Konten dari Pengguna

QRIS dan GPN Picu Ketegangan: Apa yang Sebenarnya Dikhawatirkan AS?

Putra Mahardika
Mahasiswa Semester Dua Program Studi Hubungan Internasional di Universitas Sebelas Maret
23 April 2025 15:07 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putra Mahardika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh CardMapr.nl di Unsplash. (11/12/2020).
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh CardMapr.nl di Unsplash. (11/12/2020).
ADVERTISEMENT
Peluncuran QRIS dan penguatan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) menjadi langkah strategis dalam membangun kekuatan ekonomi bagi Indonesia di era digitalisasi. Namun, dibalik langkah ini, muncul suara sumbang dari Amerika Serikat yang selama ini menjadi pusat sistem pembayaran global.
ADVERTISEMENT
Melalui berbagai pernyataan diplomatiknya, AS menyiratkan keberatannya terkait kebijakan Indonesia yang mempromosikan sistem pembayaran dalam negeri. Bahkan, muncul tekanan agar Indonesia tetap membuka ruang untuk Visa dan Mastercard sebagai jalur transaksi utama. Pertanyaannya saat ini yaitu, mengapa sistem pembayaran lokal dapat membuat AS gelisah?
Jawabannya cukup sederhana, yakni uang dan kontrol.
Selama ini, sebagian besar transaksi non-tunai dalam negeri masih bergantung pada jaringan asing seperti Visa dan Mastercard. Artinya, setiap transaksi yang kita lakukan membawa biaya mengalir ke luar negeri. Belum lagi soal akses data yang dikendalikan oleh perusahaan asing.
Amerika merasa tergeser dan kehilangan pengaruh atas dominasi global mereka dalam sistem pembayaran. Dan bagi negara sebesar AS, kehilangan akses atas jalur keuangan negara lain adalah alarm geopolitik.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks WTO dan perdagangan jasa internasional, pembatasan terhadap Visa dan Mastercard dapat dipandang sebagai bentuk hambatan non-tarif terhadap jasa penyediaan keuangan asing. Hal ini menjadi titik sensitif dalam diplomasi ekonomi karena menyangkut liberalisasi sektor jasa dan akses pasar.
Indonesia sebenarnya tidak menutup diri. Sistem terbuka tetap diperbolehkan, tapi tidak lagi dominan. Pemerintah ingin membangun kemandirian sektor ekonomi digital tanpa dominasi dari luar. Ini merupakan salah satu bentuk proteksi, bukan isolasi.
QRIS dan GPN bukan hanya sekadar inovasi teknologi, melainkan simbol dari kemandirian salah satu negara berkembang. AS boleh gerah, tapi Indonesia memiliki hak kuasa untuk membangun jalurnya sendiri.