Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Maraknya Sistem Jual Beli Bangku di Sekolah
20 April 2022 15:14 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Putri Bunga Dahlianty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sistem zonasi perdana diluncurkan pada tahun ajaran 2017/2018 di sekolah-sekolah. Sistem yang sedikit berbeda ini, tentu membentuk keresahan tersendiri bagi para siswa termasuk para orang tua. Pada sistem zonasi, nilai kelulusan sudah bukan menjadi syarat dalam diterimanya seorang siswa di sekolah yang diimpikannya, melainkan jaraklah. Banyak siswa dengan segala persiapan matang untuk menggapai sekolah yang diimpikannya sejak awal, karena adanya sebuah sistem zonasi yang mengalami sedikit perubahan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, sekolah yang bisa dibilang favorit sejak awal, sekarang sudah tidak identik lagi dengan siswa-siswi pintar dan berprestasi, melainkan berisi yang dekat area sekolah, hal itu banyak membuat siswa dan siswi berprestasi harus dilemparkan dari impian sekolah mereka, dan masuk ke dalam sekolah terdekat.
Sistem zonasi yang muncul secara besar-besaran sebenarnya bertujuan baik, yaitu menghilangkan istilah favorit pada sekolah-sekolah tertentu. Menurut kompas.com dengan adanya sistem zonasi, lah berdasarkan tingkat yang lebih baik atau favorit, tetapi sebenarnya hal perekrutan peserta didik pun akan tersebar secara lebih baik tanpa melihat dan memilih sekolah ini bisa menjadi banyak masalah bagi para orang tua, siswa ataupun pihak sekolah.
Di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) sistem zonasi dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) justru menghambat anak untuk memperoleh pendidikan, sebab banyak anak yang rumahnya berjarak lebih dari 100 meter namun sudah tidak bisa masuk ke dalam seleksi sekolah dan memperoleh pendidikan. Masalah lain yang muncul ialah, fenomena permainan “Bangku Kosong” yang makin terang-terangan terlihat dalam sekolah.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini ialah sebuah permainan dari pihak sekolah kepada orang tua murid, yang bertujuan agar sang anak tetap bisa masuk di sekolah impiannya, walaupun menurut PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sang anak sudah dinyatakan tidak lolos. Pada tahun 2020 sendiri, di Pulau Seribu terdapat kursi kosong di tingkat SMP dengan jumlah 622 kursi, pada jenjang SMA berjumlah 225, serta SMK berjumlah 245 kursi.
Dan hal tersebut berbanding terbalik dengan banyaknya siswa dan siswi yang tidak lolos dan diterima di sekolah negeri di Jakarta. Lalu bagaimana bisa jika masih ada kursi kosong yang tersisa padahal masih banyak siswa dan siswi yang belum diterima di sekolah?
Berdasarkan keadaan yang terjadi di sekitar, bahwa masih banyak fenomena permainan bangku kosong yang tersebar dalam lingkungan sekolah, yaitu saat anak sudah dinyatakan tidak lolos pada tahap seleksi menurut PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) online, tetapi masih bisa melanjutkan sekolahnya di sekolah tersebut.
ADVERTISEMENT
Bahkan ada juga ada yang tetap bisa berpindah ke sekolah impian, saat pilihan-pilihannya kepada sekolah negeri sudah dinyatakan tidak lolos. Masih banyak kekhawatiran orang tua terhadap nasib anaknya saat tidak diterima di sekolah yang diimpikan, lalu dengan tidak diterimanya sang anak dalam sekolah impian, juga diduga akan menyebabkan image orang tua terhadap lingkungan sekitar menurun.
Oleh sebab itu, masih tinggi dan larisnya fenomena permainan bangku kosong di sekolah-sekolah untuk menarik perhatian para orang tua. Kisaran harga yang ditawarkan pun beragam, jika itu benar-benar merupakan sekolah favorit di daerahnya, maka biaya permainan bangku kosongnya pun akan semakin besar, namun ada range sendiri dari masing-masing sekolah, yaitu berkisar 4 hingga 8 juta rupiah.
ADVERTISEMENT
Fenomena bangku kosong dengan segala permainannya masih banyak terjadi dan ditemui secara terang-terangan di sekolah-sekolah. Terbukti dengan hal-hal yang sudah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Hal itu pun dimotivasi dengan banyak orang tua yang yang beranggapan, bahwa masuk sekolah impian merupakan tagar sukses dan embel-embel tidak ingin mengecewakan sang anak, karena tidak bisa memasuki sekolah negeri dengan label favorit ataupun tidak.
Menurut saya, saran yang tepat untuk permasalahan ini adalah, perombakan pada pola pikir baik dari orang tua ataupun anak yang beranggapan bahwa sekolah negeri adalah sekolah terbaik. Realita akan menentukan dengan sendirinya, bahwa di mana pun sekolah sang anak nantinya, prestasi yang diciptakan anak ke depannya tergantung dengan perilaku anak yang terbentuk di sekolahnya seperti apa. Kualitas seseorang pun tidak dilihat dari mana ia berasal, melainkan dengan bagaimana cara ia bertindak dan bersikap. Dengan tidak lolosnya kita di sekolah negeri, bukan berarti kita adalah orang yang bodoh, di Indonesia sendiri memang tidak kekurangan orang pintar melainkan Indonesia kekurangan orang yang jujur.
ADVERTISEMENT