Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Siaran Pers: Lapor Covid-19
31 Mei 2020 18:17 WIB
Tulisan dari Pliplo Supriyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Agar ‘New Normal’ Tidak Menjadi New Abnormal: Penuhi Syarat Epidemiologi dan Sosial
ADVERTISEMENT
Jakarta, 31 Mei 2020. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan, pandemi Covid-19 kemungkinan masih akan terus bersirkulasi dalam waktu yang lama. Vaksinnya kemungkinan belum tersedia hingga akhir tahun ini. Bahkan, jika nanti vaksin ditemukan, butuh waktu dan upaya besar-besaran untuk kemudian mendistribusikannya. Karena itu, masyarakat global disarankan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk ini dan menyiapkan transisi ke normal baru.
Ada enam syarat yang diajukan WHO sebelum suatu negara melonggarkan pembatasan dan memasuki normal baru. Pertama, bisa menunjukkan bukti bahwa transmisi Covid-19 telah terkendali.
Syarat berikutnya, kapasitas sistem dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit telah memadai untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina mereka yang terinfeksi.
ADVERTISEMENT
Selain mencegah terjadinya kembali risiko kasus impor, risiko Covid-19 juga harus diminimalkan, terutama di kelompok rentan seperti lanjut usia. Langkah pencegahan di tempat kerja juga harus ditetapkan dengan ketat, meliputi jaga jarak fisik, adanya fasilitas cuci tangan, dan sirkulasi udara yang baik. Selain indikator epidemiologi, kapasitas kesehatan dan daya dukung fasilitas fisik, WHO juga memberikan syarat yang berdimensi sosial, yaitu pemahaman risiko masyarakat dalam transisi menuju normal baru.
Setelah memenuhi enam syarat utama ini, sejumlah negara saat ini bersiap menuju normal baru, di antaranya Selandia Baru, Vietnam, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan lain-lain. Wacana menuju normal baru saat ini kencang digulirkan di Indonesia, terutama setelah Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat untuk berdamai dengan virus ini. Bahkan, pemerintah tengah mempersiapkan penerapan tatanan kehidupan baru atau normal baru.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, apakah Indonesia memang sudah memenuhi syarat WHO sebelum memasuki normal baru ini? Seperti diingatkan WHO Regional Director for Europe, Hans Henri P. Kluge, jika negara tidak dapat memastikan persyaratan kesehatan masyarakat, jangan bermimpi mengurangi pembatasan dan mencapai normal baru.
Ia mengatakan, Covid-19 tidak kenal ampun dan memiliki kemampuan untuk melumpuhkan sistem kesehatan terkuat sekaliber negara-negara maju di Eropa hingga Amerika Serikat. Dalam konferensi pers kali ini, epidemiolog dari Universitas Padjajaran, Bandung dr. Panji Hadisoemarto MPH, yang juga ilmuwan kolaborator Laporcovid19.org, memaparkan syarat-syarat terkait aspek kesehatan masyarakat yang harus dipenuhi Indonesia agar normal baru tidak menjadi abnormal baru, bahkan menjadi bencana baru.
Sementara itu, sosiolog bencana dari National Technological University Singapura, Sulfikar Amir Ph.D, akan memaparkan aspek sosial yang harus dipenuhi. Seperti diketahui, WHO juga mensyaratkan adanya partisipasi dan keterlibatan masyarakat menuju tatanan normal baru. Pengabaian faktor sosial dikhawatirkan bisa memperparah pandemi Covid-19 akibat kerentanan sosial yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Masalah Pendataan
Pada kesempatan ini, Irma Hidayana, MPH, Ph.D, salah satu inisiator Laporcovid19.org, memaparkan perkembangan situasi Covid-19 di Indonesia, khususnya terkait jumlah kematian, berdasarkan data-data terbaru yang direkap oleh para relawan data dan laporan warga. Seperti diketahui, data yang akurat dan transparan merupakan kunci untuk memahami kondisi yang riil dan seharusnya menjadi dasar bagi kebijakan yang berdampak bagi keselamatan warga.
Panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang pencatatan kematian Covid-19 menyebutkan bahwa mereka yang meninggal dengan gejala diduga Covid-19 harus dicatat sebagai kematian Covid-19. Artinya ODP dan terutama PDP yang meninggal mesti dicatat sebagai kematian Covid-19. Namun hingga saat ini pemerintah belum mencatatnya sebagai kematian terkait Covid-19. Sehingga, data kematian yang dipublikasikan secara resmi tidak merefleksikan angka yang ada di lapangan. Akibatnya, data resmi yang ada tidak bisa digunakan untuk mengukur rasio kematian akibat Covid-19 yang sesungguhnya, karenanya data yang ada tidak bisa digunakan sebagai basis untuk persiapan pelonggaran tatanan kehidupan baru atau ‘new normal’.
ADVERTISEMENT
Data yang dikumpulkan menunjukkan adanya lonjakan dan kesenjangan antara tingginya jumlah PDP yang meninggal versus angka positif Covid-19 di beberapa wilayah. Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk melihat kesenjangan ini adalah dengan mengetahui kapasitas dan jumlah nyata tes PCR yang dilakukan setiap hari di wilayah tersebut. Sayangnya, data ini tidak tersedia secara terbuka di semua wilayah. Data resmi terhadap kapasitas dan jumlah tes PCR yang bisa diakses hanya DKI Jakarta dan Jawa Barat. Pada tanggal 30 Mei, misalnya, DKI melakukan tes PCR sebanyak 138.999 per hari, sementara Pemprov Jabar melakukan lebih dari 15.363 (Jabar melakukan sekitar 2.500 tes PCR per hari dari kapasitas 5.000).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, data nasional menunjukkan bahwa jumlah total spesimen yang diperiksa per 30/05 mencapai 11.361. Dengan demikian DKI Jakarta dan Jabar menyumbangkan jumlah tes PCR sebesar 254.358 atau sekitar 22 % dari jumlah tes PCR di seluruh Indonesia. Di sisi lain, pemerintah baru-baru ini menyatakan ada 102 kabupaten/kota yang tidak terdampak Covid-19. Terkait hal ini, Laporcovid19.org meminta pemerintah lebih transparan mengenai jumlah tes yang telah dilakukan di tiap daerah, sehingga jumlah kasus di daerah tersebut benar-benar bisa diukur, bukan karena minimnya pemeriksaan yang dilakukan. Sebagai contoh, Aceh yang saat ini dianggap sukses mengendalikan wabah dengan minimnya kasus, berdasarkan informasi yang kami dapatkan ternyata baru melakukan pemeriksaan 3-15 spesimen per hari.
ADVERTISEMENT
Relawan Laporcovid19.org sejauh ini telah mengumpulkan data terkait kasus Covid19 di 479 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan data yang kami kompilasi pada 29 Mei 2020, kami menemukan beberapa hal, antara lain:
1. Pelaporan data kematian terkait Covid-19 yang masih tidak seragam. Tidak semua kabupaten dan kota serta provinsi mencatat angka kematian terduga Covid-19. Berdasarkan data yang kami kumpulkan, hanya 21 dari 34 provinsi yang memiliki pencatatan tentang data PDP yang meninggal. Sehingga jika mengikuti anjuran WHO untuk pencatatan kematian Covid-19, kami hanya bisa menghimpun pencatatan data kematian dari 22 provinsi saja. Ke 22 provinsi tersebut adalah Banten, Bengkulu, DIY, DKI Jakarta, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, NTT,
ADVERTISEMENT
Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Sulawei Utara. Terdapat 10 provinsi yang tidak memiliki data ODP/PDP meninggal: Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kep. Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, NTB, dan Sulawesi Tengah
2. Data kematian per 29 Mei 2020. Jumlah total kematian kasus terduga Covid-19 masih jauh lebih tinggi dari jumlah kematian positif Covid-19 di 34 provinsi. Perbandingannya masih lebih dari 3.5 lipat. Konsisten dengan temuan perbandingan angka kematian sejak 9 Mei-15 Mei. Kematian positif Covid-19 sebesar 1.503 (23.%), dan kematian ODP + PDP sebesar 5.021 (77%), sehingga total kematian terkait Covid-19 mencapai 6.323.
