Konten dari Pengguna

Bahaya Bias Gender kepada Perempuan dalam Lingkaran Terorisme

Pujana Anggresta
An undergraduate International Relations student at UPN Veteran Jawa Timur. Gender and human security studies enthusiast. Loves cats more than people.
30 Desember 2020 10:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pujana Anggresta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bahaya Bias Gender kepada Perempuan dalam Lingkaran Terorisme
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya terorisme kini mulai menggunakan perempuan sebagai pelaku aksi teror. Dalam beberapa aksi teror lama, perempuan menjadi pendukung atau orang yang mengikuti arahan suaminya dalam melakukan jihad. Perempuan cenderung diberikan peran sebagai pendukung, pemasok senjata dan bahan, ataupun hal-hal lain yang berhubungan dengan logistik dalam aksi terorisme. Karena tafsir-tafsir agama yang menjelaskan fungsi perempuan sebagai pendukung langkah suami ke ‘jalan Tuhan’ dengan selalu ada untuk sang suami. Tafsir-tafsir seperti hal tersebut membuat perempuan selalu mengikuti langkah suami tanpa dapat menentukan nasibnya sendiri
ADVERTISEMENT
Tafsir-tafsir yang menjelaskan bahwa akan ada jaminan surga untuk perempuan-perempuan yang sudah berstatus istri yang patuh terhadap suaminya dan mendukung suaminya pada akhirnya membahayakan sang istri. Seolah-olah surga hanya dapat dicapai dari hal tersebut. dan seolah-olah perempuan tidak dapat merdeka menentukan nasibnya sendiri. Jika ia tidak sesuai dengan jalan suami maka ia membangkang, dan jika ia membangkang, maka dosa baginya. Tafsir-tafsir agama yang disalah artikan dan disalahgunakan sangat berdampak dan berbahaya. Penyalahgunaan tafsir menempatkan perempuan pada posisi rentan di lingkaran terorisme.
Terlebih lagi dalam ISIS, dan organisasi kejahatan transnasional lainnya menempatkan perempuan sebagai objek yang dapat diperjual belikan. Dijadikan budak seks sebagai alat pemuas hasrat seksual para ‘pejuang’ jihad katanya. Belum lagi perkawinan paksa yang dilakukan bahkan kepada perempuan-perempuan yang masih di bawah usia, berangkat ke markas mereka bersama orang tua dan dikawinkan secara paksa dengan tafsir-tafsir agama sebagai pembenarannya.
ADVERTISEMENT
Melihat kasus-kasus dari aksi terorisme yang terjadi dari tahun ke tahun, pergerakan terorisme di berbagai dunia pada akhirnya lebih sering menggunakan perempuan sebagai pelaku aksi. Dulunya, perempuan hanya diberikan peran dalam hal-hal logistik dan pendukung. Namun sekarang peran-peran perempuan dalam aksi terorisme telah bergeser. Bukan lagi sekedar pemasok senjata atau pendamping namun sebagai pelaku aksi teror. Tentu saja hal ini semakin menempatkan perempuan pada posisi yang semakin rentan. Adanya dua peran dan tanggung jawab yang dibebankan membuat mereka semakin menjadi pihak yang rentan dalam lingkaran terorisme.
Iya sih, memang dari dulu ada beberapa perempuan yang sudah melakukan aksi teror. Di Chechnya, pada tahun 2000-an kelompok teror wanita yang dinamai “Black Widows” oleh media Rusia menyerang Teater Dubrovka. Penembakan tersebut banyak diyakini dilakukan karena keluarga para ‘Black Widows” yang menjadi korban perang sipil. Karena aksi tersebut, pemikiran-pemikiran bias gender banyak dijadikan sebagai argumen atas kejadian tersebut yang menyatakan bahwa perempuan tidak mampu berpikir rasional sehingga melakukan hal-hal seperti penyerangan dan penembakan karena alasan ekonomi maupun alasan yang emosional. Label yang akhirnya disematkan kepada perempuan adalah ‘perempuan bukanlah makhluk yang rasional’ menciptakan stereotipe yang buruk terhadap perempuan jika memimpin. Narasi tersebut muncul hanya jika perempuan-lah yang melakukan aksi. Narasi serupa tidak akan muncul jika laki-laki yang melakukannya. Jika laki-laki yang melakukan, maka tidak ada narasi yang mengikuti. Murni hanya fokus terhadap aksi yang dilakukan sebagai seorang individu.
ADVERTISEMENT
Lebih baru lagi, pada kasus serangan teror di Surabaya pada tahun 2018, perempuan bahkan anak-anak ikut terlibat sebagai pelaku aksi teror. Perempuan-perempuan pelaku aksi teror melakukan aksi karena beberapa faktor yaitu karena mengikuti jalan suami dan ingin melakukan suatu hal yang dianggap sebagai Jihad. Ini menunjukkan adanya dua tuntutan tugas dan peran yang diemban oleh perempuan yaitu satu, sebagai makhluk Tuhan yang taat dan dua, sebagai istri yang taat pada suami. Hal yang sama terjadi terhadap anak-anak yang juga memiliki dua tuntutan tugas yaitu menjadi makhluk Tuhan yang taat dan menjadi anak yang berbakti pada orang tuanya.
