Konten dari Pengguna

Abolisi dan Amnesti: Menakar Batasan Hak Prerogatif Presiden

PUTRI ARTAMA
PENULIS MERUPAKAN MAHASISWA FAKULTA HUKUM UNIVERSITAS KATOLIK SANTO THOMAS
6 Agustus 2025 11:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Abolisi dan Amnesti: Menakar Batasan Hak Prerogatif Presiden
tulisan ini berisi tentang abolisi dan amnesti, menakar batasan hak prerogatif presiden
PUTRI ARTAMA
Tulisan dari PUTRI ARTAMA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustasi abolisi dan amnesti (sumber: https://pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
ilustasi abolisi dan amnesti (sumber: https://pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Amanat konstitusi ini mengandung makna bahwa seluruh penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan berbangsa harus dilandaskan pada hukum yang berlaku. Konsekuensinya, setiap tindakan yang dilakukan baik oleh aparatur negara maupun warga negara, baik secara individu maupun kolektif, harus memiliki dasar dan legitimasi hukum yang jelas.
ADVERTISEMENT
Hukum tidak hanya dipandang sebagai formalitas semata, melainkan sebagai syarat fundamental untuk mewujudkan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dalam negara hukum seperti Indonesia, keberadaan legalitas dalam setiap kebijakan, keputusan, dan seluruh tindakan unsur penyelenggara negara merupakan hal mutlak yang tidak dapat ditawar.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir, hukum Indonesia kembali diperbincangkan, khususnya dalam pelaksanaan hak prerogatif Presiden yang menuai perhatian publik dan cukup serius. Hak prerogatif Presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 ini terkait pemberian abolisi dan amnesti, mendapat sorotan karena dianggap berada pada posisi yang rawan disalahartikan.
Dilansir dari Kompas.com pada Selasa (01/08/2025), hak prerogatif Presiden dalam memberikan abolisi dan amnesti dinilai berpotensi bergeser menjadi hak istimewa yang bersifat pribadi (privilege). Kemudian, menurut Tempo.com pada Rabu (02/08/2025), Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, terdakwa kasus korupsi impor gula, serta memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, terpidana kasus suap. Keputusan ini sontak menuai beragam reaksi dari masyarakat, pengamat hukum, dan kalangan politik.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, walaupun Presiden Prabowo menggunakan hak konstitusionalnya, keputusan tersebut memunculkan perdebatan publik yang luas. Perlu kajian lebih mendalam mengenai pelaksanaan hak abolisi dan amnesti ini agar dapat dipahami secara bijak dan tidak menimbulkan kontroversi yang berlarut-larut di tengah masyarakat.
Pro Kontra Abolisi dan Amnesti
Sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, Presiden dapat memberikan abolisi dengan mempertimbangkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini menegaskan bahwa meskipun abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif Presiden, keputusan tersebut tidak dapat diambil secara sepihak dan harus melalui mekanisme check and balance.
Pemberian abolisi dan amnesti pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi babak baru dalam dinamika politik hukum Indonesia. Walaupun memiliki dasar konstitusional, langkah ini menimbulkan pertanyaan penting apakah keputusan tersebut murni demi kepentingan nasional atau lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
ADVERTISEMENT
Abolisi pada hakikatnya adalah penghentian proses hukum yang diberikan kepada seseorang bahkan sebelum adanya putusan hukum tetap (inkracht). Pemberian abolisi biasanya bertujuan mengoreksi kekeliruan proses kriminalisasi atau menghindari konflik hukum yang dapat mengancam kepentingan umum.
Sementara itu, amnesti merupakan penghapusan hukuman yang telah dijatuhkan kepada individu atau kelompok pelaku tindak pidana tertentu, terutama yang bersifat politik. Dengan amnesti, seluruh akibat hukum dari putusan pidana dihapus, sehingga terpidana dapat memulihkan hak-hak sipil dan politiknya serta kembali berintegrasi ke dalam masyarakat secara penuh.
Kesimpulan dan Catatan Etis
ilustrasi hukum abolisi dan amnesti (sumber: https://pixabay.com)
Perlu dipahami bahwa sifat kekuasaan kehakiman seharusnya bebas dari campur tangan pihak mana pun, baik sebelum maupun setelah perkara diputuskan. Namun, konstitusi memberikan pengecualian berupa kewenangan Presiden untuk memberikan abolisi dan amnesti, yang bersifat yudisial-konsultatif. Artinya, dalam pelaksanaannya diperlukan pertimbangan atau rekomendasi dari lembaga terkait, terutama DPR.
ADVERTISEMENT
Presiden memang memiliki kewenangan konstitusional untuk memberikan abolisi dan amnesti, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Akan tetapi, kewenangan ini bukan hanya persoalan legalitas formal. Di dalamnya terkandung etika kekuasaan, pesan moral, serta konsekuensi sosial dan politik yang harus dipertimbangkan secara matang.
Hak prerogatif Presiden dalam memberikan abolisi dan amnesti sebaiknya dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip non-diskriminatif, asas keadilan, dan kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, keputusan yang diambil tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memiliki legitimasi moral dan sosial yang kuat.
Putri Artama, Mahasiswa Unika Santo Thomas