Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Menjadi Buzzer yang Beradab
21 Juli 2021 20:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hermanto Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1626861557/dvai9yzol4sncdv8ncmn.jpg)
ADVERTISEMENT
Dunia politik selalu menyajikan banyak hal untuk disimak, dicermati, diperbincangkan, bahkan dianalisis. Dunia politik bak gadis seksi, yang menarik perhatian banyak orang. Dan ketertarikan itu membuat banyak orang mengais rezeki dari sana.
ADVERTISEMENT
Ada yang mengais sedikit, dan tidak sedikit pula yang menjadi kaya raya. Mulai dari cara-cara yang beradab hingga cara-cara tak beriba dimainkan. Mereka yang jujur dan tulus, lazimnya akan tersingkir. Namun sebaliknya, mereka yang jago “bermain”, memainkan segala hal dengan segala cara, biasanya akan keluar sebagai pemenang.
Selain menjadi sumber cuan, dunia politik melahirkan fanatisme. Sebutlah dalam perhelatan pemilihan kepala daerah atau presiden, fanatisme tersebut akan terlihat jelas. Ada yang begitu fanatik dengan calon yang satu, dan ada pula yang amat menggebu mengagumi calon yang lain. Dan jeleknya, fanatisme kerap berbuah perpecahan.
Pilpres 2014 dan 2019 menjadi salah satu contoh nyata betapa fanatisme berakibat buruk pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat menjadi tersekat-sekat. Begitu pun Pilkada DKI Jakarta 2017 silam, tidak kalah buruk dengan gelaran Pilpres dua kali berturut-turut itu.
ADVERTISEMENT
Fanatisme buta itu lalu beranak-pinak melahirkan buzzer. Ada yang menyebut para pendengung itu bekerja mandiri. Tidak dibiayai oleh politikus yang senantiasa mereka bela habis-habisan, terlepas dari apakah politikus itu benar atau salah. Namun ada pula yang menyebut kalau sesungguhnya mereka mendapat bayaran yang tidak sedikit atas kerja keras mereka mencuit di berbagai kanal media sosial.
Lalu apakah seorang politikus salah “memelihara” buzzer? Tidak selamanya. Karena terkadang mereka diperlukan untuk menyampaikan berbagai program dan kebijakan mereka kepada publik. Buzzer biasanya public figures yang memiliki banyak followers. Sehingga lewat cuitan-cuitan mereka, pesan akan lebih cepat tersampaikan.
Tapi sayangnya, kebanyakan buzzer kerap tampil jelek, kasar, pongah, merasa benar sendiri, dan cenderung tidak beradab ketika
ADVERTISEMENT
membela politikus idola mereka di media sosial. Menganggap setiap orang yang berseberangan dengan mereka sebagai musuh, serta setiap yang mengkritik adalah virus ganas yang mesti dimusnahkan.
Begini, apakah seseorang tidak bisa mengkritik pemerintah? Semestinya jawabannya adalah, bisa. Apakah para mahasiswa tidak bisa menyuarakan kegundahan hati mereka atas kinerja pemerintah yang menurut mereka kurang memuaskan? Seharusnya jawabannya adalah, bisa. Apakah rakyat kecil tidak bisa bersuara menuntut pemerintah agar mereka lebih diperhatikan atas berbagai kesulitan hidup yang mereka hadapi? Harusnya, bisa.
Namun, ketika pemerintah dikritik, para buzzer (pemerintah) segera berteriak lantang mencela para pengkritik itu. Mereka menuntut agar setiap orang yang mengkritik semestinya juga harus menyodorkan solusinya. Jika memang harus begitu, sepertinya tidak ada yang patut mengkritik di negeri ini. Atau setidaknya hanya para intelektual saja, yang ilmunya sudah benar-benar mapan, yang bisa. Atau mungkin hanya Tuhan. Sebab hanya Dia saja yang maha sempurna.
ADVERTISEMENT
Masalah kesehatan misalnya, hanya boleh dikritik ahli kesehatan. Atau masalah pendidikan hanya boleh dikritik oleh ahli pendidikan. Intinya, setiap kebijakan pemerintah hanya dapat dikritik oleh yang ahli di bidangnya. Sebab merekalah yang dapat mengkritik sekaligus menawarkan solusi. Rakyat biasa? Mereka bisa apa? Mereka hanya dapat menyuarakan kesulitan-kesulitan hidup mereka seraya berharap mendapat solusi dari pemerintah.
Maka tidak aneh, ketika ada sekelompok mahasiswa menyebut pemimpinnya sebagai "King of lip service" karena dinilai lisannya kerap berbeda dengan lakunya, segera diteriaki para buzzer dengan berbagai macam ejekan. Para mahasiswa itu dianggap sebagai pengacau di tengah pandemi. Mereka dianggap telah menghina kepala negara.
Menghina? Menghinanya di mana? Jika demikian, lalu apa bedanya rezim ini dengan rezim orde baru yang bengis itu, yang membungkam setiap kritik?
ADVERTISEMENT
Lewat tulisan ini saya berharap dan menitip pesan kepada mereka yang mengaku dirinya sebagai buzzer, janganlah ketika melihat setiap orang yang berbeda lalu mengecapnya sebagai warga negara yang anti-NKRI, pengacau, kadrun, dan berbagai macam cap jelek lainnya. Bukankah seharusnya setiap kritikan dijadikan sebagai obat atau sebagai pelecut semangat untuk bekerja lebih maksimal lagi memberi yang terbaik bagi rakyat?
Jadi buzzer silakan saja. Tapi jadilah buzzer yang beradab. Jangan jadi buzzer yang menganggap setiap pengkritik sebagai lawan yang mesti dicela. Jawablah setiap kritikan dengan elegan. Dengan cara-cara terhormat. Jadi buzzer hendaknya pula tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan tidak terpuji seolah-olah seluruh negeri ini adalah miliknya tanpa tersisa sedikit pun bagi para pengkritik.
Seperti kehebohan beberapa waktu lalu misalnya, ada seorang dosen salah satu universitas terbeken di negeri ini, mengunggah status seperti seseorang yang tidak berpendidikan. Hanya demi ingin menunjukkan kalau pemerintah telah bekerja keras menangani Covid-19, dia lalu menjadikan jumlah pasien meninggal karena covid di Indonesia hanya sebatas angka-angka saja.
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika seandainya istrinya, atau anaknya, atau keluarga dekatnya yang meninggal karena virus corona. Apakah dia masih mengunggah status yang sama yang menganggap jumlah korban meninggal hanya sebatas angka statistik? Saya hanya mau katakan, jadilah buzzer yang beradab. Itu saja.