Konten dari Pengguna

Strategi Komunikasi Dongkrak Merek Lokal di Era Digital

Putri Nur Amalia
Mahasiswa S1 Universitas Pamulang,, Jurusan Ilmu Komunikasi.
24 April 2025 12:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Nur Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
"Gambar ini dibuat menggunakan DALL-E,alat generasi gambar berbasisAl."
zoom-in-whitePerbesar
"Gambar ini dibuat menggunakan DALL-E,alat generasi gambar berbasisAl."
ADVERTISEMENT
"Strategi Komunikasi Dongkrak Merek Lokal di Era Digital". Di era digital yang kompetitif, membangun citra merek kerap menjadi hak istimewa korporasi besar. Media konvensional seperti televisi, radio, dan billboard membutuhkan anggaran besar—sesuatu yang sering kali tidak dimiliki oleh merek lokal.
ADVERTISEMENT
Namun, era digital menghadirkan babak baru: demokratisasi branding. Kini, setiap merek, tak peduli besar atau kecil, memiliki kesempatan yang sama untuk membangun citra melalui strategi komunikasi yang cerdas, terukur, dan otentik.
Digitalisasi: Peluang Bagi yang Kecil untuk Tampil Besar
Transformasi digital bukan hanya soal migrasi ke platform daring, melainkan juga soal perubahan paradigma komunikasi. Teknologi membuka akses, menghilangkan batas geografis, dan mempertemukan merek dengan audiens global—dengan biaya yang jauh lebih efisien.
“Era digital menciptakan keseimbangan baru. Kini kekuatan bukan lagi pada siapa yang paling besar, tapi siapa yang paling relevan,” kata Rafi Al-Mansyuri, konsultan komunikasi digital.
Bagi merek lokal, ini adalah momen untuk memanfaatkan ruang terbuka—membentuk persepsi, membangun identitas, dan menjangkau konsumen lewat cerita yang menyentuh.
ADVERTISEMENT
Narasi: Senjata Terkuat Merek Lokal
Di tengah banjir konten, audiens haus akan makna. Merek lokal memiliki kekuatan naratif yang sering kali tidak dimiliki oleh merek global: cerita tentang asal-usul, nilai-nilai komunitas, hingga proses produksi yang transparan. Narasi ini, jika dikemas dengan strategi komunikasi yang baik, menjadi magnet bagi konsumen digital yang semakin selektif.
Contoh sukses terlihat pada merek sabun alami dari Bali yang membangun narasi seputar zero-waste dan pemberdayaan perempuan desa. Tanpa perlu iklan besar-besaran, kekuatan ceritanya tersebar melalui media sosial dan testimoni pelanggan.
Dari Audiens ke Advocates: Peran Konsumen dalam Komunikasi
Strategi komunikasi di era digital tidak berhenti pada penyampaian pesan—tetapi juga membentuk jejaring. Pelanggan bukan hanya konsumen, melainkan mitra dalam membangun merek. Melalui strategi seperti program duta merek, ulasan sukarela, hingga user-generated content, citra merek dibentuk secara kolektif.
ADVERTISEMENT
Inilah inti dari demokratisasi branding: komunikasi menjadi kolaboratif. Merek yang mendengar, merespons, dan melibatkan akan mendapatkan tempat di hati konsumen.
Teknologi: Alat, Bukan Tujuan
AI, big data, dan personalisasi digital kini menjadi bagian penting dalam strategi komunikasi. Namun, teknologi hanyalah alat. Yang membedakan sebuah merek adalah kejelasan nilai dan konsistensi pesan. Kepekaan terhadap tren, empati dalam konten, dan keberanian untuk mengambil posisi dalam isu sosial adalah bentuk komunikasi yang bernyawa.
Kisah Nyata, Citra Nyata
Lihat bagaimana brand SukkhaCitta mengusung isu keberlanjutan dan etika kerja, atau Du Anyam yang mengangkat kisah perempuan NTT melalui produk kerajinan. Mereka tidak sekadar berjualan—mereka menyampaikan pesan. Hasilnya, bukan hanya kepercayaan, tapi juga keterlibatan komunitas global.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan: Citra yang Terbangun Bukan dari Iklan, Tapi dari Identitas
Di era digital, strategi komunikasi bukan soal membangun persepsi semu, melainkan memperkuat identitas autentik. Merek lokal yang berhasil bukan yang paling banyak bicara, tapi yang paling jujur bercerita.
Masa depan merek lokal terletak pada kemampuannya memaknai teknologi sebagai jembatan untuk mendekat, bukan meniru. Dalam dunia yang semakin transparan, merek yang menang adalah mereka yang berani menjadi dirinya sendiri—dan mengkomunikasikannya dengan penuh empati.***
Putri Nur Amalia, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang