Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Sampah Demografi, Dampak Negatif Bonus Demografi
13 November 2023 9:57 WIB
Tulisan dari Puji Alphatehah Adiwijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi generasi yang lahir setelah Tahun 2000 (atau bahkan sebelumnya), sudah sering mendengar kata bonus demografi. Lantas, apasih artinya? Dilansir dari “Buku Ajar Demografi” Karya K. Ismail yang di terbitkan oleh Tahta Media, Bonus Demografi merupakan fenomena peradaban kependudukan suatu negara di mana, terjadi ledakan jumlah penduduk usia produktif yang dapat menjadi modal dasar dalam pembangunan. Jika dijabarkan lebih rinci lagi, dapat ditarik kesimpulan bahwa akan lebih banyak anak muda usia produktif dibandingkan usia non-produktif. Hal ini ternyata bak dua mata pisau pasalnya, usia produktif identic dengan semangat yang menggebu serta kebutuhan yang juga meningkat. Jika tidak tersalurkan dengan baik, bukan tidak mungkin bahwa usia produktif ini malah menjadi bencana bukan modal Pembangunan.
ADVERTISEMENT
Bagi pembaca bahkan penulis sudah sering mendengar bahwa dengan adanya bonus demografi digadang-gadang Indonesia akan menuju negara yang maju dan janji-janji manis lainnya. Nyatanya, hingga saat ini menurut data dari Badan Pusat Statistik Per Februari 2022 lebih dari 59% pengangguran di Indonesia berusia muda antara 15-29 tahun. BPS mencatat jumlah pengangguran dalam rentang usia tersebut mencapai 4,98 juta jiwa per Februari 2022. Rinciannya, terdapat 1,13 juta jiwa pengangguran berusia 15-19 tahun, sebanyak 2,5 juta jiwa berusia 20-24 tahun, serta 1,34 juta jiwa berusia 25-29 tahun. Sedangkan pengangguran yang berusia 30-39 tahun sebanyak 1,4 juta jiwa, dan yang berusia 40-49 tahun ada 1,2 juta jiwa. Kemudian pengangguran berusia 50-59 tahun ada 617,49 ribu jiwa, serta yang berusia di atas 60 tahun sebanyak 199,1 ribu jiwa. Jika ditotalkan, jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2022 mencapai 8,4 juta jiwa. Jumlah tersebut porsinya mencapai 5,83% dari total angkatan kerja yang berjumlah 144,04 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Banyaknya jumlah pengangguran usia produktif ini tentunya bukan hanya semata-mata akibat terbatasnya jumlah lapangan pekerjaan tetapi juga disebabkan oleh lapangan pekerjaan itu sendiri yang seringkali menerapan syarat-syarat yang jauh dari kebutuhan, seperti batas usia di 25 tahun, batas tinggi (Kecuali pekerjaan yang memang membutuhkan pekerja dengan standar tinggi tertentu) hingga memilih pekerja berdasarkan goodlooking
Jumlah pengangguran usia produktif yang berlimpah juga dapat mengakibatkan efek domino ke berbagai sektor kehidupan. Sebagai contoh, ke sektor criminal. Bukan tidak mungkin bahwasannya para penduduk usia produktif ini ketika sulit untuk mendapatkan pekerjaan, malah menjamah hal-hal terkait criminal. Tentu saja, sudah banyak contoh untuk diambil seperti begal, copet, rampok hingga pembunuhan berencana. Terbentuknya ormas-ormas yang didominasi oleh pemuda tentu juga menjadi indicator banyaknya penduduk usia produktif yang terdidik namun tidak memiliki pekerjaan sehingga merambah ke ormas-ormas demi mendapat kesibukan. Hal ini juga didukung dengan adanya tahun politik 2024 yan tentu saja akan banyak memanfaatkan ormas-ormas untuk menjadi basis pendukung paslon tertentu.
ADVERTISEMENT
Banyaknya permasalahan yang terjadi akibat membludaknya penduduk usia produktif tentunya harus menjadi masalah actual bagi skala negara tetapi malah seringkali kita diabaikan terhadap kenyataan ini. Bukan hal asing bahwa dari zaman sekolah dasar kita telah dinina-bobokan dengan iming-iming Indonesia zamrud khatulistiwa, negara kay SDA hingga mimpi bonus demografi. Hingga kita lupa bahwasannya Puncak bonus demografi beberapa tahun lagi tapi masih banyak hal-hal yang justru cenderung negative sebagai hasil dari bonus demografi
Hal-hal negative yang terjadi akibat dari membludaknya usia produktif ini kelak disebut sebagai “Sampah Demografi”. Fenomena sampah demografi inipun sudah pernah dihadapi oleh negara-negara di dunia. Sebut saja Korea, pada tahun 1980 an Korea mengalami demografi yang kurang lebih sama seperti Indonesia. Tetapi, dapat kita lihat saat ini, tentu akan sangat berbeda kondisi demografi maupun sosial-ekonomi antara korea dan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Korea adalah keberhasilannya dalam memanen dividen demografi. Dividen demografi maksudnya percepatan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan melalui perubahan struktur usia penduduk. Keberhasilan Korea mengendalikan jumlah kelahiran menuai keuntungan sejak dekade 1980-an dengan rasio ketergantungan penduduknya sebesar 52,4 per 100 penduduk. Pada saat yang sama, PDB per kapitanya naik dari US$ 200 pada awal 1970-an menjadi US$ 6.000 pada awal 1990.
Ketika Korea berhasil menuai dividen demografi pada dekade 1980-an, rasio ketergantungan penduduk di Indonesia mencapai 74,4 per 100 penduduk. Ini bahkan lebih tinggi dari rasio pada 1950-an sebesar 73,2 per 100 penduduk. Alhasil perekonomian Indonesia tidak bisa tumbuh secepat Korea. Pada awal 1970-an PDB per kapita Indonesia US$ 85 dan pada 1990 hanya naik menjadi US$ 600.
Kalau boleh menyimpulkan secara agak tajam, saat pemuda terdidik Korea Selatan sedang jadi profesional di perusahaan lokal kelas dunia atau menjadi seniman panggung mengglobal, pemuda di negara utaranya Australia sibuk berkarir di ormas atau sayap parpol, mengandalkan subsidi APBN, atau ya frustasi sampai saling bacok akibat bentrok antar (yang katanya) persatuan beladiri.
ADVERTISEMENT
Jadi, mari kita buka mat akita bahwasannya bonus demografi dapat dengan mudah menimbulkan “sampah demografi”. Stop ternina-bobokan dnegan iming-iming bonus demografi sebab kenyatannya saat ini, lebih banyak sampah daripada bonusnya.