Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Tercabiknya Keceriaan Kami
16 Agustus 2021 13:49 WIB
Tulisan dari Hermanto Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bulan Agustus kali ini terasa begitu hambar. Bulan yang sama tahun lalu juga sesungguhnya tidak kalah hambar. Pandemi COVID-19 menjadi musababnya. Bulan kemerdekaan tahun ini akan berlalu begitu saja tanpa kesan. Datar saja. Tidak berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya. Hanya satu yang mungkin menjadi pembeda: bendera merah putih terpasang di halaman depan rumah-rumah penduduk, dari awal bulan hingga tanggal pamungkas.
ADVERTISEMENT
Biasanya, di kampung saya, setiap kali bulan kedelapan tiba, kegembiraan menyelimuti seluruh warga. Berbagai macam lomba antarkampung digelar yang menjadi hiburan menarik di tengah minimnya tempat hiburan. Di saat-saat seperti itu, budaya gotong royong yang belakangan popularitasnya kian redup, tetiba melambung. Lomba desa terbersih misalnya. Setiap warga seketika membaur, bahu-membahu memperindah desa masing-masing.
Bukan karena besarnya hadiah yang akan diterima jika nantinya keluar sebagai juara. Biasanya para jawara hanya dihadiahi beberapa tempat sampah, ember, atau sapu. Namun menjadi kepuasan tersendiri bagi seluruh warga ketika desanya terpilih sebagai pemenang. Tak jarang pencapaian itu dirayakan dengan sangat meriah dengan menyewa alat musik keyboard, menghadirkan artis-artis kampung, dan berbagai gelaran acara meriah lainnya.
ADVERTISEMENT
Ada lagi pertandingan sepak bola antarkampung yang sudah menjadi tradisi turun-temurun. Namun sekalipun sudah jadi gelaran rutin tahunan, tidak ada satu pun desa yang memiliki klub bahkan nama klub yang permanen. Setiap tahun, nama klub selalu berganti. Lazimnya, menjelang pertengahan tahun, klub akan dibentuk. Para pemain direkrut. Pelatih dipilih. Bukan karena mampu, tapi hanya untuk memenuhi syarat administrasi saja pada saat pendaftaran.
Untuk ikut bertanding, setiap klub tentu butuh dana. Karena klub bahkan nama klub-nya dibuat dadakan, maka segala-galanya untuk keperluan klub dipersiapkan secara dadakan pula. Warga biasanya akan menjadi sumber dana. Para pemain akan berkeliling kampung meminta sumbangan. Ada yang memberi uang. Tidak sedikit pula yang menyumbangkan beras dan hasil pertanian lainnya. Maklum, mayoritas penduduk kampung adalah petani.
ADVERTISEMENT
Sebelum melakoni pertandingan perdana, para pemain akan diberangkatkan dengan doa dan ritual adat oleh para penatua dan tokoh masyarakat. Bahkan konon, para pemain acap dibekali dengan pinang-pinang (magi) yang dipercaya dapat menambah kekuatan, menumbuhkan rasa percaya diri, dan membentengi gawang dari serangan lawan. Pertandingan tidak lagi hanya laga antarpemain, tapi juga acap jadi ajang adu kuat antardukun.
Satu lagi yang unik dari setiap perhelatan pertandingan, seluruh warga kampung akan hadir di lapangan menyaksikan klub desa mereka bertanding. Bahkan mereka yang tidak suka menonton bola pun, turut serta. Nah, kelompok yang tidak suka nonton bola tadi kerap menimbulkan “kekacauan” di pinggir lapangan. Gawang tim-nya yang kebobolan, namun mereka justru berteriak “Gooool” kegirangan. Hal-hal semacam ini sering kali terjadi.
