Konten dari Pengguna

Walkable City dan Buruknya Tata Letak Kota

Putri Baidah
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Unand
16 November 2024 16:25 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Baidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pejalan Kaki. Sumber : Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pejalan Kaki. Sumber : Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Salah satu diskursus yang beredar di media sosial mengenai tata letak kota adalah term walkable city. Walkable city secara garis besar dapat digambarkan sebagai konsep kota yang ramah terhadap pejalan kaki. Salah satu bentuk penerapan yang dapat dilakukan adalah menyediakan trotoar yang layak untuk pejalan kaki. Di Indonesia sendiri, fasilitas pejalan kaki diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 yang mengatur bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan fasilitas untuk pejalan kaki dan penyandang cacat (disabilitas). Sayangnya, dilihat dari kenyataannya, fasilitas untuk pejalan kaki di kota-kota Indonesia belum memadai secara keseluruhan. Memang ada beberapa wilayah atau kota-kota tertentu yang memberikan fasilitas memadai untuk para pejalan kaki, namun dalam kenyataannya, masih banyak fasilitas yang tidak layak. Di Indonesia, sebagian besar trotoar justru dipenuhi oleh orang berjualan atau kendaraan bermotor. Ini merupakan kesedihan tersendiri sebab trotoar tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Masalah trotoar tidak cuma soal orang berjualan atau pengendara motor yang bandel, tapi juga masalah yang bersifat lebih fisik seperti trotoar yang sempit, berlubang, atau penuh kerusakan lain di sana-sini. Mencari akar masalahnya pun memanjang mulai dari tata letak kota yang buruk hingga minimnya penegakan hukum dan ketertiban di negara kita. Urbanisasi yang pesat membuat desain kota berorientasi pada efisiensi kendaraan bermotor, apalagi mengingat sebagian besar warga negara Indonesia menggunakan kendaraan pribadi sebagai sarana transportasi. Wajar bila keadaan ini menyebabkan tata letak kota cenderung berpusat pada efisiensi kendaraan bermotor saja dan mengabaikan pejalan kaki. Padahal, kota yang ramah terhadap pejalan kaki baik untuk menciptakan ruang hidup yang lebih sehat dan inklusif bagi para penduduknya. Dengan populasi penduduk yang terbilang tinggi, pemerintah sebaiknya mulai menaruh perhatian pada tata kelola yang lebih baik lagi, termasuk dalam hal tata letak kota tadi. Menyediakan jalur pedestrian yang layak adalah hal yang krusial. Akan tetapi, sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tadi, fasilitas umum untuk pejalan kaki hendaknya juga mempertimbangkan kebutuhan kelompok rentan seperti kaum disabilitas, ibu hamil, maupun orang tua yang sedang renta. Karena pembangunan fasilitas tadi hendaknya memperhatikan apakah fasilitas tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal oleh seluruh pihak atau tidak.
ADVERTISEMENT