Paparan Media dan Pengabaian Risiko Malnutrisi Remaja Indonesia

Pupung Arifin
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Konten dari Pengguna
29 Januari 2024 17:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pupung Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi makanan yang mengandung nutrisi makro dan mikro. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi makanan yang mengandung nutrisi makro dan mikro. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada akhir Januari, setiap tahunnya Indonesia memperingati Hari Gizi Nasional. Secara khusus pada tahun 2024, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengambil tema “MP-ASI Kaya Protein Hewani Cegah Stunting”. Pengambilan tema tersebut menunjukkan bahwa bayang-bayang bahaya stunting masih belum benar-benar hilang dari Indonesia. Fariz (2023) menegaskan bahwa berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) 2022, terlihat bahwa prevalensi stunting di Indonesia masih sebesar 21,6 persen. Angka tersebut memang nampak sudah membaik dibandingkan dengan data tahun 2021 yang masih sebesar 24,4 persen. Meskipun demikian, angka tersebut masih jauh di bawah target nasional yakni sebesar 14 persen di tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Banyak sumber referensi yang sudah memaparkan penyebab dari stunting pada anak, antara lain kesehatan dan nutrisi ibu pada saat hamil, kegagalan pemberian ASI eksklusif, rendahnya nutrisi pada pemberian MP-ASI, rendahnya faktor ekonomi, gaya hidup, pola asuh, pola makan, dan kesehatan keluarga (Black & Heidkamp, 2018; Krisnana dkk., 2020; Vaivada dkk., 2020; Khoiriyah & Ismarwati, 2023). Sebagian besar referensi tersebut lebih banyak menyoroti kesalahan pada rendahnya nutrisi ibu dan anak. Padahal jauh sebelum menjadi seorang ibu dan ayah, mereka tumbuh dan berkembang dari anak-anak, remaja hingga dewasa. Nai (2024) mengingatkan bahwa kejadian malnutrisi pada balita dan anak bisa saja terjadi karena gangguan gizi pada fase remaja seorang calon ibu. Kondisi gizi yang kurang mencukupi pada satu fase di siklus kehidupan seseorang, akan berdampak buruk pada tahap kehidupan selanjutnya. Maka perbaikan gizi pada usia remaja akan berpotensi untuk menjamin tubuh yang lebih sehat di usia selanjutnya dan pada akhirnya berdampak positif bagi ekonomi dan kesehatan negara (Nai, 2024).
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia cenderung tidak asing dengan makanan rendah gizi atau yang sering disebut dengan junk food. Meskipun disadari bahaya dari mengonsumsi makanan jenis ini, masyarakat Indonesia cenderung menyukainya. Paling sederhana, junk food relatif mudah didapat, murah, rasa yang enak dengan tampilan yang menarik. Hal ini bertolakan dengan sayuran atau unprocessed/minimally processed foods yang cenderung tawar atau bahkan pahit. Banyak studi sudah memaparkan akan bahaya mengonsumsi junk food yang dapat menyebabkan tubuh kekurangan asupan nutrisi dan risiko buruk lainnya (Bohara dkk., 2021; Liu dkk., 2021; Malmir dkk., 2023).
Survei yang dilakukan Harian Kompas pada Maret 2022 memperkuat keyakinan akan risiko rendahnya asupan gizi di Indonesia. Survei tersebut menemukan fakta bahwa 34,9 persen responden menyukai rasa makanan tidak sehat tersebut (Aini, 2022). Survei yang sama juga mengungkapkan bahwa mayoritas responden mengakui bahwa konsumsi junk food tersebut dilakukan secara rutin, setidaknya satu hingga tiga kali dalam seminggu. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan fakta bahwa 68 persen masyarakat Indonesia tidak mampu memenuhi standar minimal biaya pembelian makanan bergizi yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) (Wisanggeni dkk., 2022). Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa Angka Kecukupan Gizi (AKG) di Indonesia pada tahun 2023 termasuk salah satu yang paling rendah sejak tahun 2017 (Rizqiyah, 2023). BPS juga menambahkan bahwa AKG masyarakat perkotaan cenderung lebih rendah daripada masyarakat pedesaan. Kondisi tersebut terjadi karena akses masyarakat desa akan pangan yang sehat lebih dekat dibandingkan masyarakat perkotaan yang lebih banyak didominasi pada pilihan pangan tinggi kalori.
