Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Citayam Fashion Week dan Kurangnya Edukasi tentang Ruang Publik
1 Agustus 2022 21:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Puji Alphatehah Adiwijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gerombolan remaja berdandan nyentrik, bergegas menuju stasiun KRL Citayam, naik KRL kemudian turun ditujuannya yaitu stasiun Sudirman. Keluar stasiun, berdesakan menuju ruang terbuka di Dukuh Atas sembari memesan kopi dingin di Starling, sesekali menyeberang di zebra cross sambil berlenggok layaknya model sekelas Kelly Tandiono. Yap, ini merupakan hal yang lumrah dijumpai beberapa bulan belakangan, fenomena ini dikenal dengan istilah “Citayam Fashion Week”. Fenomena Citayam Fashion Week ini sebenarnya merupakan wujud dari rasa ekspresif kalangan remaja yang bertujuan untuk memperluas lingkup pergaulan ataupun hanya sekadar melepaskan diri dari penatnya kehidupan di tempat asalnya. Jika ditelisik mendalam, sebenarnya tidak ada yang salah dari fenomena ini, hanya sekadar remaja dengan baju nyentrik. Tetapi, berbagai pro-kontra tertuai dari kalangan masyarakat, mulai dari pendapat soal hilangnya kesan mewah wilayah Dukuh Atas-Sudirman, hingga kemacetan yang ditimbulkan serta tumpukan sampah dari sisa-sisa minuman para remaja ini.
ADVERTISEMENT
Jika dipikirkan secara mendalam, sebenarnya ada hal yang lebih memprihatinkan yaitu kurangnya edukasi masyarakat terutama bagi masyarakat daerah Satelit Ibukota soal ketersediaan dan fungsi dari ruang publik yang tersedia di masyarakat. Sebenarnya, telah banyak ruang publik dengan fasilitas yang layak tersedia di berbagai sudut wilayah ibukota. Per tanggal 29 Oktober 2019 telah ada 294 ruang publik terpadu ramah anak yang diresmikan pemerintah DKI Jakarta. Ruang publik ini sejatinya merupakan kebutuhan bagi setiap masyarakat perkotaan. Sebagai mana kita semua tau bahwa dalam kehidupan kota ada dua ruang kehidupan, yaitu:
1. Ruang pertama
Merupakan ruang di mana tempat masyarakat perkotaan menghabiskan waktunya untuk beristirahat, menetap dan berkeluarga. Ruang ini adalah rumah.
2. Ruang kedua
ADVERTISEMENT
Merupakan ruang di mana masyarakat perkotaan melakukan kesibukannya. Ruang ini biasa digambarkan sebagai daerah perkantoran, pusat bisnis dan pusat perbelanjaan. Ruang ini adalah pusat geliat masyarakat perkotaan.
Dari kedua ruang di atas, Sebagai mana yang dikatakan oleh Gubernur Anies Baswedan. Diperlukan adanya ruang di antara ruang pertama dan kedua, sebuah ruang yang mampu dijadikan sebagai tempat masyarakat perkotaan melarikan diri dari segala kebisingan, kesuntukan dan kesibukan kota. Ruang inilah menjadi tempat warga berinteraksi, menemukan pengalaman-pengalaman baru, dan membangun kesetaraan satu sama lain. Wahana yang selalu terlewatkan dalam pembangunan kehidupan di sebuah kota, hingga kota hanya sesak oleh beton atau gedung pencakar langit, laju kendaraan bermotor, lengkap dengan kemacetan dan kebisingan kota.
ADVERTISEMENT
Tak ingin Jakarta terjebak dalam kehidupan seperti ini, Gubernur Anies Baswedan secara serius merancang sebuah konsep ruang ketiga tersebut. Tak hanya RPTRA, bahkan JPO, Taman kota, Hutan kota dan berbagai tanah lapang yang disulap menjadi ruang publik sehingga bisa digunakan oleh masyarakat DKI Jakarta sebagai ruang ketiga dalam kehidupan kota. Sayangnya, pembangunan dari ruang ketiga tersebut tak semata-mata diikuti oleh proses edukasi dan sosialisasi terhadap cara pemanfaatan ruang ketiga dengan baik. Alhasil, tak sedikit RPTRA yang jarang digunakan, hutan kota yang jarang dikunjungi. Masyarakat kota maupun satelit Ibukota lebih memilih pusat perbelanjaan hingga trotoar jalan yang lapang seperti di Kawasan Dukuh Atas untuk melepas penat dari kehidupan dunia.
Ditambah lagi, tak sedikit RPTRA maupun taman kota yang malah dijadikan sebagai objek komersil pedagang kaki lima hingga objek mencari dukungan untuk kepentingan politis. Berbagai miskonsepsi terhadap penggunaan ruang ketiga ataupun ruang public ini merupakan buah dari kurangnya edukasi dan sosialisasi tentang cara pemanfaatan ruang public. Sebenarnya jika dimanfaatkan dengan baik juga didukung oleh institusi terkait maka fenomena masyarakat seperti Citayam Fashion Week dapat berlangsung dengan opini kontra yang minimal, dalam artian tidak akan ada lagi tanggapan bahwa fenomena ini menurunkan kesan mewah SCBD, menimbulkan kemacetan dan lain-lain karena tentu fenomena ini telah terjadi pada tempat yang semestinya. Bukankah indah Citayam Fashion Week berlokasi di Lapangan Banteng, Taman Ismail Marzuki ataupun pelataran Monumen Nasional. Dibanding mengambil tempat di Zebra cross maupun trotoar sekitaran Dukuh Atas-Sudirman.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari hal-hal di atas, tentu peran pemerintah maupun peran warga yang teredukasi seperti pembaca diperlukan, tidak lain untuk mengajak, mensosialisasikan hingga mengedukasi tentang cara penggunaan ruang public sebagai mana mestinya. Hal kecil yang dapat kita lakukan bisa dengan sekadar mengajak keluarga, teman hingga tetangga untuk mengunjungi taman-taman kota, menghabiskan sore bersama keponakan di RPTRA terdekat atau bahkan melakukan piknik kecil-kecilan di Hutan kota.
Referensi :
Hasan, Qusyaini. 2022. Ruang Ketiga, Ruang Publik yang Memanusiakan Warga Jakarta. Diakses pada 1 Agustus 2022 pukul 11.58 WITA https://www.rmoldkijakarta.id/ruang-ketiga-ruang-publik-yang-memanusiakan-warga-jakarta