Antara Anak, Kebahagiaan, dan Kemiskinan

Putri Anggarini
Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Majene
Konten dari Pengguna
3 Desember 2023 16:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Anggarini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak bermain handphone di sekolah. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak bermain handphone di sekolah. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banyak orang percaya bahwa anak adalah rezeki. Anak sebagai pembawa kebahagiaan dalam lingkup keluarganya. Lebih luas lagi, anak adalah investasi masa depan bangsa. Menyiapkan anak sebagai investasi masa depan bangsa berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan anak, serta kualitas hidup anak.
ADVERTISEMENT
Menariknya, ternyata kebahagiaan seseorang juga dipengaruhi banyaknya anak.
Dalam sebuah perhitungan Indeks Kebahagiaan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, ternyata semakin banyak anggota rumah tangga, semakin meningkat pula Indeks Kebahagiaan. Asumsikan dalam satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Berarti, semakin banyak anak semakin bahagia sebuah keluarga. Akan tetapi kebahagiaan ini mulai menurun ketika jumlah anak lebih dari dua. Secara personal, seseorang berkurang rasa bahagianya ketika banyaknya anggota rumah tangga lima atau lebih.
Tidak heran, dalam kampanye Keluarga Berencana (KB), pemerintah menggunakan slogan “Dua Anak Cukup”.
Ngomong-ngomong tentang KB, program pemerintah ini dinilai sukses. Bukti kesuksesannya adalah angka kelahiran mengalami penurunan sejak tahun 1971 hingga 2020. Angka kelahiran di sini berarti rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita selama masa usia suburnya.
Ilustrasi ibu menggendong bayi di sisi kiri. Foto: zEdward_Indy/Shutterstock
Lalu apakah semua bayi yang dilahirkan hidup?
ADVERTISEMENT
Sayangnya tidak. Sampai tahun 2020, masih ada 17 kematian bayi di bawah satu tahun per seribu kelahiran hidup. Meskipun nilai ini termasuk kategori rendah (<20), namun kematian tetap saja bukan hal yang bisa disepelekan.
Fakta lainnya, sebanyak 12,67 persen anak usia dini di Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Anak dan kemiskinan ini ibarat lingkaran setan. Kemiskinan struktural menyebabkan seorang anak dari keluarga miskin tidak mudah untuk keluar dari lingkaran ini. Menambah anak dalam keluarga miskin ibarat memiliki pisau bermata dua. Di satu sisi, si anak diharapkan sebagai pembawa kesempatan untuk dapat meningkatkan derajat kesejahteraan keluarga. Namun sayangnya, kebanyakan anak dari keluarga miskin tetap menjadi miskin ketika menjadi dewasa. Kondisi ini justru berpotensi menambah jumlah penduduk miskin.
ADVERTISEMENT
Tumbuh dalam kemiskinan berdampak besar pada kesehatan, pendidikan, perlindungan, kesejahteraan, dan masa depan mereka.

Kesehatan

Ilustrasi anak stunting. Foto: Shutterstock
Sampai hari ini, Indonesia tidak bisa terlepas dari masalah stunting apabila berbicara tentang kesehatan anak. Pada tahun 2022, masih ada sekitar 1 dari 5 balita yang mengalami stunting. Kemiskinan bisa jadi merupakan salah satu faktor penyebab balita tidak mendapat cukup asupan makanan bergizi. Stunting bukan hanya urusan tinggi badan tetapi yang paling berbahaya adalah rendahnya kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, dan munculnya penyakit-penyakit kronis.
Kualitas kesehatan anak juga didukung dari lingkungan tempat tinggal anak. Hanya separuh (57,91 persen) anak yang tinggal di rumah layak huni. Sekitar 10 persen anak tidak memiliki akses pada layanan sumber air layak minum dan sekitar 20 persen anak tidak mendapatkan sanitasi yang layak.
ADVERTISEMENT
Pendidikan
Selain kesehatan, hal lainnya yang harus dioptimalkan pada periode tumbuh kembang anak usia dini adalah aspek pendidikan.
Hasil Susenas Maret 2022 menunjukkan bahwa dari 4 anak usia dini hanya ada 1 yang pernah/sedang mengikuti pendidikan prasekolah, atau sekitar 26,77 persen.
Perlindungan
Anak usia dini rentan terhadap kondisi yang tidak menguntungkan, seperti kejahatan, ketelantaran, dan kemiskinan. Mereka belum mampu melindungi diri sendiri. Sehingga orang dewasa seharusnya bisa memberikan perlindungan. Pada tahun 2022, terdapat 0,03 persen anak usia dini yang pernah menjadi korban kejahatan dan 4,59 persen balita di Indonesia berstatus telantar.
Kesejahteraan
Potret kemiskinan di Indonesia. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Anak yang tinggal di rumah tangga miskin rentan mengalami eksploitasi ekonomi. Sekitar 1,5 juta anak menjadi pekerja. Cukup ironis jika kita melihat data terdapat pekerja anak berusia 5-12 tahun. Seusia itu, anak seharusnya menikmati masa bermain dan bersekolah dengan bebas. Akan tetapi, fakta di lapangan anak-anak ini harus meningkatkan ekonomi keluarganya dengan bekerja pada sektor-sektor yang biasa dikerjakan orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Fakta menarik lainnya adalah di dalam keluarga miskin cenderung memiliki lebih banyak anggota keluarga. Sekitar 4-5 orang per rumah keluarga miskin dan sekitar 3-4 orang per keluarga tidak miskin.
Bisa disimpulkan bahwa mempunyai satu atau dua anak merupakan jumlah yang ideal dalam suatu keluarga. Pada akhirnya, slogan “Banyak Anak, Banyak Rezeki” ada baiknya diganti dengan “Mari Lahirkan Anak yang Sehat dan Berkualitas”.