Konten dari Pengguna

Ibu Pahlawan Kehidupan: Sejumput Rasa, Berjuta Asa

Safasyahnanuha
Saya seorang ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai dokter. Menyukai dunia literasi sejak bisa membaca dan menulis. Bagi saya, menulis adalah terapi bagi jiwa dan memiliki daya dorong yang besar untuk internalisasi kebaikan.
28 Desember 2021 14:16 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Safasyahnanuha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selalu ada kerlip cahaya di mata seorang ibu ketika bercerita tentang anaknya. Terkadang terang, adakalanya redup. Di mata ibu, seorang anak tetaplah anak, tak peduli berapa usianya, apalagi jabatannya. Seorang ibu semestinya menjadi tempat bersandar ternyaman dalam mengarungi ombak kehidupan.
ADVERTISEMENT
Saya merasa beruntung, sangat bersyukur, selalu dipertemukan dengan para ibu yang hebat di dalam setiap fase kehidupan saya : mama, ibu mertua, kakak ipar, adik, teman-teman. Para ibu pahlawan kehidupan ini,menyimpan berjuta asa yang berpendar di sanubari mereka, diiringi sejumput rasa : cinta. Asa yang sering terkalahkan oleh rasa.
Ibu pahlawan kehidupan saya, tentulah mama.Dari Mama saya belajar bagaimana menjadi tangguh dalam arti yang sebenarnya. Bukan sekadar tampak kuat, tetapi rapuh di dalam. Kami diajarkan bagaimana mengatur keuangan sejak dini, tak banyak meminta, dan berjuang untuk sebuah keinginan. Membeli sepatu, misalnya. Mama memberikan anggaran sekian, dan jika sepatu yang diinginkan harganya lebih dari itu, maka saya dan adik harus menabung terlebih dahulu. Namanya juga anak-anak, rasa iri sesekali menyelinap di hati melihat teman-teman bisa dengan mudah dibelikan ini-itu, sedangkan kami tidak.
ADVERTISEMENT
Waktu masih belia, saya sering protes karena mama jarang sekali memesan makanan kalau sedang makan di restoran. Beliau hanya tersenyum dan berkelakar,"Ah, kamu juga paling makannya nggak habis,Mbak."
Yang tidak saya ketahui adalah, saat itu memang kondisi keuangan tidak selapang yang dibayangkan. Papa harus membiayai keponakan-keponakan, juga adik mama. Bertahun-tahun kemudian, saya baru mampu memahaminya.
Jauh sebelum self-love, me time, ramai dibicarakan, mama sudah menjalankannya. Beliau sangat easy-going, santai, tak terlalu sensitif(istilahnya, tidak baperan). Bagi saya, ini penting untuk menjaga kewarasan. Padahal, ujian dalam keluarga kami itu luar biasa.
Yang lebih hebat lagi, di saat raganya tak mampu lagi bergerak(meski hanya untuk menggaruk tangannya yang gatal)mama tetap jadi ratu dalam keluarga. Mulai mengatur menu, bayar tagihan bulanan, dan seterusnya. Saya dan adik menitikkan air mata ketika menebus perhiasan emas di pegadaian, yang beliau gadaikan untuk biaya kuliah keponakan. Karena sudah berkeluarga dan tinggal di kota yang berbeda, kami sama sekali tidak tahu menahu tentang ini.
ADVERTISEMENT
Hingga di akhir hidupnya, tak sedikitpun mama mengeluhkan kanker yang diderita. Sabar, selalu bersemangat. Allahu yarham.
Ah, mama. Saya selalu melihat ada banyak asa yang tertinggal di riak matanya yang sesekali meredup tatkala menatap saya. Tanpa kata-kata, kami sama-sama mengerti, di dunia ini ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan. Memang harus mengalir apa adanya. Terima kasih karena sudah mencintai anakmu ini, apa adanya.
Untuk semua ibu, mama, mami, simbok, bunda...apapun sebutannya, seorang ibu akan selalu jadi pahlawan kehidupan bagi anak-anaknya yang memahami. Tak sempurna, tetapi percayalah, kehadirannya sungguh berarti.