Konten dari Pengguna

Emak-emak Dasteran vs Luhut tentang "Tracing"

Hermanto Purba
Guru di SMP Negeri 2 Pakkat, Humbang Hasundutan
2 Agustus 2021 18:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hermanto Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menko Marves Luhut B. Pandjaitan sebagai Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Foto: Maritim.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Menko Marves Luhut B. Pandjaitan sebagai Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Foto: Maritim.go.id
ADVERTISEMENT
Pagi itu, saya bangun agak kesiangan. Maklum, malamnya saya harus menuntaskan kerjaan kantor yang menumpuk. Beruntung, keesokan harinya libur. Jadi saya bisa agak lebih lama sembunyi di balik selimut merah yang sudah usang itu. Sesungguhnya saya masih ingin berlama-lama di atas ranjang. Tapi sayang, perut tidak bisa diajak kompromi.
ADVERTISEMENT
Saya segera menuju meja makan. Nasi goreng teri, nasi goreng favorit kami, yang pagi itu dimasak istri saya ternyata telah ludes dimakan anak-anak. Ingin kuteriak. Tapi saya segera sadar, itu hanya akan membuang energi saja yang justru membuat suara keroncongan di perut berbunyi makin tak karuan. Saya akhirnya putuskan nyari sarapan di luar.
Kala itu, virus corona baru saja terdeteksi di Indonesia. Jumlah pasien positif masih hitungan jari. Masih sedikit sekali. Tapi sudah menjadi bahasan nasional. Sekalipun pada saat itu para pejabat di negeri ini masih menyepelekan virus corona, yang ternyata hingga setahun lebih ke depan tak kunjung teratasi, tapi penyebarannya malah kian tak terkontrol.
“Pemerintah harusnya melacak mereka yang selama ini dekat sama yang positif itu,” celetuk seorang emak-emak dasteran di samping saya kepada temannya yang juga sedang menunggu pesanan sarapan. Awalnya saya hanya cuek saja. Efek terlalu lapar mungkin. Namun, lama-lama saya menikmati percakapan mereka. “Ilmu baru nih,” pikirku dalam hati.
ADVERTISEMENT
“Caranya gimana?” Tanya si Ibu penjual sarapan. Ternyata bukan hanya saya saja yang memperhatikan pembicaraan mereka. “Gampang. Ditanya aja yang positif itu. Dia kontak sama siapa aja. Udah gitu, tanya lagi yang kontak sama yang positif tadi, mereka ngobrol sama siapa aja. Ya, gitu selanjutnya. Lalu dites bareng-bareng,” jawab emak-emak tersebut.
Kala itu istilah tracing belum sepopuler sekarang. Sesungguhnya sampai sekarang juga istilah itu tidak familiar-familiar amat di telinga rakyat. Hanya kerap diucapkan oleh para ahli kesehatan dan pandemi. Sesekali pemerintah membicarakannya, Tapi hanya di tataran wacana saja. Praktiknya di lapangan sangat tidak maksimal, hanya sekadar cuap-cuap.
Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman, misalnya, telah berulang kali menyuarakan agar Pemerintah Indonesia benar-benar serius melaksanakan testing, tracing, treatment (3T). Begitu pun para ahli lainnya, bahkan WHO, sudah sejak dari awal berteriak-teriak agar 3T dilaksanakan seintens mungkin. Namun pemerintah seperti kurang peka.
ADVERTISEMENT
Selama ini, pemerintah memang seperti kurang mendengar pendapat para ahli. Ketika para ahli itu menyarankan untuk me-lockdown Indonesia sebagaimana dilakukan negara-negara lain misalnya, pemerintah mengabaikannya. Tap justru memberikan alokasi tambahan hampir Rp 300 miliar sebagai stimulus pariwisata untuk diskon penerbangan demi menggaet para pelancong dari luar negeri agar datang ke Indonesia. Tak menunggu lama, penyebaran COVID-19 di Indonesia segera membeludak.
COVID-19 masih mengganas, presiden buru-buru mengeluarkan pernyataan mengejutkan, “Hidup berdampingan dengan virus corona.” Masa new normal dimulai. Masyarakat segera keluar berhamburan. Jalan-jalan kembali ramai. Pusat-pusat keramaian kembali penuh sesak. Semua kembali bebas berkegiatan, seolah-olah virus corona sudah tidak ada lagi.
