buruhnya dan terus menerus menyebabkan kerusakan lingkungan secara masif.
Sebelum adanya pandemi seluruh aktivitas pertambangan telah menimbulkan aneka eksploitasi, baik lingkungan yang terus dikeruk sampai habis, munculnya aneka kriminalisasi, hingga terkait rentannya buruh tambang. Kerentanan ini erat korelasinya dengan keselamatan buruh, hak-hak buruh tambang juga seringkali dilanggar.
Rata-rata buruh tambang yang bekerja, merupakan warga lokal yang ruang hidupnya terampas sehingga mau tidak mau bekerja di pertambangan. Kondisi ini semakin kompleks, kala hampir di seluruh wilayah tambang memunculkan konflik sosial antar warga, menimbulkan pencemaran lingkungan dan berakibat fatal bagi ketahanan pangan, sebab ruang-ruang produktif yang menghasilkan bahan pangan secara gradual menurun kesuburannya. Air yang tercemar, udara yang tercemar, padahal syarat mutlak keberlanjutan pangan adalah terjaganya lingkungan hidup, sebagai rerantai ekologis yang saling menopang.
ADVERTISEMENT
Kondisi pelik ini juga menyasar di wilayah Jawa Timur, berdasarkan observasi Walhi Jatim bersama jaringan akar rumput, ditemukan beberapa aktivitas pertambangan yang mengancam keberlajutan hidup manusia dan lingkungan.
Selain itu kondisi buruh tambang juga dipertaruhkan, seperti tidak adanya jaminan sosial dan kesehatan selama pandemi, tidak adanya protokol kesehatan seperti penyediaan rapid test dan alat perlindungan diri, menjadikan keselamatan mereka terancam. Tidak hanya para buruh yang terancam tetapi ekosistem dan keselamatan warga pada umumnya.
Potret Aktivitas Pertambangan di Masa Pandemi
Baru-baru ini pada 8 Mei 2020, PT GLI Pacitan di tengah pandemi juga tetap melakukan aktivitas pertambangan. Pada saat itu ada dua buruh tambang yang mengalami kecelakaan kerja, satu meninggal dunia dan satu luka cukup serius. Penyebabnya adalah terowongan tersebut runtuh secara tiba-tiba. Kondisi ini menunjukan bahwa aktivitas tambang PT. GLI, selain mengancam buruhnya, lingkungan dan juga pertanian, berpotensi menganggu sistem ketahanan pangan. Perlu diketahui juga, selama pandemi PT. GLI tetap melajutkan aktivitas tanpa jaminan kesehatan pada buruh, lalu tidak ada protokol kesehatan soal Covid-19.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, sejak diberikan izin operasi penambangan Tembaga tahun 2008 di Desa Kluwih, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. PT GLI menjadi aktor dalam kerusakan lahan pertanian warga dan penyebab tercemarnya air sungai yang diakibatkan oleh limbah tambang. Dampaknya hasil panen tanaman padi di Dusun Kwangen Desa Cokrokembang terus menurun drastis.
Jika sebelum tambang sepetak sawah bisa menghasilkan 20 karung padi, maka pasca tambang hanya 12 karung. Kondisi ini diakibatkan oleh pertumbuhan padi yang terganggu akibat adanya perubahan terhadap kesuburan tanah yang diakibatkan aktivitas pertambangan. Kondisi tersebut dapat dilihat pada tingkat kesuburan tanah sawah yang berangsur-angsur menurun dan mulai berwarna pucat.
Tidak hanya di Pacitan, situasi aktivitas pertambangan yang masih berjalan juga terjadi di wilayah Puger, Jember. Tercatat di wilayah Gunung Sadeng, Kecatamatan Puger, Kabupaten Jember, kurang lebih ada sekitar 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk eksploitasi batu gamping. Baik berbentuk CV (10 unit), KUD (3 unit) hingga PT (9 unit) dengan total luasan operasi produksi sebesar 254.74. Operasi tambang ini tersebar di tiga desa yakni, Desa Puger Kulon, Puger Wetan dan Grenden.
