Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Aturan SARA di Media: Haruskah Kita Belajar dari Barat?
20 Januari 2025 17:06 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Putri Kanaya Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Media Digital dan SARA: Mencari Keseimbangan Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab
ADVERTISEMENT
Dilihat melalui kacamata sebagai mahasiswa, saya melihat ada paradoks menarik dalam pengelolaan isu SARA di media massa. Di satu sisi, Amerika Serikat dengan First Amendment-nya memberikan kebebasan berekspresi yang nyaris tanpa batas. Media mereka bisa dengan leluasa membahas isu sensitif tentang ras, agama, atau etnis. Di sisi lain, negara-negara Eropa seperti Jerman dan Prancis justru menerapkan regulasi ketat terhadap ujaran kebencian, terutama terkait isu anti-Semitisme dan xenofobia. Perbedaan ini menunjukkan bahwa setiap negara perlu pendekatan yang sesuai dengan konteks sosialnya. Indonesia, dengan karakteristik uniknya, juga harus menemukan formulanya sendiri dalam menghadapi era digital yang semakin kompleks.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2025 ini, ketika teknologi digital semakin mengaburkan batas-batas komunikasi, saya melihat bagaimana isu pengelolaan SARA di media menjadi semakin krusial, apalagi setelah Dewan Pers mengeluarkan Surat Edaran No. 03/SE-DP/XI/2023. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa setiap pesan yang disampaikan ke publik harus mempertimbangkan dampak sosialnya. Sementara platform digital terus berkembang dengan algoritma yang semakin kompleks, pertanyaannya: bagaimana kita bisa mengadopsi standar internasional sambil tetap menjaga harmoni sosial di era yang serba terhubung ini?
Pentingnya pendekatan yang tepat ini semakin terlihat jelas dalam Pemilu 2024 kemarin yang memberikan pelajaran berharga tentang manajemen isu SARA di era digital. Salah satu insiden yang selalu menarik untuk dibahas yaitu, insiden Bitung 2023 yang kemarin viral di media sosial dan kemudian menjadi studi kasus tentang pentingnya kehati-hatian dalam komunikasi publik. Sebagai negara dengan ribuan pulau dan ratusan suku yang terhubung dalam jaringan digital, Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih sensitif dibanding negara-negara Barat.
Menghadapi kompleksitas ini, di mata saya sebagai mahasiswa, Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar jargon kampanye, tapi landasan fundamental dalam berkomunikasi di era digital. Ketika belajar tentang etika media Barat melalui "The Handbook of Mass Media Ethics", saya menemukan bahwa prinsip-prinsip mereka perlu dikontekstualisasikan dengan realitas Indonesia. Kebebasan perlu diimbangi dengan tanggung jawab sosial, terutama dalam lanskap media yang semakin terfragmentasi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pemahaman etika media ini, media tentu bisa menjadi mitra strategis dalam membangun pemahaman publik di era digital. Harapan saya di tahun 2025 ini, Indonesia bisa mengembangkan model jurnalisme yang "Pancasilais" - profesional namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dalam menghadapi tantangan teknologi.
Peran strategis media ini menjadi semakin vital di era digital yang membuat peluang penyebaran informasi semakin luas. Dari pengalaman bermedia sosial di era ini, saya melihat bagaimana hoaks dan ujaran kebencian bisa dengan cepat memicu krisis reputasi melalui berbagai platform digital. Pendekatan khas Indonesia yang mengedepankan musyawarah dan mufakat menjadi sangat relevan dalam menghadapi tsunami informasi digital.
Menyadari tantangan era digital ini, Surat edaran Dewan Pers hadir sebagai panduan yang membuka peluang bagi pengembangan jurnalisme yang lebih bertanggung jawab. Saya percaya ini harus didukung dengan edukasi literasi media digital dan peningkatan profesionalisme dalam bermedia sesuai perkembangan teknologi.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan pemikiran Jefferson tentang peran pers tersebut, di era digital, filosofi ini menjadi semakin relevan ketika informasi dapat menyebar dalam hitungan detik.
Dengan berpijak pada filosofi pers sebagai instrumen pencerahan ini, menatap ke depan, kita perlu mengambil inspirasi dari praktik terbaik global, namun dengan penyesuaian lokal yang tepat di era digital. Sebagai generasi yang akan berkecimpung di dunia komunikasi modern, saya optimis media Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana mengelola keberagaman dengan baik di tengah revolusi digital.
Semoga tahun 2025 menjadi momentum kebangkitan jurnalisme Indonesia yang beretika dan profesional, dengan pendekatan yang tepat dalam mengelola isu SARA sesuai konteks lokal kita di era digital yang semakin kompleks.
ADVERTISEMENT