Corona menggila lagi. Katanya gelombang kedua. Sementara gelombang pertama bahkan belum sampai di puncak. Berbagai macam istilah dipakai untuk mengatasi COVID-19 yang aturan pelaksanaan antara satu dan lainnya seperti tidak ada beda. PSBB. Setelah itu muncul PPKM Mikro berjilid-jilid. Lalu PPKM Darurat. Kini berganti lagi jadi PPKM Level 1 sampai 4. Tidak tahu entah istilah apa lagi yang bakal dimunculkan biar pemerintah seolah-olah kelihatan bekerja.
ADVERTISEMENT
Ratusan triliun uang negara digelontorkan. Anggaran di-realokasi dan di-refocusing. Tapi keadaan bukan justru makin baik. Makin parah malah. Bloomberg menyampaikan, Indonesia sebagai negara terburuk di dunia dalam hal ketahanan pandemi COVID-19 saat ini. Dan kabar buruknya lagi, Indonesia diprediksi bakal jadi negara terakhir yang keluar dari krisis COVID-19.
Nah, ketika negara sudah babak belur, ekonomi berantakan, ekonomi tumbuh bukan justru ke atas tapi ke bawah, banyak rakyat kecil yang di-PHK, ribuan UMKM terpaksa gulung tikar, Ompung Luhut, menteri kesayangan presiden, yang saat ini dipercaya mengurusi banyak hal di negeri ini, ternyata baru mengerti bahwa teknik tracing penting dalam penanganan COVID-19. Kok lama banget sih ngertinya? Kok jadi lebih hebat ya emak-emak dasteran itu.
ADVERTISEMENT
Baru saja COVID-19 masuk ke Indonesia, emak-emak tadi sudah melontarkan ide tracing sekalipun ia menyebutnya dengan istilah lain. Kenapa Luhut baru mengertinya sekarang? Sependek pengetahuan saya, Luhut Binsar Pandjaitan itu tidak tuli. Pendengarannya bagus. Ia juga tidak buta. Ia dapat melihat banyak hal dengan baik. Yang pasti ia sehat walafiat. Ia tidak cacat. Ia mantan prajurit loh. Jenderal lagi.
Saya menduga hatinya yang mungkin sedang bermasalah. Hatinya tidak keluh melihat banyak warga menjadi sangat melarat karena corona. Hatinya tidak tersentuh melihat begitu banyak korban yang mengembuskan napas terakhirnya karena terinfeksi virus corona. Hatinya tidak bersedih melihat ratap tangis di mana-mana. Sebab karena COVID-19, ada banyak anak yang tiba-tiba jadi yatim, jadi piatu, atau jadi yatim piatu.
ADVERTISEMENT
Atau mungkinkah daya nalarnya yang sudah mulai menurun. Tidak lagi sebaik dulu ketika ia masih menjadi tentara aktif. Akibatnya ia jadi susah mengolah setiap informasi yang disampaikan oleh berbagai pihak termasuk para epidemiolog terkait langkah-langkah terbaik yang mesti ditempuh untuk memutus mata rantai penularan virus corona, yang salah satu di antaranya adalah tracing yang bau saja ia pahami?
Tapi ini hanya dugaan loh. Sebab jika kita coba cermati selama ini, ketika ia bicara di TV, ia selalu menunjukkan kalau ia begitu berempati atas penderitaan rakyat. Ia selalu menyampaikan kepada seluruh khalayak ramai kalau selama ini ia sudah berjuang untuk rakyat, bekerja keras melaksanakan perintah Bapak Presiden.
Lalu kenapa baru sekarang Luhut baru mengerti tentang betapa pentingnya tracing untuk penanganan COVID-19? Saya menduga ia baru saja bertemu dengan emak-emak dasteran tadi. Mungkin ia diberi tahu jika tracing harus dilakukan segetol-getolnya jika ingin bebas dari virus corona. Sekalipun terlambat, kita harus mengapresiasi pengakuan Luhut itu. Sebab toh bukan semata-mata kesalahannya. Emak-emak tadi yang mungkin lama baru menemuinya.
ADVERTISEMENT