ADVERTISEMENT
3. PSBB akan berakhir, namun jumlah kasus bertambah Makassar, Tegal dan Palangkaraya sudah mengakhiri PSBB sejak tanggal 21, 23 dan 24 Mei 2020. Namun ternyata jumlah kasus tidak berkurang atau terkendalikan. Contohnya, ada 84 kasus positif baru di Makassar terhitung sejak tanggal 22 hingga 29 Mei 2020. Kota dengan populasi penduduk tertinggi di Indonesia Timur itu juga mengalami peningkatan PDP aktif, dari 223 orang di 22 Mei 2020 menjadi 326 di 29 Mei 2020. Sementara Palangkaraya, pada 4 hari setelah PSBB berakhir, jumlah kasus positif bertambah dari 31 menjadi 46. PSBB Tegal yang berakhir dengan sujud syukur bersama di alun-alun, pun masih menyisakan lonjakan di PDP meninggal dan Positif meninggal, yaitu dari 11 dan 1 orang menjadi 16 dan 3 orang. Sebelum 3 kota tersebut mengakhiri PSBB, kami tidak menemukan informasi apakah Pemerintah Kota telah melakukan kajian epidemiologi. Bahkan Prof Ridwan Amiruddin, ahli epidemiologi dari Universitas Hasanuddin menyatakan jelang berakhirnya PSBB Makassar jilid 2, angka reproduksi kasus Makassar masih 2,56 yang berarti 1 kasus bisa menularkan 2-3 orang.
ADVERTISEMENT
4. Tanpa tes memadai, lupakan ‘New Normal’ Hingga saat ini, pemeriksaan PCR hanya diprioritaskan pada ODP, PDP dan OTGreaktif-rapid test. Padahal, data global menunjukkan bahwa sekitar 80% orang positif Covid-19 adalah kasus tanpa gejala yang berpotensi menular pada orang lain apabila tidak diisolasi. Karena itu, jangkauan tes PCR harus diperluas dengan melakukan tes pada OTG. Untuk mengevaluasi jangkauan tes PCR, setiap daerah perlu menghitung rasio jumlah total tes PCR yang sudah dilakukan per total orang yang positif. Sebagai contoh, rasio di DKI Jakarta adalah 9,8 (68.917: 7053), artinya DKI telah melakukan 10 tes PCR untuk menemukan 1 orang kasus. Kondisi DKI Jakarta sedikit lebih baik dari kondisi tes nasional di mana angka nasional menunjukkan pengetesan terjadi pada 8 orang untuk menemukan 1 orang positif. Sayangnya, hingga saat ini, hanya DKI yang menampilkan data total jumlah orang yang diperiksa PCR. Provinsi lain seperti Jabar hanya melaporkan total spesimen yang diperiksa, bukan total orangnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pertimbangan sebagian data epidemiologi dan sosial di atas, maka laporcovid19.org merekomendasikan beberapa hal terkait rencana normal baru di Indonesia:
1. Pemerintah harus memastikan jumlah tes PCR dilaksanakan dan terdistribusikan secara proporsional di seluruh wilayah RI. Memastikan suatu wilayah tidak terdampak Covid-19 hendaknya dibuktikan dengan penelusuran kontak dan pelaksanaan tes PCR sesuai dengan rekomendasi WHO. Selain meningkatkan jumlah tes, jangkauan tes juga harus diperluas, termasuk memeriksa orang tanpa gejala (OTG), sehingga sirkulasi penularan bisa diputus. WHO menyatakan bahwa karantina yang efektif adalah esensial untuk mengalahkan virus corona. Oleh karena itu, penemuan kasus dengan tes yang ekstensif adalah kunci untuk mengendalikan penularan COVID-19. Semakin banyak tes, maka semakin banyak kasus yang berpotensi terjaring (termasuk OTG). Dengan demikian, dapat dilakukan karantina yang lebih optimal untuk memutus rantai penularan.