ADVERTISEMENT
Otoritas kesehatan saat ini lebih banyak menyasar untuk menyelesaikan faktor langsung masalah gizi seperti asupan makanan yang rendah, kualitas makanan yang buruk dan kurangnya aktivitas fisik, sedangkan faktor tidak langsung kurang banyak mendapat perhatian. Hildagardis Meliyani Erista Nai (2024) pada Seminar Gizi “Pilih Sekarang Sehat Seterusnya” yang diselenggarakan di Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada Sabtu, 27 Januari 2024 mengatakan bahwa faktor tidak langsung seperti nilai sosial atas citra tubuh, kesehatan dan sanitasi yang ramah remaja dan gender, dan kurangnya pendidikan gizi berkontribusi pada rendahnya AKG di Indonesia, khususnya pada remaja. Pendidikan dan literasi gizi bisa sampai ke individu masyarakat melalui banyak cara, salah satunya media massa.
Media massa (termasuk media sosial di dalamnya) menjadi kendaraan yang diyakini cukup efektif dalam menyebarkan hal positif maupun negatif terkait kampanye kesehatan. Setidaknya ada beberapa studi yang membahas peran media dalam isu kesehatan, antara lain interaksi remaja pada produk makanan tidak sehat di media sosial (Fleming-Milici & Harris, 2020), penggunaan musik dan visual art (Bunn dkk., 2020), serial televisi (Mahmoud, 2023), dan transmedia storytelling (Lutkenhaus dkk., 2020). Jenkins dkk. (2013) mengingatkan bahwa konten media mampu untuk menyebar dengan sendirinya, yang masuk ke satu pikiran seseorang ke orang lainnya tanpa mampu dielakkan.
ADVERTISEMENT
Melihat kekuatan media yang sedemikian rupa, nampaknya aktivisme promosi kesehatan, khususnya gizi di kalangan remaja Indonesia menghadapi tantangan yang cukup terjal. Setiawan (2023) menuliskan bahwa program bertema kuliner di televisi Indonesia dibawakan dengan gaya yang cukup “receh”. Khalayak televisi lebih banyak dipertontonkan pada tampilan visual makanan yang menarik dan keahlian naratif host dalam mendeskripsikan makanan yang cenderung pedas (bahkan sangat pedas), gurih, manis dan sebagainya. Penonton seakan dihipnotis oleh pembawaan khas dari host yang cenderung unik dan menghibur. Tidak bisa disangkal bahwa hal tersebut kemungkinan akan tetap dipertahankan oleh pengelola program televisi selama berkorelasi positif pada angka rating dan share. Harapan akan adanya kampanye makanan tinggi gizi pada media massa tradisional seakan menjadi utopia.
ADVERTISEMENT
Selain media konvensional, media sosial juga menyimpan peluang sekaligus risiko pada promosi makanan tinggi gizi pada remaja. Perubahan lanskap media yang semakin pesat memungkinkan penggunanya memiliki banyak pilihan untuk memenuhi kebutuhan. Diskusi komunitas daring di media sosial kerap berfungsi sebagai pengontrol khalayak untuk mengikuti konten yang mungkin disukai oleh peer group-nya (Lutkenhaus dkk., 2020). Lebih jauh, komunitas online juga cenderung akan berinteraksi dengan individu lain yang mencerminkan dan memperkuat pendapatnya sendiri. Kondisi ini dikenal dengan istilah echo chamber. Pada konteks asupan gizi remaja, hal ini tentu menjadi tantangan yang cukup kompleks karena masa remaja merupakan fase pembentukan identitas diri yang bersirkulasi di seputar peer group-nya (Sussman dkk., 2007).