Lalu mengapa pada akhirnya trend aksi terorisme telah bergeser? Mengapa para perempuan banyak dijumpai membawa senjata? Mengapa organisasi-organisasi transnasional telah bergeser dan menggunakan partisipasi perempuan lebih banyak pada aksinya? Menyoroti akar dari segala hal yang terjadi, semua berawal dari bias gender yang mengakar di masyarakat. Penyematan gender lengkap dengan berbagai sifat dan perannya akhirnya membuat manusia terkotak-kotakkan. Kita lihat saja, banyak sekali penyematan sifat pada laki-laki dimana laki-laki diminta untuk memiliki nilai-nilai maskulin dan tidak boleh menangis, karena hal tersebut laki-laki diidentikkan dengan kekerasan dan ketangguhan. Sebaliknya, perempuan dituntut untuk memiliki nilai-nilai feminin dan diharapkan pasif, dianggap makhluk emosional, tidak dapat menentukan keputusan, atau tidak cukup baik dalam memimpin. Atau pandangan terhadap perempuan yang dianggap lebih memilih perdamaian sedangkan laki-laki adalah sebaliknya. Maka dari itu, perempuan dianggap tidak berbahaya karena tidak bisa menyerang.
ADVERTISEMENT
Hal itu kemudian menjadi sangat berbahaya karena bias gender tersebut memberikan berbagai macam stigma terhadap individu dengan gender tertentu. bias gender memberikan peran kepada perempuan dalam lingkaran terorisme sebagai pendukung pilihan jalan suami dan ikut serta dalam pilihan suami. Bias gender menempatkan laki-laki sebagai individu yang dianggap rasional dan pilihan-pilihannya berdasarkan logika sehingga itu divalidasi. Namun berbeda dengan perempuan, sehingga perempuan hanya diminta untuk menjadi pengikut suami dan tetap pasif. Karena hal tersebut perempuan tidak bisa merdeka. Belum lagi, tafsir-tafsir agama yang disalahgunakan menjadikan perempuan sebagai orang yang harus bersedia ketika seorang laki-laki menginginkannya. Di organisasi-organisasi transnasional seperti ISIS banyak yang menjadikan perempuan sebagai budak seks untuk melayani nafsu para laki-laki yang menjadi combatant teror.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, karena bias gender bahaya, selain dijadikan budak seks, perempuan-perempuan ini diminta menjadi pelaku aksi teror. Strategi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi teror adalah menggunakan perempuan sebagai pengeksekusi aksi teror dan bukan lagi memiliki peran sebagai pemasok logistik. Indoktrinasi pada akhirnya dilakukan oleh organisasi teror, ISIS misalnya, memberikan indoktrinasi terhadap perempuan untuk menjadi eksekutor teror. Hal ini dilakukan karena perempuan dianggap sebagai individu yang memiliki sifat-sifat cinta damai dan anti kekerasan sehingga akan jauh lebih efektif dan aman menerobos keamanan. Karena anggapan-anggapan yang disematkan tersebut membuat perempuan jadi lebih dapat lolos dari identifikasi. Pengasosiasian perempuan dengan sifat-sifat tertentu adalah bentuk bias gender dan pada akhirnya berbahaya.
Bias gender tentu sangat berbahaya bagi perempuan dalam lingkaran terorisme. Indoktrinasi-indoktrinasi yang dilakukan membuat perempuan memiliki posisi yang sangat rentan. Perempuan rentan mengalami kekerasan dalam organisasi teror seperti ISIS. Tafsir-tafsir agama yang ngawur akhirnya dipercayai dengan mudah karena iming-iming ‘surga’ yang akan didapatkan jika ia melakukan aksi seperti aksi bom bunuh diri. Karena bias gender, perempuan pada akhirnya dimanfaatkan oleh organisasi teror untuk melancarkan aksinya karena perempuan yang dianggap cinta damai akan lebih mudah menerobos keamanan. Perempuan-perempuan yang berada di dalam lingkaran terorisme menjadi lebih rentan dimanfaatkan dengan indoktrinasi-indoktrinasi yang membahayakan mereka.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Loyd, Anthony. 2020. Yazidi sex slave is tormented by Isis even after escape (daring). Tersedia di https://www.thetimes.co.uk/article/brainwashed-yazidi-survivor-too-scared-to-go-home-pqwwlvgg3. Diakses pada 18 Desember 2020.
Sinuko, Damar. 2018. Doktrin Jihad Baru dan Peran Perempuan di Balik Bom Surabaya (daring). Tersedia di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514082210-12-297932/doktrin-jihad-baru-dan-peran-perempuan-di-balik-bom-surabaya. Diakses pada 18 Desember 2020.
Speckhard, Anne & Khapta Akhmedova. 2006. Black Widows; The Chechen Female Suicide Terrorists. Female suicide bombers: dying for equality. 84 (1) 63-80.