Berdamai dengan Kegagalan

Putri Nur Ichsan
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta Program Studi Penerbitan (Jurnalistik)
Konten dari Pengguna
16 Juli 2021 13:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Nur Ichsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan merenung. (Sumber foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan merenung. (Sumber foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Setiap insan pasti menginginkan keberhasilan, tetapi perlu disadari bahwa kegagalan tidak bisa dihindarkan. Tidak ada orang yang bangun tanpa jatuh terlebih dahulu. Sadarilah bahwa kegagalan itu pasti.
ADVERTISEMENT
Berawal dari kisahku yang dulu bercita-cita ingin menjadi seorang akuntan. Memang dari kecil, aku senang sekali pelajaran yang berhungan dengan angka. Ternyata kegemaranku itu berlanjut hingga aku menempuh pendidikan menengah atas.
Di bangku SMA, aku tergabung dalam jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Aku begitu sungguh-sungguh menjalani pendidikan di jurusan ini. Aku yakin bahwa jurusan ini bisa membantuku untuk menggapai cita-cita. Ekonomi menjadi pelajaran favoritku, terlebih Akuntansi.
Saat itu, aku ingin sekali menjadi mahasiswa di salah satu pendidikan tinggi kedinasan yang dibawahi oleh Kementerian Keuangan RI. Karena itu, aku membeli banyak buku-buku latihan soal ujian untukku pelajari setiap hari agar bisa menggapai mimpi.
Namun, ternyata aku harus kalah sebelum perang. Saat pendaftaran mahasiswa baru dibuka, aku tidak bisa mendaftarkan diriku karena aku kehilangan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Rasanya sedih bukan main, harapanku musnah begitu saja.
ADVERTISEMENT
Tak mau bersedih terlalu lama, aku pun berusaha bangkit dan mencoba untuk mencari kesempatan di tempat lain. Aku mendaftarkan diriku di lebih dari 10 perguruan tinggi. Tentu saja jurusan yang kupilih adalah Akuntansi. Kesempatan ini benar-benar aku manfaatkan sebaik mungkin. Aku tidak ingin kesalahan yang lalu terulang kembali. Aku terus melatih diriku dengan mengerjakan berbagai soal ujian masuk perguruan tinggi negeri. Walau kadang waktu terasa begitu padat, aku tetap menyempatkan diri untuk berlatih, minimal 10 soal setiap harinya.
Berbagai ujian telah aku lewati. Tinggallah hasil yang harus ku nanti. Tak henti-hentinya aku berdoa dalam sunyi, semoga kali ini aku tidak gagal lagi. Walau rasa takut gagal terus terlintas dalam hati, tetapi aku yakin keberuntungan akan memihak padaku kali ini.
ADVERTISEMENT
Satu per satu hasil ujian diumumkan, namun aku tak kunjung mendapatkan jawaban. Apakah keberuntungan memang tidak berpihak padaku? Lagi, lagi, dan lagi aku selalu menerima kata “Maaf”. Rasanya sangat kecewa dengan diri sendiri, sehingga yang bisa aku lakukan hanyalah menangis.
Ilustrasi perempuan menangis. (Sumber foto: Unsplash)
Apa lagi yang harus ku perbaiki? Aku harus mencoba berapa kali lagi? Berbagai pikiran dan perasaan negatif terus menghantuiku. Sulit sekali berdamai dengan keadaan saat itu. Bahkan aku sempat menarik diri dari lingkungan karena rasanya sangat malu.
Rasanya seperti terbelenggu dalam titik terendahku. Bahkan aku sempat berkata tidak ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Ternyata, ayah mendengar semua racauanku. Hingga pada malam harinya, ayah menghampiriku yang sedang menangis di sudut kamar. Sambil mengusap kepalaku, ayah memberikan berbagai kata-kata penyemangat padaku.
ADVERTISEMENT
Ayahku berkata bahwa dia ingin anak-anaknya menempuh pendidikan yang tinggi agar kelak tidak bernasib sama sepertinya dulu. Ayahku tidak ingin anak-anaknya merasa susah. Berbagai perkataan yang ayah lontarkan benar-benar menamparku dan membuatku tersadar. Saat itu, untuk pertama kalinya aku menangis hebat di depan ayah.
Ilustrasi bangkit dari kegagalan. (Sumber foto: Unsplash)
Akhirnya, setelah berusaha untuk berdamai dengan keadaan, semangatku pun bangkit kembali. Aku juga teringat pada buku yang pernah kubaca – The Secret of Focus. Dalam buku tersebut tertulis bahwa orang sukses sekelas Thomas Alva Edison pun pernah mengalami kegagalan. Bahkan Edison mengalami 1.000 kali kegagalan saat mencoba menyempurnakan bola lampu ciptaannya. Pada akhirnya aku pun tersadar bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya.
Kegagalan bukan berarti kita tidak berguna. Kegagalan adalah masalah yang manusiawi. Kegagalan merupakan pelajaran berharga yang pasti terjadi. Yang harus kita lakukan adalah berdamai dengan kegagalan itu sendiri. Hidup mengajarkan kita arti kesungguhan, sungguh-sungguh untuk mencapai apa yang kita cita-citakan. Percayalah bahwa Tuhan menyertai kita di setiap langkah. Tuhan juga tidak akan pernah meninggalkan kita. Jadikan kegagalan sebagai evaluasi diri agar kelak kita menjadi pemenang sejati.
ADVERTISEMENT
(Putri Nur Ichsan, Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta)