Menilik Kontestasi Hegemoni China dan Amerika Serikat di Asia Pasifik

Ahmad Dyandra Rama Putra Bagaskara
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
5 Juli 2023 16:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dyandra Rama Putra Bagaskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret bendera China (kanan) dan bendera Amerika Serikat (kiri) (pexels/Karolina Grabowska)
zoom-in-whitePerbesar
Potret bendera China (kanan) dan bendera Amerika Serikat (kiri) (pexels/Karolina Grabowska)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Asia Pasifik merupakan kawasan yang luas. Kawasan ini terbentang dari Asia Timur, Asia Tenggara, Oceania, Amerika Utara, hingga ke Amerika Selatan. Kawasan ini juga dihuni oleh banyak negara. Beberapa di antaranya ialah China dan Amerika Serikat (AS).
ADVERTISEMENT
Di Asia Pasifik, China kini dikenal sebagai negara dengan kekuatan barunya di bidang ekonomi. Meski sempat merosot tajam pada 2020 dan 2021 akibat pandemi COVID-19, situasi ekonomi China kini kembali tumbuh pesat.
Hal itu diperkuat dengan adanya prediksi yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Ekonomi dan Bisnis (CEBR) yang berbasis di London, Inggris, pada 2023 ini. Menurut lembaga tersebut, pertumbuhan ekonomi China diprediksi akan melampaui pertumbuhan ekonomi AS.
Selain itu, mereka juga memprediksi bahwa ekonomi China akan menjadi yang terkuat di dunia pada 2028 mendatang. Prediksi tersebut terbilang lebih cepat. Sebab, awalnya, CEBR memprediksi kekuatan ekonomi China baru akan menjadi yang terkuat di dunia pada 2033.

Kekuatan hegemoni Amerika Serikat di Asia Pasifik mulai tergerus

Potret bendera Amerika Serikat (AS) (pexels/Tim Mossholder)
Melihat perkembangan ekonomi tersebut, penulis berasumsi bahwa China diprediksi akan segera menjadi negara adidaya di Asia Pasifik. Bahkan, dengan kekuatan ekonominya, bukan tidak mungkin Negeri Tirai Bambu itu juga akan segera menjadi negara adidaya yang bisa menyaingi kekuatan hegemoni AS di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Asumsi tersebut tentunya bukan datang dari hasil kira-kira. Namun, penulis berasumsi dengan merujuk pada prediksi yang diberikan oleh seorang ilmuwan politik terkenal asal AS, Francis Fukuyama.
Dalam artikelnya yang terbit di The Economist pada 2020 lalu, Fukuyama berasumsi bahwa kekuatan hegemoni AS di dunia, termasuk di Asia Pasifik, telah merosot tajam. Ia menilai kekuatan hegemoni AS kini sudah tak sebesar saat era Perang Dingin.
Prediksi yang dilontarkan oleh Fukuyama tentang penurunan hegemoni AS memang nyata benarnya. Hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya negara di Asia Pasifik yang kini memiliki keberpihakan ekonomi terhadap China.
Tercatat sebanyak tujuh dari sembilan negara utama di Asia Pasifik, termasuk Jepang dan Korea Selatan, memiliki keberpihakan ekonomi yang kuat terhadap China. Negara-negara tersebut menjadikan China sebagai target pasar untuk menjual barang dagang mereka.
ADVERTISEMENT
Keberpihakan ekonomi negara-negara di Asia Pasifik terhadap China kemudian ini memunculkan peristiwa Perang Dagang antara China dan AS. Keduanya saling beradu pengaruh ekonomi agar negara-negara di Asia Pasifik mau bekerja sama dengan mereka.
Sejatinya, Perang Dagang antara China dan AS telah dimulai sejak 2018, tepatnya pada era Presiden Donald Trump. Kala itu, Trump memutuskan untuk mematok tarif miliaran dolar AS terhadap barang impor dari China. Beberapa di antaranya ialah produk-produk teknologi.
Merespons hal tersebut, China pun akhirnya melakukan hal serupa. Mereka juga mematok tarif tinggi terhadap barang impor dari AS. Beberapa di antaranya ialah komoditas pangan, seperti kacang kedelai, daging babi, dan jagung.
Perang Dagang antara China dan AS pun berlanjut hingga ke era Presiden Joe Biden. Baru-baru ini, misalnya, AS memutuskan untuk membatasi ekspor teknologi semikonduktor dan Artificial Intelligence (AI) kepada China.
ADVERTISEMENT
Menanggapi pembatasan ekspor AS, China pun akhirnya bereaksi. Mereka segera mengalokasikan dana sebesar 140 miliar dolar AS atau setara Rp 2.1 triliun untuk meningkatkan produksi teknologi semikonduktor dan AI dalam negeri. Pasalnya, kedua teknologi tersebut sangat berperan penting bagi China untuk memproduksi barang elektronik.
Perang Dagang yang terjadi antara AS dan China ternyata tidak hanya menyangkut masalah ekspor-impor saja, tetapi juga menyangkut penggunaan mata uang. Pasalnya, baru-baru ini, China juga dikabarkan sedang gencar melakukan upaya dedolarisasi.
Dedolarisasi merupakan upaya China untuk menggaet negara-negara di Asia Pasifik, seperti Vietnam, Indonesia, Laos, dan Brasil untuk meninggalkan dolar AS dalam aktivitas perdagangan internasional.
China mengajak negara-negara tersebut untuk melakukan transaksi perdagangan internasional menggunakan mata uang Yuan atau mata uang lokal mereka. Upaya ini dilakukan China guna memperluas pengaruh ekonominya di Asia Pasifik serta untuk menyaingi kekuatan dolar AS di kancah perdagangan dunia.
ADVERTISEMENT

