Milenial, 'Diplomasi' Indie, dan Soekarno

Purna Cita Nugraha
fortune favors the bold
Konten dari Pengguna
14 November 2019 11:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Purna Cita Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika membaca judul dari tulisan ini, pasti banyak di antara kamu yang bertanya-tanya apa sebenarnya hubungan antara milenial, indie, dan Soekarno. Bagi yang penasaran, tulisan ini akan menguak secara khusus hubungan kausalitas dari ketiganya.
ADVERTISEMENT
Nah, buat kalian yang mengaku sebagai milenial dan anak indie, udah tahu belum apa arti kata 'indie' itu sebenarnya? Indie merupakan singkatan dari kata 'independent' yang berarti mandiri.
Dalam dunia musik, indie dikaitkan dengan sikap 'do-it-yourself' (DIY) yang berarti proses rekaman, produksi, dan promosi dilakukan musisi secara sendiri. Gerakan indie ini seolah ingin menantang hegemoni perusahaan atau label rekaman besar yang ingin menggiring kuping anak-anak millennial ke dalam lembah arus utama (mainstream).
The Early November saat tur tahun 2018 di Brooklyn Bazaar, New York (Sumber : dokumentasi pribadi instagram.com/purnacita/)
Biasanya hegemoni tersebut dapat dilihat dari pemilihan lagu, cara promosi dan bahkan fesyen musisi yang ditentukan oleh perusahaan label rekaman. Sebagai anak milenial yang juga melewati masa-masa remaja di Bandung pada kisaran tahun 2000-an, indra pendengaran saya tidak lepas dari pengaruh musisi-musisi indie bandung seperti Mocca, Rocket Rockers, Koil, Homogenic, Sendal Jepit, bahkan dulu Puppen ketika Marcel Siahaan masih memilih menjadi penggebuk drumnya.
ADVERTISEMENT
Kini, kata indie telah dipahami secara lebih luas oleh millennial. Millenial tidak hanya memahami indie sebagai ekspresi dalam bermusik saja, namun telah merambah juga ke gaya hidup, fesyen, dan budaya.
Rukun Indie dan Ekonomi Kreatif
Wira Nagara, komika sekaligus penulis buku, merupakan orang yang berjasa memperkenalkan “Rukun Indie”. Wira menjelaskan bahwa kata indie harus diasosiasikan dengan setidaknya 5 (lima) hal utama, yaitu: 1) senja; 2) kopi; 3) puisi; 4) begadang; dan 5) naik gunung (bagi yang mampu).
Sekilas, kelima hal tersebut tampak sederhana, namun ternyata apabila ditelaah lebih jauh maknanya dalam. Rukun indie merupakan deklarasi sikap yang tidak mengikuti tren arus utama yang kini dibanjiri oleh komersialisasi dan K-pop.
ADVERTISEMENT
Rukun indie mengikrarkan pilihan rasa dan selera anak-anak millennial yang unik dan berbeda dari budaya arus utama yang kini marak. Senja dan naik gunung misalnya, menandakan kecintaan terhadap alam Indonesia. Harapannya agar tumbuh kecintaan terhadap destinasi pariwisata lokal. Kopi tentu merefleksikan kegemaraan hampir seluruh masyarakat Indonesia terutama millennial untuk “nongkong”, “ngopi”, dan komoditas kopi lokal. Puisi menggambarkan pentingnya budaya literasi. Dan begadang menunjukkan proses kreatif dalam menciptakan suatu karya.
Kelima hal utama ini yang menjadikan gerakan indie kian digemari anak-anak millennial Indonesia sebagai suatu alternatif pemikiran, budaya dan juga identitas. Kelima hal ini pula yang menegaskan indie sebagai ciri gerakan kebangkitan anak muda Indonesia di era millennial saat ini.
Ace Enders dari The Early November saat Tur 2019 di Playstation Theater, New York (Sumber : dokumentasi pribadi instagram.com/purnacita/)
Bukan suatu kebetulan juga apabila banyak yang mengaitkan antara kian suburnya gerakan indie ini di Indonesia dengan kebangkitan industri dan ekonomi kreatif kita. Di Indonesia, sektor ekonomi kreatif telah berkembang pesat. Pada tahun 2018 misalnya, sektor ekonomi kreatif telah menyumbang lebih dari Rp. 1.100 triliun dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Tiga sub-sektor ekonomi kreatif dengan pendapatan tertinggi adalah kuliner, fesyen, dan kriya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, untuk nilai ekspor ekonomi kreatif Indonesia pada tahun 2016 juga tinggi mencapai US$ 20 miliar atau sebesar 13.77 persen dari total ekspor. Tiga sub-sektor penyumbang ekspor tertinggi lagi-lagi adalah fesyen, kriya dan kuliner.
Diplomasi Indie dan Soekarno
Selama bertugas di New York tahun 2016-2019, saya belajar banyak hal baru terutama bagaimana gerakan indie turut menghidupi geliat perekonomian Amerika Serikat (AS). Penempatan di Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di New York tidak mencegah saya untuk juga belajar hal-hal di luar keseharian saya sebagai diplomat.
Tidak hanya saya berkesempatan untuk bertemu dengan band-band indie asal AS favorit saya saat beranjak dewasa seperti The Ataris, The Early November, Descendants, New Found Glory, dan The Get Up Kids, tetapi juga dapat “berdiplomasi” dengan mereka seputar industri kreatif dan gerakan indie di Indonesia.
Kris Roe dari The Ataris (Sumber: dokumentasi pribadi instagram.com/purnacita/)
Masih lekat di ingatan saya tentang keterkejutan mereka atas pesatnya industri kreatif di Indonesia. Kita banyak menyoroti bagaimana pesatnya industri clothing-line atau distro (distribution outlet) yang saling bersimbiosis dengan gerakan Indie di Indonesia. Bagaimana musik mendukung fesyen dengan memakai berbagai apparel lokal dan fesyen mendukung musik dengan menyediakan platform bagi seni bermusik untuk tumbuh dan berkembang.
ADVERTISEMENT
Kami juga banyak berceloteh mengenai bagaimana tranformasi digital 4.0. dapat mendukung ruang berkreasi dan ekosistem bagi musisi indie. Contoh kecil yang dapat terlihat adalah menjamurnya start-ups dan online platform di AS, seperti Live Nation, Stubhub, SeatGeek, Ticketfly, dan Bandsintown yang menyediakan layanan pembelian tiket sekaligus promosi bagi musisi-musisi indie AS.
Saya teringat akan Bapak Bangsa Indonesia, Soekarno yang pernah mengajarkan kita akan tiga kekuatan atau “Trisakti”, yaitu: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Berdikari penting sekali bagi bangsa Indonesia untuk “berdiri di atas kaki sendiri” dalam mengatur perekonomian demi kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, dulu Bung Karno menentang keras apa yang disebutnya “musik ngak ngik ngok”, literatur picisan, dan dansa-dansi gila-gilaan. Hal ini wajar dan logis mengingat pada saat itu Bung Karno merasa kaum imperalis ingin merusak moral bangsa Indonesia melalui penetrasi kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Di era transnasional dan tanpa batas saat ini, membendung budaya asing merupakan pilihan yang sulit. Hal terbaik yang dapat dilakukan adalah mengelola gerakan indie ala Indonesia dan menjadikannya sebagai gelombang kebangkitan ekonomi kreatif millennial Indonesia.
Salam indie!