ADVERTISEMENT
Situasi ini menyebakan problem yang cukup serius bagi ekosistem karst di Gunung Sadeng, sebab menganggu fungsi alamiahnya sebagai kawasan resapan air. Tingginya aktivitas pengerukan di karst puger juga turut meningkatkan resiko bencana Longsor. Tingginya potensi bencana longsor, disebabkan oleh adanya struktur batuan kapur yang secara sifat sangat mudah tergerus oleh air, jika ditambang maka permukaannya berkurang, apalagi vegetasinya sebagai penahan banyak yang hilang, kondisi itu menjadikan bukit-bukit yang dikeruk menjadi keropos dan rawan longsor.
Kondisi itu juga dipercepat dengan adanya pabrik semen yang melakukan menambang kapur sebagai bahan baku pembuatan semen. Secara terus menerus. Menurut Kompas.id, Senin (25/3/2019) “Gunung Sadeng, gunung kapur di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, longsor, Akibat peristiwa itu, satu orang hilang, dua orang terluka, dan enam kendaraan berat tertimbun.”
ADVERTISEMENT
Karst Puger sendiri kini masuk dalam rencana eksploitas proyek besar baik oleh Imasco Asiatic, Semen Puger Jaya Sentosa, Bangun Artha Mineral dan Pertama Mina Sutra serta aneka usaha tambang lainnya, baik legal maupun ilegal. Mengingat kondisi Gunung Sadeng sudah cukup memprihatinkan. Gunung Sadeng oleh Pemerintah Kabupaten Jember hanya dianggap sebagai uang saja, yang diklaim akan memberikan PAD besar.
Situasi pertambangan juga mengakibatkan aneka masalah salah satunya melakukan relokasi saluran irigasi pertanian warga, proses relokasi saluran irigasi telah dilakukan sejak tahun 2018. Imasco hingga kini belum mengantongi izin dari Pemerintah provinsi Jawa Timur. Izin yang dikantongi oleh Imasco hanya melalui PU Bina Marga Jember yang tak memiliki kewenangan. Proses relokasi ini pun mengancam keberadaa lahan pertanian warga, sebab akan menganggu proses irigasi dalam menghidupi tanaman warga. Serta telah menimbulkan konflik horizontal antar warga yang pro dan kontra.
ADVERTISEMENT
Imasco pun tak mematuhi teguran Bupati Jember bernomor No 610/195/35.09.312/2020, tentang mengembalikan saluran irigasi seperti semula. Tidak ada itikad baik dari pemerintah Jember, baik sebelum maupun setelah protes petani dan mahasiswa PMII. Hingga dalam penagihannya berujung tindakan kekerasan kepada aksi massa pada 9 Maret 2020, sehingga mengakibatkan 6 orang dibawa ke rumah sakit dan puluhan massa aksi mengalami luka-luka, yang kebanyakan adalah mahasiswa PMII Jember,
Imasco hingga kini masih melakukan pembangunan pabrik, padahal situasi sedang berbahaya, kala ada protokol kesehatan dari WHO yang menghasruskan untuk jaga jarak, atau social distancing dan phsycal distancing. Ada kurang lebih 500-an buruh, dengan rincian 200 buruh merupakan warga negara asing dari China dan 300 lebih buruh lokal.
ADVERTISEMENT
Selama Covid-19 pun Imasco juga tidak menjamin kesehatan buruhnya, untuk keseluruhan buruh tidak ada kebijakan pendektesian dini melalui rapid test. Tidak ada pemenuhan hak kesehatan bagi buruh, atau kebijakan protokol kesehatan. Bahkan buruh dari China pun juga tidak mendapatkan hak kesehatan, dan mereka juga tidak menerima rapid test.
Situasi ini menunjukan ada pelanggaran hak pekerja yang menyalahi aturan ILO dan UU Ketenagakerjaan. Situasi lanjutan adalah persoalan perlakuan Imasco pada buruh yang tidak baik, ratusan buruh konstruksi di-PHK sepihak tanpa kejelasan, mereka umumnya buruh kontrak jangan pendek dan tidak mendapatkan pesangon.
Ratusan buruh ini bahkan melakukan unjuk rasa pada 24 Maret 2020 saat meluasnya Covid-19, sebab masih ada buruh lain yang tetap bekerja dan mereka menuntut kejelasan sikap Imasco. Hak-hak buruh tidak dipenuhi, melakukan PHK tidak melalui prosedur, tidak ada ruang demokrasi bagi buruh, ini dilihat tidak ada serikat pekerja dan kepatuhan pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang hak-hak pekerja/buruh.
