Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Menebar Asa dari Rumah Ibadah
11 Juli 2021 9:23 WIB
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:00 WIB
Tulisan dari Hermanto Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kian ke sini, penyebaran virus korona di Indonesia bukan malah kian menurun, namun sebaliknya, justru kian mengganas. Ketika beberapa negara lain sudah menerapkan kebijakan melepas masker, dan bahkan negara tetangga, Singapura, telah menganggap virus corona sebagai flu biasa, bangsa ini masih harus bergelut melawan virus yang sudah setahun lebih memorak-porandakan hampir seluruh lini kehidupan itu.
ADVERTISEMENT
Jumlah kasus positif, terlebih-lebih sebulan terakhir, terus menanjak. Rumah-rumah sakit kolaps, sudah tidak mampu lagi menampung pasien Covid yang terus membanjir. Tabung oksigen langka di mana-mana. Kalaupun ada, harganya pasti selangit. Berkali-kali lipat dari harga normal. Di waktu yang sama, ada banyak tenaga kesehatan yang kehabisan tenaga, jatuh sakit, tertular Covid-19 dari pasien, dan tidak sedikit pula yang gugur.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pemerintah telah berupaya menangani pandemi ini. Berbagai kebijakan dilaksanakan. Namun sebagian masyarakat menganggap pemerintah belum bekerja optimal dan cenderung lebih mementingkan sektor ekonomi ketimbang kesehatan. Permintaan beberapa pakar kesehatan agar Indonesia di-lockdown atau setidaknya memberlakukan kembali PSBB misalnya, tidak direspons oleh pemerintah.
Namun terlepas dari itu semua, abainya sebagian besar masyarakat untuk menaati protokol kesehatan sebenarnya menjadi salah satu penyebab kenapa penyebaran virus corona belum dapat ditekan hingga saat ini. Sebab sebaik apa pun kebijakan pemerintah, jika masyarakat tetap ngeyel, tetap saja hanya akan sebatas kebijakan tanpa hasil maksimal. Kondisi ini kian diperparah atas rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut divaksin.
ADVERTISEMENT
Kenapa demikian? Ada berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah adanya sebagian rohaniawan, sebutlah pendeta atau ulama, yang sepertinya turut “menghasut” umat. Ada yang menyebut bahwa virus corona tidak benar-benar ada. Covid hanya akal-akal pemerintah saja. Covid hanya sebuah konspirasi. Covid sengaja diciptakan sebagai pengalihan isu untuk menutupi berbagai kegagalan pemerintah selama ini.
Begitu pun dengan vaksinasi Covid-19, ada beberapa pemuka agama yang menyebut vaksin Covid tidak halal. Yang lain menyebut vaksin yang digunakan di Indonesia telah dipasangi microchip yang nantinya akan membuat setiap orang yang divaksin akan menjadi seperti robot. Sehingga dengan demikian, pemerintah akan dengan mudah memantau rakyatnya dan akan bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya.
Sementara itu, bagi kalangan umat Kristen, salah satu isu yang digulirkan adalah perihal adanya microchip 666, yang mereka sebut sebagai microchip milik Antikristus, yang nantinya akan ditanamkan ke dalam tubuh manusia melalui vaksin. Dengan alasan doktrin, ada beberapa pendeta yang secara terbuka mengajak jemaat untuk menolak divaksin. Sebab bila seseorang divaksin, mereka berpendapat, ia akan menjadi pengikut Antikristus.
ADVERTISEMENT
Dengan dalih itu, mereka lalu menyimpulkan virus corona tidak perlu ditakuti. Dan mem-vaksin diri bukanlah sesuatu hal yang wajib dan bahkan bila perlu, dihindari saja. Berdasarkan asumsi itu pula, mereka menyerukan penolakan atas kebijakan pemerintah menutup sementara tempat-tempat ibadah yang menurut mereka akan membuat Tuhan marah. Mereka menilai, kebijakan itu telah menghalang-halangi umat untuk datang beribadah.
Masalahnya, ada banyak umat yang percaya pada pernyataan pemimpin agama mereka itu. Sekalipun para pemimpin itu sesungguhnya tidak pernah (baca: dapat) menyajikan bukti sahih atas pernyataan-pernyataan mereka. Mereka hanya menduga-duga dan bahkan ada pula yang mengarang-ngarang cerita dengan menyelipkan atau mencocok-cocokkan beberapa ayat kitab suci untuk sekedar meyakinkan umat.
Satu hal yang perlu disadari bahwa baik ulama, pendeta, atau pemimpin agama lainnya bukanlah ahli dalam segala hal. Untuk urusan ekonomi misalnya, saya lebih percaya pada ahli ekonomi, untuk urusan pertanian saya lebih percaya pada ahli pertanian, dan untuk urusan pandemi dan kesehatan saya lebih percaya pada ahli kesehatan. Tapi untuk urusan agama dan kerohanian, tentu saya lebih percaya pada ahli agama (rohaniawan).
ADVERTISEMENT
Semua ada porsinya masing-masing. Hal-hal yang berbau kerohanian merupakan porsinya rohaniawan. Namun untuk urusan kesehatan dan pandemi, mereka adalah awam. Dunia kesehatan dan keagamaan adalah dua hal yang berbeda. Biarlah keduanya berjalan pada relnya masing-masing tanpa harus menyama-nyamakan atau membentur-benturkannya.
Agar pandemi Covid ini segera usai, salah satu cara yang patut ditempuh adalah, para rohaniawan, yang selama ini kerap bersuara sebagai pihak yang tidak percaya virus corona dan anti-vaksin, mulai mendengar arahan para ahli kesehatan tanpa perlu membuat tafsir atau dalil sendiri tentang sesuatu yang sesungguhnya kurang mereka pahami. Arahan itu lalu mereka amplifikasi lewat ceramah atau khotbah-khotbah mereka.
Dari rumah-rumah ibadah, para rohaniawan itu semestinya menebar asa dan optimisme. Bahwa bangsa ini akan menang melawan corona jika seluruh umat bersatu-padu, jika seluruh umat mematuhi protokol kesehatan, dan jika seluruh umat memberi diri divaksin. Bukan justru sebaliknya, memengaruhi umat agar tidak takut pada corona, tidak takut mati, tidak perlu mematuhi protokol kesehatan, dan berbagai pengaruh negatif lainnya.
ADVERTISEMENT
Dari rumah-rumah ibadah pula para rohaniawan itu senantiasa mengingatkan umat bahwa virus corona sungguh-sungguh ada. Bahwa virus corona telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan. Bahwa virus corona sungguh telah merenggut puluhan ribu nyawa di Indonesia. Dan dari puluhan ribu pasien meninggal itu, ada ratusan rohaniawan yang tercatat telah menghembuskan nafas terakhirnya karena tertular Covid-19.
Saya percaya, jika asa dan optimisme ditebar oleh para rohaniawan itu secara terus-menerus dari rumah-rumah ibadah, sedikit banyak telah membantu pemulihan bangsa ini untuk dapat kembali pada kehidupan normal seperti sediakala. Sebab harus diakui, ucapan rohaniawan masih menjadi rujukan bagi sebagian besar orang hingga saat ini. Maka ketika rohaniawan mengembuskan asa dan optimisme, umat akan menangkapnya dan menjadikannya sebagai pijakan dalam bertindak.
ADVERTISEMENT