ADVERTISEMENT
2. Pemerintah harus membuka secara transparan informasi dan data jumlah tes PCR yang telah dilakukan beserta data ODP, PDP (total, yang dirawat, diisolasi, meninggal). Informasi dan data ini termasuk informasi PUBLIK yang harus disampaikan dalam situs pemerintah daerah masing-masing secara terbuka. Sebab, melalui keterbukaan data dan informasi tentang jumlah tes dan jumlah kasus Covid19, maka pemerintah bisa memberikan informasi yang tepat terkait sebaran dan besaran kasus Covid-19. Publik perlu diberitahu situasi sesungguhnya, bahwa data dan angka tentang jumlah kasus sebaran Covid-19 saja tidak cukup menggambarkan sebaran kasus di lapangan. Selama pemerintah menutupi jumlah tes yang telah dilakukan, maka selama itu pula kredibilitas data kasus pemerintah akan selalu dipertanyakan. Jumlah tes mempengaruhi perhitungan jumlah kasus.
ADVERTISEMENT
3. Pemerintah harus memastikan seluruh kabupaten dan kotamadya di Indonesia melakukan pendataan yang seragam, termasuk mengakomodasi jumlah ODP/PDP yang meninggal sesuai dengan panduan WHO.
4. Kapasitas layanan kesehatan, termasuk rumah sakit dan tenaga kesehatan, harus dipersiapkan dengan baik dan hal ini harus disampaikan secara terbuka kepada masyarakat, agar ada jaminan keamanan jika nantinya wabah kembali meningkat. Terkait hal ini, pemerintah juga harus memastikan ketersediaan alat pengaman diri yang sesuai standar kepada para tenaga kesehatan yang bertugas di garis depan.
5. Penerapan tatanan kehidupan baru atau ‘New Normal’ hendaknya dilakukan sinergi dengan Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang PSBB, yang mensyaratkan evaluasi pelaksanaan PSBB harus merujuk pada kurva epidemi serta pertimbangan sosial, ekonomi, dan lainnya. Dengan demikian pengambilan kebijakan penerapan New Normal semestinya melibatkan para pakar epidemiolog, sosiolog, dan ekonom berdasarkan data dan bukti di lapangan.
ADVERTISEMENT
6. Masyarakat harus dilibatkan dan dipersiapkan dengan baik sebelum memasuki era normal baru, sebagaimana disyaratkan WHO. Untuk itu, transparansi data dan informasi menjadi sangat penting, terutama guna memulihkan kepercayaan publik
Narahubung: Irma Hidayana, MPH., PhD Perwakilan Koalisi Warga untuk LaporCovid-19 Hanya Whatsapp: +1 (917) 941-9383
Tayangan konferensi pers tersedia di: http://bit.ly/YTLaporCovid
***
Perwakilan Koalisi Warga untuk LaporCovid-19 Irma Hidayana, MPH., PhD
Kolaborator LaporCovid19.org: Ayu Surtiari, Elisa Sutanudjaja, Iqbal Elyazar, Ph.D, dr. Dicky Budiman, MSc.PH, dr. Panji F. Hadisoemarto, MPH, Dr. dr. Tri Maharani, MSi Sp Em, dr. Halik Malik, MKM, Henry Suhendra, PhD., Bimandra Djaafara, PhD (Cand), Sulfikar Amir, PhD, dan seluruh relawan Laporcovid19.org
ADVERTISEMENT
Tentang Koalisi Warga untuk Lapor COVID-19. Dibentuk oleh sekelompok individu yang memiliki perhatian terhadap hak asasi warga dan masalah kesehatan masyarakat terkait pandemi COVID-19. LaporCOVID-19 adalah wadah (platform) sesama warga untuk berbagi informasi mengenai angka kejadian terkait COVID-19 di sekitar kita. Menggunakan pendekatan citizen reporting atau crowdsourcing agar setiap warga bisa ikut menyampaikan informasi seputar kasus terkait COVID-19 melalui chat dengan WAbot LaporCOVID-19: https://api.whatsapp.com/send?phone=6281293149546&text=hi atau Telegram http://t.me/laporcovid19bot. Ketik “hi,” “halo,” atau apa saja dan enter untuk memulai pelaporan.