Standar ideal kecantikan yang kerap dibagikan di media sosial turut memberikan andil terhadap kondisi tersebut. Hampir 90 persen remaja berusia 18-28 tahun menjadi pengguna aktif media sosial, yang di antaranya menjadi influencers media sosial (Aparicio-Martinez dkk., 2019). Potvin Kent dkk. (2019) bahkan memprediksi, ada lebih dari 9000 pesan pemasaran makanan di media sosial setiap tahunnya, yang sebagian besar merupakan makanan rendah nutrisi. Studi yang dilakukan oleh O’Donnell & Willoughby (2017) menunjukkan bahwa pengaruh dari iklan dan promosi di media sosial terhadap bentuk tubuh yang ideal memiliki keterkaitan dengan persepsi remaja terkait tubuh dan asupan makan. Beberapa peneliti juga melihat bahwa media sosial menjadi obesogenic environment. Tempat yang memungkinkan sirkulasi pesan seperti gambar, video, iklan, postingan food influencers, kompetisi memasak dan peer-to-peer messages dalam kehidupan kita sehari-hari (Qutteina dkk., 2022). Media sosial menjadi lahan subur untuk mengglorifikasi asupan makanan non inti (makanan sampingan yang rendah nutrisi). Paparan konten tersebut seakan kurang termonitor oleh orang yang lebih dewasa karena remaja dan anak muda menjadi “tuan rumah” media sosial.
ADVERTISEMENT
Norma media, khususnya media sosial cenderung menggiring pemahaman bahwa makanan yang perlu dikonsumsi adalah yang viral, penuh dengan sensasi, dijual di tempat yang susah diakses, tampil dengan visual yang menggoda, dengan rasa yang terkadang cenderung sangat pedas, gurih atau sangat manis. Hal itu tidak dapat dipungkiri karena algoritma media sosial menunjukkan bahwa konten tayangan kuliner yang seperti itu mendapatkan respons yang tinggi dari khalayak. Hal tersebut kemudian didukung oleh kemudahan layanan pesan antar makanan daring yang marak digunakan oleh masyarakat Indonesia dewasa ini.
Bahaya malnutrisi yang mengancam remaja Indonesia ini dapat dilihat dari sudut pandang komunikasi risiko. Palenchar (2012) menyampaikan bahwa komunikasi risiko adalah aktivitas membangun relasi dan pemahaman bersama dalam rangka terbentuknya kesadaran bersama akan risiko yang akan dihadapi. Kesadaran bersama tersebut kemudian akan diikuti dengan berbagai bentuk strategi komunikasi untuk dapat memunculkan solusi atau rekomendasi dalam upaya mengurangi dampak risiko yang akan muncul. Pengambilan keputusan individu tentang konsekuensi bahaya kesehatan dan resiko lainnya ditentukan dari nilai atas keputusan tersebut. Sebagai contoh, banyak orang takut naik pesawat udara meskipun kemungkinan kematian di pesawat adalah sekitar satu banding 205.552, dibandingkan transportasi roda empat yang sebesar satu banding 102 (CNBC Indonesia, 2024).
ADVERTISEMENT
Frewer (2004) menegaskan bahwa publik harus dapat dilibatkan dalam aktivitas komunikasi risiko. Hal tersebut akan mengurangi distrust publik terhadap lembaga pemerintah dan praktisi komunikasi risiko. Secara khusus, pada konteks media sosial dan remaja, para pemangku kepentingan tidak bisa bergantung pada cara komunikasi instruksional mekanistik yang cenderung satu arah dan top-down. Remaja harus dilibatkan untuk menyusun pesan-pesan kesehatan yang menarik dan sederhana, sehingga bisa diterima dengan mudah oleh peer-group nya. Pesan harus dirumuskan sedemikian rupa dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomi remaja yang menjadi target sasaran.
Otoritas kesehatan juga perlu mengambil langkah lebih lanjut dalam meregulasi terpaan dan pemasaran produk makanan minuman di media sosial untuk mengurangi kebiasaan buruk dalam mengonsumsi makanan rendah gizi. Jika beberapa tahun terakhir kita melihat aktivisme media sosial remaja dalam merespons isu perubahan iklim, kesehatan mental dan body positivity, maka bukan tidak mungkin bagi mereka untuk melakukan yang sama dalam merespons masalah gizi pada remaja. Jika permasalahan ini dapat terurai, maka visi Indonesia Emas 2045 menjadi semakin rasional untuk dicapai.
ADVERTISEMENT