Konten dari Pengguna

Warsubi dalam Imajinasi Saya dan Kutipan Novel

Pliplo Supriyadi
Freelancer
3 September 2024 12:11 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pliplo Supriyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi Warsubi. foto dokumentasi Tim sukses
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi Warsubi. foto dokumentasi Tim sukses
ADVERTISEMENT
Warsubi. Entah siapa dia. Saya tak kenal betul. Kalau tahu, saya hanya melihat dia merupakan seorang pokok ketimbang sebagai tokoh di Jombang. Sebab saya melihat, ia bukan siapa-siapa. Ia hanya “orang kaya” yang memiliki banyak usaha, -perusahaan. Dengan kebaikan yang pernah saya jumpai.
ADVERTISEMENT
Ihwal Warsubi kemudian bikin saya penasaran, -setelah mendengari bisikan teman-teman berulang-ulang selama saya di Jombang. Saya pun ingin mengintip lebih dekat: melihat bayangan Warsubi sebenarnya.
Saya tak ingat betul, bagaimana ceritanya kemudian. Tiba-tiba dalam kesempatan lebaran 2022, saya bertamu -di rumah dia, -di Desa Mojokrapak, -diajak teman-teman yang tergabung di Komunitas Rebung.
Di kawasan desa itu, saya melihat rumah besar dengan penjagaan sekuriti yang longgar. Dan sana sini mata saya memandangi bangunan mesjid megah, pesantren mewah, dan perusahaan berdiri di atas lahan luas yang ia rintis.
Warsubi, saya melihat dan menatap kali pertama, waktu itu. Tak ada imaji untuk memulai bikin catatan. Saya hanya memandangi tubuh gendut duduk di sofa, -menerima kami yang mencari “sensasi”. Dan mendengari ucapan beberapa kalimat bernada lirih. Ketika ia menimpali obrolan kami.
ADVERTISEMENT
Ia mencoba mengajak kami berakrab-akrab. Dengan cara mempersilakan kami untuk menyantap jajanan lebaran di atas meja.
Warsubi, nama yang mudah diucap lidah Jawa. Tak susah-susah amat untuk diingat. Tanpa fam atau marga yang melekat. Menunjukkan ia terlahir bukan dari seorang bangsawan. Tapi rakyat biasa yang memiliki “ethos”.
Tetapi entah bagaimana arti “Warsubi”. Mesin pencarian di gawai saya tak mau menunjukkan, ketika saya mengetik mencari arti “Warsubi”, pada beberapa jejaring. Yang selalu muncul, Warsubi: “Kepala Desa Mojokrapak”, “komisaris perusahaan”, dan akhir-akhir ini bertebaran di setiap lini massa, “calon bupati Jombang”.
Betapa bodohnya saya. Sebagai orang Jawa tak tahu arti “Warsubi”. Tapilah, apa arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Saya mengukiri nama itu mengandung arti cukup bermakna (pastinya). Di balik nama itu, terdapat seonggok cerita dalam miniatur yang padat. Memantik saya mengkontruksi imajinasi untuk menulis.
ADVERTISEMENT
Warsubi. Kalau pun tercantum huruf “H” di depan nama dia. Itu “Haji”, yang merupakan “berkah”, saat ia beribadah haji di Mekah. Sebagai kelanjutan ibadah dan ketaatan sebagai seorang muslim. Dan itu membuktikan ia orang mampu, -secara materi (harta) -sebagai persyaratan mutlak seorang muslim untuk boleh mengikuti ibadah haji di tanah suci.
Bukan huruf “H” saja, yang pernah saya jumpai di beberapa kesempatan. Di belakang nama Warsubi, biasanya muncul embel-embel “SH., M.Si”.
“SH”, kependekan dari Sarjana Hukum. Sebuah gelar kesarjanaan Strata 1 (S1). Dan dari perguruan tinggi mana, -gelar “SH” itu Warsubi raih?
Melihat tahun kelahiran Warsubi, 1968. Bisa jadi gelar itu ia raih di tahun 1980-an. Selambatnya, 1990-an. Entah perguruan tingginya. Waktu itu perguruan tinggi, masih membagi dua jurusan di fakultas hukumnya: pidana dan perdata.
ADVERTISEMENT
Sungguh mentereng Warsubi, -dalam bayangan saya, -waktu itu. Sebagai anak desa sudah mampu menggondol gelar Sarjana Hukum. Mungkin waktu itu ia bercita-cita ingin menjadi penegak keadilan; menghukum siapapun yang salah, tanpa pandang bulu. Dari sini saya merasai, ada semacam keresahan dalam dirinya, -di jiwa -ihwal keadilan yang kerap ia lihat di negeri ini. Sehingga ia memilih kuliah di fakultas hukum.
Atau barangkali, Warsubi “pernah” membaca tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Larasati; -kemudian “berontak” menyesapi nuraninya untuk menjadi penegak keadilan; “Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan”.
Begitulah kata Pram. Tetapi apa boleh buat, kenyataan mengubah kehidupan. Warsubi mengalami aporia, -gagal - menjadi penegak keadilan; entah hakim atau jaksa, pilihannya, waktu itu. Bukan pengacara yang pasti.
ADVERTISEMENT
Sebab hakim atau jaksa, ia anggap jantung penegakan hukum, -bagi siapapun dalam mencari keadilan.
Barangkali waktu itu, ia tak sadar, -bisa jadi ia lupa, -bagaimana ketika seseorang mencari keadilan di depan hukum. Seperti gambaran Franz Kafka dalam cerpennya: Vor dem Gesetz (“Di Depan Hukum”) -bahwa hukum bukan keniscayaan penegak keadilan. Sebab keadilan sebagai “proses imanen dari hasrat”. Sementara hukum, -yang bila diperlakukan -sesuatu yang transendental akan mirip “mesin yang abstrak”. Begitu kata Roby Mardiansyah dalam Goenawan Mohamad, Kafka, dan Keadilan.
Agaknya inilah kemudian; Warsubi mengabaikan cita-citanya. Ia tak menyesali kegagalan itu. Ia sangat menyakini, bila kegagalan adalah titik awal menuju berbuah. Karena kehidupan tak pernah absolut. Namun yang tak bisa hilang dalam ingatan, ucapan Bapaknya, -yang seorang Jawa, -penganut suluk klasik, -“Lurah” -kedudukan tersanjung di desa ujung selatan Lamongan.
ADVERTISEMENT
Dalam keyakinan Bapaknya: antara “dialektik” dan “cerita”, kerap menggumpal dalam diri Warsubi, -saat-saat dalam kesendirian. Oleh Bapaknya, Warsubi sudah dianggap tak sesuai nama yang melekat; “nguwarke wong kesusupan sing bingungke”. Begitu saya urai nama “Warsubi”. Dari nama itu Bapaknya menginginkan, kelak anak nomer dua, -dari sepuluh bersaudara, -sesuai nama itu: “mampu mengurai kebingungan orang yang sedang butuh pertolongan”.
Entah dengan cara apa untuk bisa menolong “kebingungan” orang. Tak ada pesan khusus -baik teks maupun tutur. -dari Bapaknya. Sebagai penegak keadilan. Sudah ia coba namun gagal. Sebagai dokter. Bukan cita-cita Warsubi. Atau orang “pintar” berbekal kawruh kasunyatan, - ajaran yang pernah berkembang 50 tahun silam, di rentang Lamongan-Jombang. Dan itu sudah tidak mungkin. Warsubi sudah menemukan dunia lain, saat di perkuliahan, yaitu rasionalitas. Meski klesik dan klenik, yang pernah ia pelajari, tetap ia pegang teguh sebagai pengetahuan diri, -sebab ajaran itu, penuh “intuitif” sesuai namanya.
ADVERTISEMENT
Tetapi bagi Warsubi itulah jalan hidup. “Kemarahan” Bapaknya atas kegagalannya sebagai penegak keadilan, ia jadikan bekal mengurai nasib. Bahkan kegagalan itu sebuah renungan bagi dirinya. Jiwanya menolak untuk membayar uang ke “pelantara” jabatan, sebagai penegak keadilan. Dalam renungan terdalamnya, ia kembali mengingat perkataan seseorang: bahwa hukum sebenarnya tak pernah ada, kalau memang ada, harus jelas di tengah keadilan yang samar-samar.
Dalam keheningan, ia membiarkan hidupnya berjalan di antara kerikil, debu, lumpur, bahkan sampah. Hingga suatu saat tiba dalam kehidupan “gelap” -yang berisi para kriminal: penjudi, pencuri, begal, bandit maupun orang-orang jahat. Walupun begitu, ia tak nampak terjerumus ke dalam kehidupan yang berlumuran “dosa” itu. Dalam kata lain, kehidupan itu bukan pelampiasan frustasi kegagalannya sebagai penegak keadilan. Dalam kehidupan itu, ia mencoba untuk menghayati hidup, -semacam perasaan senasib tumbuh – dalam keadaan bisa sakit, tua, mati, dan renta. Sebagaimana ia pahami dalam ajaran Jawa, -yang sempat ia pelajari dari Bapaknya, tentang bebrayan: “semacam pertalian kebersamaan”.
ADVERTISEMENT
Dari sini barangkali, saya sempat membayangkan, bagaimana Warsubi menanggung kenyataan pahit dalam hidupnya, ketika mengenal “cinta”. Kepahitan yang ia rasai cukup panjang; ia muram berhari-hari. Dalam kemuraman ia sempat mengungkap kesedihan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer: “Harus siap dengan perpisahan, sebab cinta yang megah tak selamanya berujung indah,”.
Padahal cinta itu sudah ia rangkai, sebagai motivasi untuk menuntun dirinya, -meraih mimpinya- bagaimana merenungi keindahan cinta itu sendiri.
Tapi apa boleh buat, ia tetap dipandang sebelah mata, serta mengotori keluarga oleh Bapak gadis yang ia cintai. Kata harmonis, setia, mesra, bahagia, maupun kasih sayang, yang sudah mereka, -Warsubi dan gadis itu, -genggam dalam raihan bersama mimpi pun pudar.
ADVERTISEMENT
Entah kemana Warsubi, kemudian? Saya tak bisa menjangkau membayangkan. Imajinasi yang saya bangun di ruang komunikasi paling intim, -di antara bisikan teman-teman di Jombang, -hanya bisa mengingat,-itupun samar- entah lelucon atau sungguhan: bahwa ia pernah menerima siraman kuah sayur kluwih dari atas kepala dalam pertautan cintanya.
Itu sebab, mungkin saat itu ia pernah berkata dalam ketakutan tak merunduk, dalam gemataran tetap fasih. Sebagaimana diucapkan Bandung Bondowoso dalam saduran Goenawan Mohamad: “Ada hal yang mustahil yang membuat kita memilih dan berbuat,”.
***
Warsubi seolah manusia yang sedang dilecut keinginan yang bisa jadi mustahil. Ia terus membuat sejarah dalam hidupnya: kesuksesan, kemenangan, kejayaan, keadilan, juga hal-hal lain yang ia cita-citakan adalah mimpi-mimpi yang harus terwujud.
ADVERTISEMENT
Kalau kemudian di belakang nama Warsubi setelah “SH”, tercantum “M.Si.,”. Itu singkatan dari Magister Sains. Itu adalah gelar S2-nya. Gelar yang Warsubi raih, saat ia sudah keluar dari kemustahilan hidup. Saat ia sudah membangun keluarga bersama Yuliati Nugrahani. Saat ia sudah dikaruniai empat putri; Della, Donna, Diva, dan Dinar.
Sepertinya ia nampak ingin tahu, dan mencoba kesanggupan dengan pilihan gelar itu. Tentu bukan untuk kepentingan pristise, - sebagai kepala Desa Mojokrapak, - yang ia jabat lebih dari 17 tahun. Mungkin juga bukan untuk tujuan performance, -unjuk diri-, saat menjabat direktur, manager, ketua Asosiasi Kepala Desa, kedudukan penting lainnya, maupun komisaris di beberapa perusahaan yang ia rintis.
“Tujuan ilmu adalah kebenaran, bukan kepastian, “ kata Karl Kopper. Warsubi hanya butuh itu, - kebenaran- dalam mengelola PT Phalosari Unggul Jaya, dalam mengelola PT Multi Farm Indo Jaya, dalam mengelola PT Wako Challenge, maupun PT Samsubi Anugerah Jaya Transportasi dan PT Paku Permata Land. Sebab tak sedikit “lembaga riset” yang disebut basis ilmu pengetahuan dalam menjalankan fungsi saintis terhadap perusahaan, pelan-pelan -dalam abad ini,- merusak keilmuan. Begitupun “pembuat kebijakan”, yang selalu menampilkan sikap “ambigu”, terhadap keberadaan perusahaan, kerap membuat pelaku usaha masygul.
ADVERTISEMENT
Barangkali - dalam bayangan saya, -gelar M.Si., yang Warsubi raih terfokus pada keilmiahan. Entah apa judul tesisnya. Hanya samar-samar saya sempat mendengar, magister itu ia raih dari Universitas Brawijaya Malang, -fokus keilmiahannya peternakan.
***
Warsubi: kalau sekarang menjadi pergunjingan umum, -ia dicalonkan atau mencalonkan Bupati Jombang. Itu di luar mimpi-mimpi yang ia rawat selama ini. Ia tak pernah berkhayal duduk di “takhta kerajaan sebagai raja”. Barangkali Warsubi terganggu dengan istilah “dermawan” yang dilekatkan publik terhadap dirinya, selama ini. Padahal apa (pemberian sembako) yang ia lakukan dengan harta yang ia miliki, -dari hasil kerja-kerja keras. Banyak hak liyan yang harus disampaikan.
ADVERTISEMENT
Ia tak ingin istilah “dermawan” memunculkan definisi buruk, dan menimbulkan perabaan rancu di mata masyarakat. Istilah itu harus tepat, -tak terkotori. Apalagi bias. Seperti lahirnya istilah itu, yang dipungut dari Bahasa Yunani, -negeri yang banyak melahirkan orang-orang bijak bestari, -yaitu, “filantropis”: philien: yang artinya “cinta” dan antrhopos: yang artinya “manusia”.
Sebagaimana cinta, merupakan emosi yang muncul dari jiwa, kemudian membentuk perhatian dan kasih sayang. Sebagaimana pula manusia, yang selalu digambarkan sebagai makhluk agung dan lebih, -meski dalam menjalani kehidupan manusia tak selalu sama. Ada yang dikehendaki menjadi si “kaya”, tak sedikit pula dikehendaki menjadi si “miskin”.
Maka itu “dermawan” bisa jadi sudah menjadi bahasa, -sudah melekat pada diri Warsubi. Tidak lahir dari sebuah kekuasaan yang menonjolkan sikap angkuh dan elitis. Tetapi lahir dari lorong-lorong Pasar Legi, dari desa-desa plosok di Jombang, -Rapahombo, Jarak, Jipurapah, Mendiro, dari terjemahan kitab-kitab kuning pesantren di Jombang, dari jemaat gereja, dari kedai-kedai kopi, maupun dari mereka yang tinggal di sepanjang bantaran Kali Brantas.
ADVERTISEMENT
Dalam definisi pun nampak ruang-ruang kerelaan dan kebungahan, -antara Warsubi sebagai subyek dan penerima (masyarakat) sebaga obyek. Apa yang terjadi, -barangkali di sini ia kerap menggambarkan dirinya: tuan dari hewan-hewan piaraan dalam keseharian. Hanya sekadar memberi makan. Tanpa melibatkan semacam pemikiran: ide atau gagasan, mengajak membongkar nasib yang selama ini menghadang mereka dalam kemiskinan.
Saya membayangkan, dari situlah ada semacam bela rasa Warsubi terhadap orang lain. Kemudian muncul “denyut agung”, -seperti mesin sejarah masa lampaunya, - agar dia dicalonkan atau mencalonkan Bupati Jombang, pada musim pilkada 2024. Dan di situlah dia baru menentukan kebijakan: meskipun Kebaikan tak selamanya jelas, dan Keburukan bukanlah dasar segalanya dalam kebijakan. ***
ADVERTISEMENT