Struggle for Power antara China dan Amerika Serikat

Kontestasi hegemoni antara China dan AS di Asia Pasifik menggambarkan suatu konsep yang disebut struggle for power. Struggle for power merupakan sebuah konsep yang muncul dari salah satu teori utama dalam Ilmu Hubungan Internasional, yakni Realisme.
Konsep struggle for power menjelaskan bahwa negara-negara di dunia saling berlomba untuk mempertahankan kekuatannya (power). Hal itu terjadi lantaran negara-negara di dunia diibaratkan sebagai manusia egois (selfish) yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Perwujudan konsep struggle for power ini bisa dilihat dari peristiwa Perang Dagang antara China dan AS. Kedua negara tersebut sama-sama menggunakan kekuatan ekonomi guna memperluas hegemoninya di Asia Pasifik.
Selain itu, struggle for power antara China dan AS juga bisa dilihat dari tindakan Presiden Joe Biden pada 20 Juni lalu. Kala itu, saat melakukan kampanye pemilu di hadapan warga Kentfield, California, Biden menyebut Presiden China, Xi Jinping, sebagai pemimpin diktator.
ADVERTISEMENT
Menanggapi tindakan Biden, pemerintah China pun kemudian memberi respons melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri mereka, Mao Ning. Menurutnya, tindakan tersebut merupakan bentuk provokasi politik.
Melihat hal tersebut, penulis berasumsi bahwa tindakan Biden yang menyebut Xi Jinping sebagai pemimpin diktator merupakan upaya AS untuk menurunkan marwah China di Asia Pasifik. Sebab, stigma akan pemimpin diktator merupakan suatu hal yang selalu dipandang buruk di negara mana pun, terutama di negara demokrasi seperti Indonesia.
Semua perseteruan di atas telah menggambarkan bagaimana struggle for power antara China dan AS terjadi di Asia Pasifik. Keduanya tampak saling “adu jotos” dalam mempertahankan kekuatan hegemoni masing-masing.
Lantas, siapakah yang akan memenangi kontestasi hegemoni di Asia Pasifik? Akankah China yang kini telah menjadi musuh baru AS memenangi kontestasi tersebut? Patut dinantikan bagaimana kelanjutannya.
ADVERTISEMENT