news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Cindy Cenora dan Orang Gila

Konten dari Pengguna
24 Mei 2017 0:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bardjan Cinta Makanan dan Rupiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Usia saya sebatas empat tahun kala letupan kekalutan itu bergaung di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Saya tak paham apa yang sedang orang ributkan setelah mereka membaca koran, apa yang dimuntahkan para presenter acara berita di TVswasta, apa yang dilakukan orang yang bergumul dan berkoloni menjadi unit masif yang kemudian bersorak-sorak di jalan, menunjuk-nunjuk lang
"Krismon," kata Ayahku. Krisis moneter. Kata itulah yang bergema di kepala, dan sering kuucapkan bersama kawan sepermainan di dekat rumah. Sambil main masak-masakkan, kami bahkan sering menyanyikan lagu "Krismon". Lagu itu datang dari penyanyi cilik bernama Cindy Cenora, rilis tahun 98, tepsat ketika saya lagi senang-senangnya nyanyi. Di RCTI kala itu ada program bertajuk 'Tralala Trilili', dipandu oleh Agnezmo cilik dan Indra Bekti puber, di mana video klip lagu anak-anak diputar. Saya penonton sejati.
ADVERTISEMENT
"Krismon, Krisis Moneter" ~ lagu itu mengalun di pikiran, dan sering saya nyanyikan berulang-ulang tanpa tahu apa definisi eksaknya, tanpa tahu apa dampaknya, tanpa tahu dari mana datangnya.
Saya pun beberapa kali tak sengaja melihat berita yang ditonton ayah, hingga akhirnya saya mengenal sebuah terminologi baru: Demo. Lagi-lagi tak tahu jelas apa maknanya. Namun, saya ingat memang banyak sekelompok orang berteriak di televisi kala itu. Beberapa bawa bendera.
Baru berapa belas tahun kemudian saya mulai menyadari betapa ricuhnya keteraturan negara ini saat itu. Demonstrasi. Penghancuran. Pemerkosaan. Bahkan di kota saya, ayah pernah bercerita kalau toko-toko yang notabene dimiliki Cina itu dijarah tanpa sopan-santun, tanpa ampun (kebetulan di Bogor banyak warga Tiongkok).
ADVERTISEMENT
Toko di kawasan Pasar Anyar dan Suryakencana menjadi dua dari berbagai toko milik Tionghoa yang dibabat habis oleh massa. Demonstrasi mahasiswa Bogor yang lebih mirip tawuran SMK itu meletus di pusat kota.
Sedang saya di rumah nonton Woody Woodpecker dan Bugs Bunny.
Begitulah. Selengkapnya saya mendalami apa yang terjadi saat itu, 1998, melalui studi literatur dan browsing Internet.
Dengan usia sekecil itu, saya mana ambil perduli kalau ternyata dulu ayah dan ibu sering bertengkar gara-gara urusan duit? Harga-harga makin mahal dan membuat sesak dada kami masing-masing. Keuangan keluarga pun tak seberapa. Ayah pun sering tai-taiin Suharto saat lagi nonton berita.
Saya tinggal makan, main, dan nonton kartun di TV setiap hari. Saya tidak tahu kalau ternyata krisis moneter yang memuncak tahun 1997 hingga 1998 itu juga menjadi pemicu seorang otoritarian untuk turun dari pentas kuasanya.
ADVERTISEMENT
Saya pun tidak tahu betapa kejamnya tahun 1998 untuk seorang pria yang kini sakit jiwa, yang ditinggal istrinya karena bangkrut. Harga pangan bak apollo meluncur, sedang kondisi keuangan di ujung tanduk.
Ia kini harus tinggal sendirian dan sakit jiwa. Kini ia masih suka ngomong sendirian di dekat halaman rumah saya; ngomel-ngomel sendiri soal pemerintahan Presiden Suharto. Ia tak tahu jika kini presiden telah berganti lima kali. Tetap ia pada pendiriannya untuk berseru, "Ieu kabeh gara-gara si Harto yeuh! Gara-gara si Harto!"