Konten dari Pengguna

Realisme ala Putin dan Perang Tak Berujung Rusia-Ukraina

Ahmad Dyandra Rama Putra Bagaskara
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
14 Desember 2022 19:35 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dyandra Rama Putra Bagaskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Rusia, Vladimir Putin (shutterstock.com)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Rusia, Vladimir Putin (shutterstock.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kini, sudah hampir setahun Rusia dan Ukraina terlibat konflik. Konflik yang membuat kedua negara itu saling berperang satu sama lain. Sejak Rusia memutuskan untuk melakukan invasi pada 24 Februari 2022 lalu, perang masih saja berlanjut hingga saat ini. Tak ada tanda-tanda penyelesaian maupun perdamaian dari kedua belah pihak. Bahkan, Rusia pun tak henti-hentinya melakukan berbagai serangan yang membuat rakyat Ukraina tak bisa lepas dari ketakutan. Suara bom, rudal, hingga suara baku tembak para tentara, telah menjadi makanan sehari-hari bagi warga negeri yang dijuluki The Bread Basket of Europe itu.
ADVERTISEMENT
Pada Sabtu (10/12/2022) lalu, Rusia juga kembali melakukan serangan terhadap Ukraina. Saat itu, tentara Rusia menyerang dua fasilitas energi listrik di Kota Odesa menggunakan drone yang disinyalir merupakan buatan Iran. Serangan itu membuat kedua fasilitas energi listrik di kota itu mengalami kerusakan yang cukup parah. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, juga mengatakan bahwa perbaikan kedua fasilitas energi listrik tersebut membutuhkan waktu hingga berhari-hari.
Imbasnya, kini warga Ukraina di Kota Odesa terancam tak mendapat pasokan listrik di tengah musim dingin yang melanda. Hal tersebut membuat para warga tak bisa menghidupkan pemanas ruangan guna menghangatkan tubuhnya di tengah dinginnya udara. Mungkin, saat ini, warga Ukraina di Kota Odesa sedang berada dalam bahaya. Bahaya akan kedinginan yang bisa saja merenggut nyawa mereka akibat terkena Hipotermia.
ADVERTISEMENT
Niat Putin sama dengan Benjamin Netanyahu
Presiden Israel, Benjamin Netanyahu (shutterstock.com)
Pada Rabu (7/12/2022) atau tepatnya 3 hari sebelum Rusia kembali menyerang Ukraina, Vladimir Putin dengan lantangnya menyatakan bahwa perang Rusia dan Ukraina akan menjadi proses yang panjang. Dari perkataan yang keluar dari mulutnya itu, penulis berpendapat bahwa ada niat besar yang hendak dilakukan oleh Rusia. Ya, niat itu ialah niat untuk menjajah Ukraina dengan waktu yang lebih lama.
Untuk menghentikan invasi Rusia, negara-negara yang menjadi sekutu Ukraina seperti Amerika, Australia, dan kawan-kawannya juga sudah memberikan perlawanan dengan berbagai cara. Mulai dari pemberian sanksi berupa embargo ekonomi hingga pemberian sanksi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, meskipun sanksi-sanksi berat telah dijatuhkan, tetap saja Rusia bak tak ada gentarnya. Negeri itu tetap saja melakukan invasi militernya terhadap Ukraina.
ADVERTISEMENT
Jika menilik lebih dalam, invasi militer Rusia terhadap Ukraina ini akan menjadi tindakan yang sama seperti apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Begitu pula dengan Putin. Tindakan Presiden Rusia itu dengan melakukan invasi senjata terus menerus terhadap Ukraina merupakan tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh Presiden Israel, Benjamin Netanyahu. Putin bak terlihat sama sekali tak mau menyudahi perang sampai kepentingan negaranya terpenuhi, yakni membuat Ukraina untuk terus berada di bawah bayang-bayang Rusia dan terlepas dari pengaruh NATO.
Hal tersebut sama persis dengan apa yang telah dilakukan oleh Netanyahu. Presiden Israel itu bak enggan menyudahi invasi militernya terhadap Palestina sampai kepentingan negaranya terpenuhi, yakni membuat Palestina hilang dari muka bumi dan menjadi bagian dari Israel.
ADVERTISEMENT
Melihat hal-hal tersebut, penulis menilai bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina ini akan makin sulit diselesaikan. Pasalnya, penulis berasumsi bahwa Rusia baru akan menyudahi perang saat Ukraina berhasil kembali memihak kepada mereka. Namun, di sisi lain, hal tersebut juga sulit dilakukan mengingat Ukraina yang tak akan mau untuk kembali berada di bawah bayang-bayang Rusia. Pasalnya, Presiden Ukraina bukanlah orang yang pro-Rusia.
Sejak awal menjabat, Volodymyr Zelenskyy telah menunjukkan perbedaan dari para pendahulunya yang cenderung pro-Rusia, seperti Viktor Yanukovych dan Petro Poroshenko. Zelenskyy cenderung ingin membawa Ukraina menjadi lebih mandiri. Mandiri dalam artian terlepas dari bayang-bayang dan pengaruh Rusia. Hal itu dibuktikan oleh Zelenskyy yang ingin membawa Ukraina untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Kepentingan Rusia dalam perspektif Realisme
Ilustrasi perspektif Realisme dalam peperangan (pexels.com/ArtHouse Studio)
Merujuk pada salah satu teori dalam dalam studi Hubungan Internasional, tindakan Putin yang terus menerus melakukan invasi terhadap Ukraina ini sejalan dengan konsep struggle for power dalam perspektif Realisme. Dalam perspektif Realisme, konsep struggle for power menjelaskan suatu keadaan di mana setiap negara di dunia akan melakukan apa pun yang mereka mau untuk memenuhi kepentingan nasionalnya.
Hal itu disebabkan karena menurut perspektif Realisme, negara merupakan suatu entitas yang cenderung bersifat egois (selfish) di mana mereka hanya akan mengutamakan kepentingan nasionalnya sendiri tanpa memikirkan negara lain. Imbasnya, setiap negara di dunia tak akan segan-segan untuk memulai perang hanya untuk membuat kepentingan nasionalnya (national interest) terpenuhi. Hal tersebut tergambarkan dengan jelas oleh tindakan Rusia yang terus melakukan invasi terhadap Ukraina untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, yakni membuat Ukraina takluk dan kembali memihak kepada mereka. Ini juga tergambarkan dengan jelas oleh tindakan Israel yang terus menerus melakukan invasi militernya terhadap Palestina untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, yakni membuat Palestina menjadi bagian dari wilayah teritorial Israel.
ADVERTISEMENT
Intinya, jika perang antara Rusia dan Ukraina ingin segera diakhiri, maka Rusialah yang harus lebih dulu mengakhirinya. Namun, hal itu tidaklah semudah membalikkan kedua telapak tangan. Pasalnya, Rusia dan Putin harus bisa berkompromi dengan kepentingan nasionalnya untuk tidak lagi melakukan invasi terhadap Ukraina. Selain itu, Putin juga harus menurunkan egonya untuk tak lagi memaksa Ukraina agar berpihak kepada negaranya. Jika tidak, ini akan menjadi konflik yang berkepanjangan layaknya konflik Israel dan Palestina yang masih bergulir hingga saat ini.
Lantas, kapan perang Rusia-Ukraina berakhir? Jawaban sebenarnya ada di tangan sang pelopor perang, yakni Putin dan antek-anteknya.