Pernikahan Tanpa Wali Menurut Perspektif Mazhab

Putra Farhan Ramadhan
Mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
2 Juni 2022 20:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putra Farhan Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pernikahan, pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan, pexels.com
ADVERTISEMENT
Pernikahan dalam Islam adalah Ibadah. Salah satu rukun pernikahan yang terpenting dalam Islam ialah adanya seorang wali. Sebab, menurut hukum yang berlaku di Indonesia, telah diakui bahwa wali merupakan salah satu rukun pernikahan yang sangat penting, sehingga pernikahan yang dilakukan tanpa adanya seorang wali adalah tidak sah.
ADVERTISEMENT
Dalam fiqh tidak banyak ulama yang berpendapat tentang urgensi keberadaan wali bagi seorang wanita. Sebagian besar ulama menganggapnya sebagai salah satu rukun pernikahan yang jika tidak diperhatikan, maka batal dalam hukum. Para ulama juga berbeda pendapat tentang kedudukan seorang wali dalam sebuah pernikahan. Hal ini karena tidak ada ayat atau hadits yang secara eksplisit menjelaskan meminta seorang wali dalam sebuah pernikahan.
Ilustrasi pernikahan, pexels.com

Mazhab Syafi’I dan Mazhab Maliki

Ulama Syafi'iyah dan Malikiyah percaya bahwa orang tua (wali) adalah salah satu rukun pernikahan yang wajib dan pernikahan tidak mungkin ada tanpa mereka. Oleh karena itu, pernikahan yang dilakukan tanpa adanya seorang wali yang sah adalah tidak sah. Ulama Syafi'iyah juga berpendapat bahwa jika seorang wanita yang sudah dewasa, berakal sehat, dan masih gadis, maka orang tuanya berhak untuk menikahinya. Tetapi jika dia seorang janda, maka hak tersebut menjadi milik keduanya. Seorang wali tidak dapat menikahi seorang janda tanpa persetujuannya. Begitu juga, dengan wanita (janda) tidak bisa menikah tanpa restu orang tua (wali) nya.
ADVERTISEMENT
Qs. An-Nisa Ayat 3 :
اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini, melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”.
Dari Aisyah r.a. Beliau berkata : Rasulullah saw. Bersabda : “Mana saja perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal. Jika suaminya telah mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia sudah menganggap halal farajnya. Lalu jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali baginya”.
ADVERTISEMENT
Dalam Hadis Rasulullah :
“Dari Abu Hurairah ra berkata: bersabda Rasulullah saw. Wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri”.

Mazhab Hanafi

Ulama Hanafi sependapat dengan Mazhab Syafi'iyah, tetapi ia hanya menganggap bahwa seorang wali hanya sebagai pilar pengantin muda dan gila. Menurutnya, wanita dewasa diperbolehkan menikah tanpa seorang pendekar, tetapi jika dia tidak menikah dengan pria yang sekufu', maka wali berhak memutuskan akad nikah tersebut.
Alasan yang di kemukakan antara lain dikemukakan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah :232.
وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ اَنْ يَّنْكِحْنَ اَزْوَاجَهُنَّ اِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ ذٰلِكَ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ ذٰلِكُمْ اَزْكٰى لَكُمْ وَاَطْهَرُ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
ADVERTISEMENT
“Apabila kamu menalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Menurutnya ayat di atas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi seorang wanita untuk menikahkan dirinya sendiri.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
“Perempuan yang telah janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan perempuan yang masih perawan diminta izin dari dirinya dan izinnya ialah diamnya”. (HR Tirmidzi, Ahmad, Muslim)
ADVERTISEMENT
Makna hadits di atas ialah memberikan hak penuh kepada wanita (janda) dalam urusannya sendiri dan tanpa campur tangan orang lain dalam urusan perkawinannya. Seorang wanita yang masih gadis masih malu, jadi jika diminta persetujuannya, cukup diam. Ini dianggap sebagai tanggapan atas persetujuannya. Selain itu, Abu Hanifah kembali menegaskan bahwa orang tua (wali) bukanlah syarat sah dari akad nikah. Dia mengatakan dalam akad nikah bahwa nikah adalah untuk kepentingan mereka jika wanita dewasa dan berakal, serta bebas untuk berta'arruf, menurut Syara' dengan metode Mu'amalat.
Menurutnya, orang tua (wali) bukanlah syarat sahnya pernikahan, tetapi jika seorang perempuan menandatangani akad nikah dengan laki-laki yang bukan sekufu' dengannya, maka wali-nya berhak untuk mencegah perkawinannya.
ADVERTISEMENT