ADVERTISEMENT
Di pinggir lapangan berdiri warung-warung musiman. Biasanya turnamen berlangsung selama sebulan penuh. Pada pertengahan Juli, kompetisi sudah bergulir. Selama kurang lebih 30 hari hingga pada puncaknya, pertandingan final sepak bola pada 17 Agustus sore, setiap pemilik warung mampu mengumpulkan omzet yang tidak sedikit. Bisa hingga puluhan juta rupiah.
Bulan Agustus adalah bulan berkah bagi banyak orang. Roda perekonomian bergerak lebih cepat pada setiap bulan itu. Terlebih-lebih pada tanggal 17-nya yang menjadi puncak kemeriahan dan sukacita segenap warga. Sejak dari pagi hingga sore hari, seluruh warga dari seluruh penjuru kecamatan akan datang memenuhi lapangan untuk mengikuti upacara peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sehari sebelum hari yang cukup membahagiakan itu, ibu-ibu sudah sibuk memasak lampet (sejenis pangan yang terbuat dari tepung beras atau pulut) atau lemang. Lampet atau lemang itu akan dibawa keesokan harinya ke lapangan upacara untuk bekal. Besoknya, pagi-pagi buta, mereka sudah berangkat menuju ibu kota kecamatan. Sengaja berangkat lebih pagi agar tidak ketinggalan menyaksikan berbagai macam parade.
ADVERTISEMENT
Di ibu kota kecamatan, seluruh warga akan memadati sepanjang jalan menuju lapangan upacara. Mereka berdesak-desakan menyaksikan parade drumband, parade busana adat daerah, parade sepeda hias, parade ribuan pelajar dari sekolah-sekolah PAUD hingga SMA, dan berbagai parade menarik dan unik lainnya yang diperagakan oleh para pelajar.
Kaum emak-emak akan bersorak gembira ketika melihat anaknya tampil sebagai salah satu peserta parade. Setelah seluruh parade lewat, mereka akan turut mengikuti upacara. Sebenarnya bukan upacaranya yang penting bagi mereka. Tetapi rangkaian kegiatan setelahnya. Para juara lomba akan diumumkan yang disambut riuh oleh mereka yang menang. Akan ada pula lomba panjat pinang, acara manortor anak-anak sekolah hingga kelompok lanjut usia. Diakhiri dengan partai final turnamen sepak bola antarkampung.
ADVERTISEMENT
Berbagai macam kegiatan yang tersaji sepanjang hari pada setiap tanggal 17 itu akan menjadi cerita yang cukup menarik ketika warga nantinya kembali ke desa masing-masing. Anak-anak akan bercerita tentang betapa meriahnya tabuhan drum kelompok drumband. Ibu-ibu akan berbincang tentang penampilan anak-anak mereka yang kebetulan ikut dalam parade. Anak-anak muda berkisah tentang keseruan mereka bersama gebetan atau pacar. Bapak-bapak akan membahas betapa serunya partai final pertandingan sepak bola.
Namun semua keceriaan itu telah hilang, setidaknya pada dua tahun terakhir. Bulan Agustus kali ini terasa begitu sepi. Tidak ada kemeriahan iring-iringan suporter sepak bola dengan teriakannya yang khas, ketika timnya menang. Tidak ada parade drumband dan berbagai parade lainnya. Tidak ada pesta di desa-desa karena berhasil memenangi salah satu atau beberapa lomba. Semuanya hilang oleh karena pandemi yang tak kunjung usai.
ADVERTISEMENT
Tahun depan, belum ada yang dapat memastikan apakah keadaan sudah kembali normal seperti sediakala. Tahun depan, belum ada pula yang dapat memastikan apakah Hari Ulang Tahun Republik Indonesia dapat dirayakan seperti pada masa pra-Corona. Terlebih-lebih melihat lambatnya penanganan Covid-19 selama ini. Namun apa pun itu, semoga pandemi ini segera berlalu. Dirgahayu Indonesia. Merdeka!
Hermanto Purba, Guru Bahasa Inggris di SMP N 2 Pakkat, Humbang Hasundutan