Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perlindungan Hak- Hak Perempuan dalam Perspektif Hukum dan Sosial di Indonesia
31 Oktober 2024 6:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Arya Bimo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum yang menjamin perlindungan hak-hak perempuan, tantangan dalam implementasi hukum, norma budaya yang diskriminatif, dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap isu kesetaraan gender menghambat pencapaian kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Pengertian Hak-Hak Perempuan dan Tantangan Perlindungannya di Indonesia
ADVERTISEMENT
Women’s rights, atau hak-hak perempuan, merujuk pada hak-hak dasar yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu perempuan, tanpa memandang ras, agama, kebangsaan, atau status sosial. Hak-hak ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk hak untuk hidup bebas dari diskriminasi, hak atas keadilan dan kesetaraan gender, hak untuk mendapatkan perlindungan sebagai korban kekerasan, serta hak politik dan sosial (Yoel, 2021). Berbicara mengenai negara Indonesia itu sendiri, masih kerap terdapat berbagai undang-undang yang telah diatur untuk melindungi hak-hak perempuan, seperti Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan Undang-Undang Kewarganegaraan. Namun, meskipun kerangka hukum ini ada, efektivitasnya dalam melindungi hak-hak Perempuan masih sangat dipertanyakan. Pada saat ini, berbagai tantangan muncul yang berdampak negatif terhadap hak-hak perempuan. Peningkatan angka kekerasan dalam rumah tangga, kesulitan akses terhadap layanan kesehatan dan keadilan, serta ketidakstabilan ekonomi yang lebih berat pada perempuan menjadi beberapa masalah yang perlu diatasi.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kerangka hukum di Indonesia melindungi hak-hak perempuan, dan apa saja undang-undang yang relevan?
Perlindungan hukum hak asasi perempuan di Indonesia merupakan aspek penting dalam upaya mencapai kesetaraan gender. Hukum, dalam konteks ini, dimaknai sebagai norma-norma yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya sejak era reformasi. Meski perjalanan perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya telah berlangsung lama, hingga kini tantangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan masih tetap ada. Meskipun Indonesia pernah dipimpin oleh seorang perempuan, Megawati Soekarnoputri, dan banyak perempuan yang menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, kenyataannya ketidakadilan gender masih merajalela. Kaum perempuan sering kali terpinggirkan dan tertinggal dalam berbagai aspek, termasuk dalam bidang hukum. Hal ini menuntut perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat untuk memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap hak-hak perempuan.
ADVERTISEMENT
Berbagai peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan untuk melindungi hak asasi perempuan, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. UU HAM, yang menjadi landasan penting dalam perlindungan hak asasi, menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak yang melekat pada keberadaan mereka sebagai manusia. Dalam Pasal 3 ayat (3) UU HAM, ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia tanpa adanya diskriminasi. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk menghapus diskriminasi berdasarkan jenis kelamin merupakan bagian dari kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak setiap individu, termasuk perempuan.
ADVERTISEMENT
UU PKDRT menjadi langkah progresif dalam menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga, yang sebelumnya sering dianggap sebagai masalah domestik dan tidak tersentuh oleh hukum. Dengan adanya undang-undang ini, masalah KDRT diangkat ke ranah publik, dan perlindungan bagi korban mendapatkan legitimasi hukum yang jelas. Lingkup perlindungan dalam UU PKDRT mencakup tidak hanya suami, istri, dan anak, tetapi juga orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dalam rumah tangga. Asas yang diusung oleh UU ini, seperti penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan gender, menunjukkan komitmen untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan yang dialami di lingkungan rumah tangga. Meskipun UU ini memberikan payung hukum yang lebih baik bagi korban, masih terdapat tantangan dalam penegakan hukum yang efektif. Banyak kasus KDRT yang tidak terlaporkan, dan stigma sosial yang melekat pada perempuan yang menjadi korban sering kali menghalangi mereka untuk mencari perlindungan.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Kewarganegaraan juga memiliki peran penting dalam perlindungan hak-hak perempuan. Dengan menggantikan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang bersifat diskriminatif, UU Kewarganegaraan yang baru menjamin bahwa perempuan memiliki hak yang sama dalam hal kewarganegaraan. Dalam konteks perkawinan campuran, perempuan diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sendiri, tanpa harus mengikuti kewarganegaraan suaminya. Hal ini menjadi penting dalam konteks kesetaraan gender, di mana perempuan tidak lagi diposisikan sebagai subordinat dalam struktur keluarga dan masyarakat.
Segelintir Tantangan Implementasi dan Upaya Mewujudkan Kesetaraan Gender
Meski berbagai peraturan ini ada, masih terdapat tantangan besar dalam implementasinya. Banyak aspek hukum yang masih bias gender dan tidak berpihak kepada perempuan. Misalnya, norma-norma budaya yang mengakar dalam masyarakat sering kali memperkuat ketidakadilan gender. Dalam banyak kasus, perempuan yang menjadi korban kekerasan justru sering disalahkan atas tindakan pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa selain memperkuat kerangka hukum, diperlukan juga perubahan paradigma dalam masyarakat mengenai peran dan hak-hak Perempuan (Dede, 2015).
ADVERTISEMENT
Selain itu, upaya untuk menghapuskan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah. Pendidikan mengenai hak asasi perempuan harus digalakkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender. Melalui program-program pendidikan dan kampanye publik, diharapkan stigma dan stereotip yang merugikan perempuan dapat berkurang, sehingga mereka merasa lebih aman untuk melaporkan kekerasan yang dialami.
Di sisi lain, penegakan hukum yang tegas dan responsif terhadap isu-isu gender juga harus diperkuat. Penegak hukum perlu mendapatkan pelatihan tentang perlindungan hak-hak perempuan agar mampu menangani kasus-kasus kekerasan dengan sensitif dan adil. Dengan pendekatan yang komprehensif ini, diharapkan hak asasi perempuan dapat terlindungi secara efektif, dan mereka dapat berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, meskipun sudah ada kerangka hukum yang mendukung perlindungan hak-hak perempuan, tantangan untuk mencapai kesetaraan gender di Indonesia masih sangat besar. Penegakan hukum yang lebih baik, perubahan budaya yang mendukung, serta pendidikan yang meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan menjadi langkah-langkah penting untuk memastikan bahwa perempuan tidak hanya memiliki hak, tetapi juga dapat menikmati hak-hak tersebut secara penuh dan setara dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Meskipun Indonesia telah menetapkan kerangka hukum yang menjamin perlindungan hak-hak perempuan, tantangan yang signifikan dalam implementasi hukum, norma budaya yang diskriminatif, dan kurangnya kesadaran masyarakat mengenai kesetaraan gender masih menghambat pencapaian keadilan bagi perempuan. Untuk meningkatkan hak-hak perempuan, diperlukan pendekatan komprehensif yang meliputi penguatan penegakan hukum, perubahan budaya, dan pendidikan. Pertama, penegakan hukum yang tegas dan responsif terhadap isu gender harus diperkuat, termasuk pelatihan bagi penegak hukum untuk menangani kasus kekerasan dengan sensitif dan adil. Kedua, perubahan paradigma masyarakat tentang peran dan hak-hak perempuan harus dilakukan melalui pendidikan dan kampanye publik yang bertujuan mengurangi stigma dan stereotip negatif. Ketiga, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah sangat penting untuk memastikan bahwa perempuan tidak hanya memiliki hak, tetapi juga dapat menikmati hak-hak tersebut secara penuh dan setara dalam kehidupan sehari-hari. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan hak-hak perempuan dapat terlindungi dan kesetaraan gender dapat terwujud di Indonesia.
ADVERTISEMENT