Konten dari Pengguna

Menghidupkan Seni dan Budaya Betawi Lewat Sanggar Silibet Pengadegan

Pudji Mardiriani
Saya mahasiswi Jurnalistik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Suka menulis untuk menuangkan ide-ide seru dan kadang nyeleneh. Inspirasi bisa datang dari secangkir kopi di warkop atau obrolan bareng emak-emak komplek di warung!
22 Juli 2024 17:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pudji Mardiriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
wawancara 21 Juli 2024 - Ali anak muda penggiat seni di Sanggar Silibet sekaligus anak dari pendiri dari sanggar ini
zoom-in-whitePerbesar
wawancara 21 Juli 2024 - Ali anak muda penggiat seni di Sanggar Silibet sekaligus anak dari pendiri dari sanggar ini
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta, 21 Juli 2024 – Indonesia adalah negara yang dikenal dengan kekayaan dan keberagaman budaya yang luar biasa. Setiap daerah memiliki keunikan tersendiri yang menjadikannya unik sebagai bagian dari identitas nasional. Salah satu warisan budaya yang paling menonjol adalah Budaya Betawi, yang tumbuh dan berkembang di tengah gemerlapnya ibu kota Jakarta dengan gempuran modernisasi dan keberagaman warganya akibat banyaknya pendatang. Budaya Betawi menawarkan kekayaan tradisi sejarah panjang interaksi asimilasi dari berbagai etnis dan budaya menghasilkan suatu kebudayaan khas dan penuh warna.
ADVERTISEMENT
Kata "Betawi" berasal dari nama kota Batavia, yang merupakan nama kolonial Jakarta pada masa pemerintahan Belanda. Asal-usul nama ini diduga dari sebutan "Batavia" yang diadopsi dari nama kota Romawi kuno di Belanda. Masyarakat yang tinggal di sekitar Batavia kemudian dikenal dengan sebutan "Betawi." Nama ini secara resmi digunakan untuk merujuk pada suku dan budaya yang berkembang di daerah Jakarta.
Pada era kolonial, budaya Betawi berkembang melalui asimilasi berbagai budaya yang hadir di Jakarta. Kesenian Betawi mencerminkan pengaruh asimilasi dari berbagai budaya yang hadir di Jakarta pada masa kolonial. Contohnya termasuk Gambang Kromong yang menggabungkan unsur Tionghoa, Lenong dengan struktur teater Eropa, Hadroh Marawis yang mencerminkan pengaruh Arab, serta elemen Melayu dalam musik dan pertunjukan tradisional.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya melestarikan seni dan budaya khas Betawi, Sanggar Silibet Pengadegan hadir sebagai wadah bagi generasi muda untuk mengenal, mempelajari, dan mengembangkan berbagai kesenian tradisional Betawi. Sanggar Silibet Pengadegan telah berdiri sejak 6 Januari 2011. Sanggar ini merupakan pengembangan dari Padepokan Inti Raga Silibet yang didirikan oleh Bang Dani Silibet pada 7 Januari 2010.
Bang Dani, pendiri dari Sanggar Silibet Pengadegan
Bang Dani, atau lebih dikenal dengan Bang Dani Silibet, mendirikan padepokan ini sebagai bentuk penghargaan dan kelanjutan dari ilmu beladiri yang ia pelajari dari almarhum gurunya, Babe Sakur. Seiring waktu, padepokan ini tidak hanya fokus pada latihan beladiri silat tetapi juga memperluas cakupannya dengan mengembangkan berbagai seni budaya Betawi.
Padepokan Inti Raga Silibet sendiri mengajarkan pencak silat asli Betawi yang telah dikembangkan agar lebih menarik dan relevan dengan zaman sekarang, terutama bagi kalangan anak-anak dan remaja. Nama "Inti Raga Silibet" memiliki filosofi mendalam; "Inti" berarti hati, "Raga" berarti tubuh, dan "Silibet" adalah gerakan beladiri silat lipet sabet. Jika digabungkan, maknanya adalah "hati dan tubuh menjadi satu dalam menggerakkan silat lipet sabet." Silibet merupakan seni beladiri yang menggabungkan gerakan lembut dan kasar serta teknik yang mematikan, berawal dari permainan bandul lipet yang diolah menjadi lebih dinamis dan inovatif.
ADVERTISEMENT
Semangat dan rasa cinta pada seni dan budaya Betawi yang dimiliki Bang Dani sangat luar biasa. Hal ini mendorongnya untuk terus berkreasi dan berinovasi dalam mengembangkan kesenian Betawi. Dengan semakin berkembangnya seni budaya khas Betawi seperti Palang Pintu, Bang Dani merasa perlu membuat sanggar yang lebih fokus pada pengembangan berbagai kesenian ini, sehingga lahirlah Sanggar Silibet di Pengadegan.
Tak hanya beladiri Pencak Silat, Sanggar ini juga menampung berbagai jenis kesenian Betawi, diantaranya Palang Pintu Betawi, Gambang Kromong, Band Betawi, Hadroh Marawis, Samrah Betawi, dan yang terbaru ada Lenong Betawi. Untuk Pencak Silat, latihan diadakan dua kali seminggu. Sementara untuk kesenian lainnya seperti Gambang Kromong, Samrah, dan Band Betawi, latihan diadakan sekali seminggu.
Sumber : Instagram @sanggar_pengadegan
Hingga saat ini, Sanggar Silibet masih menjadi bagian penting dalam berbagai event di Jakarta. Salah satunya adalah Palang Pintu. Palang Pintu Betawi sampai saat ini selalu ada di acara-acara kedinasan dan event-event besar. Begitu juga dengan Gambang Kromong dan Lenong Betawi, selalu hadir di setiap event kesenian di Jakarta.
Sumber : Instagram @sanggar_pengadegan
Menurut Ali, salah satu anak muda penggiat seni di Sanggar Silibet sekaligus anak dari pendiri dari sanggar ini berharap melalui kegiatan di sanggar, anak-anak muda Jakarta lebih mencintai dan mengembangkan kesenian Betawi. "Pesan saya cuma satu, jangan tinggalkan budayamu. Kita berdiri di tanah Betawi, di Jakarta, jadi kita harus menghargai dan melestarikan budaya Jakarta," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Ali juga berpesan kepada generasi muda untuk tetap mengikuti perkembangan zaman tanpa melupakan budaya mereka. "Ikuti zamanmu tapi jangan tinggalkan budayamu," katanya.
Upaya yang dilakukan oleh Sanggar Silibet untuk mempertahankan eksistensi kesenian Betawi di kalangan pemuda adalah menghidupkan kembali seni dan budaya dengan memanfaatkan kesempatan kerjasama bersama Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dalam menyelenggarakan berbagai event komunitas setiap minggunya. Melalui upaya ini, mereka berharap kesenian Betawi akan tetap eksis serta mampu meningkatkan kesadaran para pemuda akan pentingnya pelestarian budaya.
Dengan adanya Sanggar Silibet, diharapkan seni dan budaya Betawi tetap hidup dan terus berkembang di tengah arus modernisasi yang semakin kuat. Sanggar ini menjadi bukti nyata bahwa budaya lokal masih bisa berkembang dan menjadi identitas kuat bagi masyarakat Jakarta, khususnya generasi muda.
ADVERTISEMENT
Penulis: Pudji Mardiriani, Mahasiswi semester 2 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakartaanya.