Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Inflasi Ijazah, Akar dari Penurunan Kualitas Pendidikan
8 September 2023 8:30 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Puji Alphatehah Adiwijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
10-15 tahun yang lalu, sering kali kita mendengar betapa kerennya orang dengan gelar sarjana . Gelar sarjana dahulu dianggap menjadi sebuah jaminan bahwasannya masa depan orang tersebut menjadi terang dan jelas.
ADVERTISEMENT
Gelar sarjana sering kali menjadi modal bagi orang untuk mendapatkan pekerjaan tertentu yang tentunya dulu posisi tersebut amat diperebutkan. Hal ini juga berbanding lurus dengan kesulitan untuk mendapat gelar sarjana di mana orang-orang harus berkuliah dan menjalani berbagai tahapan hingga akhirnya lulus dan wisuda.
Hal ini berbanding terbalik pada saat ini, di mana sarjana sudah menjadi hal yang biasa dan bukan nilai yang khusus lagi. Saat ini terutama di kota-kota besar, gelar sarjana menjadi hal yang bukan lagi hanya bisa didapatkan oleh kalangan menengah atas. Gelar sarjana bagi masyarakat kota adalah hal lumrah yang banyak orang dapat meraihnya.
ADVERTISEMENT
Era teknologi yang semakin berkembang ini juga menyumbang andil dalam fenomena ini. Pergeseran pemikiran dari berbagai aspek mulai dari sistem politik hingga Pendidikan maupun pandangan masyarakat kepada sarjana semakin marak.
Fenomena tersebut di antaranya adalah inflasi ijazah, di mana banyak sarjana yang bekerja setara dengan kemampuan setingkat sekolah menengah atas (SMA), kualifikasi serta kompetensi setingkat SMA, upah setingkat SMA, serta beban kerja yang "hanya" setingkat kualifikasi pekerja lulusan SMA.
Fenomena inflasi ijazah ini juga didukung dengan bergesernya politik pendidikan yang kini cenderung dikomersialisasikan. Hal ini terlihat di mana perguruan tinggi cenderung memperbolehkan siapa saja untuk menjadi sarjana tanpa adanya proses screening yang jelas dari awal. Dalam artian, banyak perguruan tinggi yang bila meluluskan siapapun walau sebenarnya tanpa ada kemampuan akademisi, hanya dengan membayar saja pasti lulus.
ADVERTISEMENT
Hal ini ditambah lagi dengan pola pikir masyarakat Indonesia yang cenderung menganggap bahwa gelar adalah segalanya. Sehingga, banyak orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya setinggi mungkin tanpa berpikir bahwasannya proses untuk menjalani pendidikan tersebut membutuhkan pengalaman empiric dan praktik yang cukup.
Hal ini tentu berimbas pada banyaknya pengangguran setingkat sarjana di Indonesia. Pengangguran ini dipicu lantaran mereka merasa malu karena bekerja tidak sesuai pendidikan dan gelarnya.
Selanjutnya, hal ini juga dapat berimbas pada lulusan magister (S2). Sebab, tidak sedikit lulusan sarjana yang menganggur lebih memilih melanjutkan pendidikan ke tingkat magister dengan dalih akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan gelar S2-nya.
Padahal pada kenyataannya, setelah mereka lulus akan lebih sulit lagi untuk mencari pekerjaan dengan gelar S2 yang memang dikualifikasikan untuk S2. Alhasil, ketika lulusan S2 gengsi untuk mendapatkan pekerjaan selevel SMA atau S1, maka mereka akan mengejar pekerjaan yang memang dikualifikasikan untuk S2, sebut saja menjadi dosen.
ADVERTISEMENT
Bagi lulusan S2 yang hanya mengejar pekerjaan atas dasar gengsi tanpa memikirkan apakah mereka mampu atau tidaknya tentu akan memilih bahwa menjadi dosen adalah yang terbaik. Padahal, mereka lupa bahwasanya menjadi dosen berarti bersedia menanggung beban kerja dosen yang teramat berat yaitu mendidik para mahasiswa.
Sekarang, silakan pembaca berpikir apa yang akan terjadi ketika lulusan S2 yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi S2 menjadi seorang tenaga pengajar di perguruan tinggi? Tentu pikiran akan mengarah ke hal-hal yang negatif.