ADVERTISEMENT
Situasi di Banyuwangi pun juga cukup memprihatinkan, eksploitasi masif PT. BSI dan PT.DSI telah mengancam keberadaan ekosistem Tumpang Pitu, walaupun diklaim ramah lingkungan. Tidak ada ceritanya industri ekstarktif yang tidak merusak ekosistem, pengerukan dan akitivitas tambang secara gradual mengurangi keberlanjutan ekosistem, tercatat PT. BSI memiliki IUP yang luas, yakni ada 4.998 Ha, sementara PT.DSI memiliki IUP seluas 6.558,46 Ha.
Selama Merdeka Cooper Gold (BSI dan DSI) hadir untuk mengeruk gunung Tumpang Pitu, konflik akan terus terjadi dan merugikan rakyat itu sendiri. Bahkan di sana pernah terjadi kriminalisasi pada warga yang menolak adanya pertambangan, tercatat sepanjang 2017 ada empat warga yang dikriminalisasi atas tuduhan menyebarkan simbol komunis. Satu orang dinyatakan sebagai tersangka, walaupun bukti tidak kuat.
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi Covid-19, pada 27 Maret 2020, warga Tolak Tambang Emas Gunung Tumpang Pitu dan Salakan, melakukan aksi blokir jalan di pertigaan Lohwi, Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi. Aksi pemblokiran ini khususnya ditujukan terhadap aktivitas kendaraan dan kegiatan produksi pertambangan yang dilakukan oleh PT Bumi Sukseksindo (BSI). Aksi ini bermula saat pemerintah mendesak agar warga menutup “tenda perjuangan tolak tambang” yang ada di Dusun Pancer, Sumberagung sebagai respons atas adanya penyebaran virus corona (Covid-19).
Warga menolak untuk menutup tenda perjuangan mereka. Dan warga mengatakan, “jika tenda perjuangan ditutup, maka tambang juga juga ditutup. Karena jika perusahaan tambang masih beraktivitas produksi, akan ada lalu lalang pekerja, yang datang dari berbagai daerah. Dengan demikian bisa saja hal tersebut juga mempercepat penyebaran virus corona.”
ADVERTISEMENT
Berhubung kegiatan pertambangan milik PT BSI terus berjalan, warga melakukan aksi blokir jalan sejak tanggal 26 Maret 2020. Dalam perkembangannya aksi tersebut malah direspon oleh pemerintah dengan mendatangkan aparat keamanan dalam jumlah banyak. Karena aksi tersebut dianggap mengganggu investasi dan kegiatan pertambangan, aparat keamanan membubarkan paksa aksi warga tolak tambang pada Jumat sore, 27 Maret 2020.
Bentrokan pun tak terhindarkan. Situasi ini semakin memanas, saat sejumlah orang yang dianggap pro tambang ikut memprovokasi warga tolak tambang. Akibatnya kericuhan terus terjadi hingga Jumat malam. Hingga kini tambang di PT. BSI tetap beroperasi di tengah seruan untuk melakukan social distancing, di samping itu aktivitas tambang ini memicu konflik antar warga.
Masih di Banyuwangi, maraknya kegiatan pertambangan Galian C beberapa tahun belakangan (dari sejak tahun 2011) di Desa Barurejo, Siliragung, Banyuwangi, telah membuat warga merasa resah dan terancam keselamatan ekologisnya. Bahkan jumlahnya di tahun 2020, menurut warga Barurejo, kegiatan operasi pertambangan di Barurejo tersebut mencapai 13 titik lokasi pertambangan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016, operasi gabungan penutupan pertambangan galian C di Barurejo sempat dilakukan oleh Muspika Siliragung. Namun, pasca operasi tersebut tetap saja kegiatan pertambangan terus berlangsung. Warga menduga kegiatan operasi pertambangan tersebut tidak mengantongi izin. Sebelumnya, pada 18 Februari 2020 lalu, Polda Jatim melakukan penggerebekan di lokasi kegiatan pertambangan dan melakukan penyegelan.
Pasca penutupan tersebut warga penolak tambang mengalami beberapa ancaman dan gangguan, beberapa orang dipukuli oleh kelompok tambang. Bahkan, selama situasi pandemi Covid-19, tercatat pada 5 Maret 2020 hingga kini tambang pasir ilegal yang mengancam pertanian dan air bersih warga tersebut kembali beroperasi.
Pandangan Walhi Jatim Bersama Jaringan Akar Rumput
Fakta demi fakta yang terangkum, mungkin aktivitas pertambangan masih berlangsung hampir di seluruh wilayah Jawa Timur dan nyawa ribuah buruh dipertaruhkan, bahkan lebih jauh ketahanan pangan juga dipertaruhkan. Ancaman tersebut hadir saat pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7 Tahun 2020 pada 3 Maret 2020 lalu.
ADVERTISEMENT
Permen yang resmi diterbitkan di tengah pandemi COVID-19 ini, menguji kemanusiaan dan akal sehat tentang keselamatan lingkungan. Pasalnya permen ini memuat soal “Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Pada Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara.” Pada Pasal 111, yang dituliskan bahwa, “dalam rangka menjamin pelaksaanaan kegiatan usaha mineral dan batubara serta iklim usaha yang kondusif, Menteri ESDM dapat menetapkan ketentuan lain bagi pemegang IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Permen ini hadir sebagai jalan untuk memberi karpet merah bagi korporasi tambang untuk mengeksploitasi bumi semakin masif, tanpa melihat keberlanjutan hidup warga negara. Selain itu pembahasan RUU Ombibus Law Cipta Kerja dan RUU Minerba oleh DPR RI. Juga sengaja memanfaatkan situasi pandemi ini untuk mengesahkan RUU Oligarki yang menguntungkan segelintir elite.
ADVERTISEMENT
Sebab RUU ini akan memakan hak buruh, hak atas tanah, hak atas lingkungan dan hak-hak warga negara lainnya. Dalam konteks lingkungan RUU ini memfasilitasi percepatan izin dengan mengesampingkan Amdal dan menihilkan KLHS, selain itu juga meringankan hukuman bagi korporasi perusak alam dengan mengedepankan sanksi administratif dan meminggirkan sanksi pidana. Selain itu dalam kluster tambang mineral dan batubara, RUU (Minerba yang baru disepakati) tentu melincinkan gerak perusahaan pemegang PKP2B untuk melakukan eksploitasi, diduga kuat memliki relasi kepentingan politis para oligark.
Demi menjaga keberlanjutan lingkungan hidup, khusunya untuk manusia dan alam. Guna mengurangi dampak negatif Covid-19 pada warga negara Indonesia. Maka pemerintah harus menghentikan sementara seluruh aktivitas pertambangan yang ada. Penghentian sementara tambang ini ditujukan agar pemerintah fokus mengatasi Covid-19, mencurahkan seluruh energinya untuk mengatasi dampak pandemi ini, sekaligus mengurangi beban buruh tambang dan relaksasi psikologis bagi warga di sekitar tambang, agar tidak semakin mengalami stress ganda.
ADVERTISEMENT
Penghentian kegiatan pertambangan sementara ini dimungkinkan dalam Pasal 113 ayat (1) huruf (a) UU Minerba No 4 Tahun 2009 yang, mendefinisikan kondisi kahar atau darurat, antara lain: perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, gempa bumi, banjir, kebakaran, epidemi dan bencana alam yang di luar kemampuan manusia.
Pasalnya Covid-19 ini adalah keresahan bersama, bahkan di dunia. Jika merujuk World Health Organization (WHO) yang mengumumkan Covid-19 ini sebagai pandemik global dan Presiden Jokowi telah mengeluarkan Keppres No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease (COVID-19).Penghentian sementara ini harus dilakukan demi menghadapi pandemi ini, sebab tidak cukup orang baik bantu orang baik, rakyat bantu rakyat, tapi kehadiran negara diperlukan dalam menangani situasi darurat ini. Fokus atasi virus, hentikan sementara operasi tambang dan batalkan Omnibus Law.
ADVERTISEMENT
Narahubung:
Rere Christanto (Walhi Jatim) : 083857642883