Konten dari Pengguna

Mengapa Laporan Keuangan dan Laporan Pajak Bisa Berbeda?

Putri Puji Lukmawati
Mahasiswi Program Studi Akuntansi Perpajakan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Pamulang
1 Mei 2025 15:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Puji Lukmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: https://pngtree.com/
zoom-in-whitePerbesar
sumber: https://pngtree.com/
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, istilah “laporan keuangan” dan “laporan pajak” mungkin terdengar mirip, bahkan dianggap sama. Keduanya memang sama-sama menyajikan angka-angka tentang kondisi keuangan suatu perusahaan, sama-sama menggunakan istilah akuntansi, dan sama-sama digunakan oleh pihak eksternal untuk mengambil keputusan. Tapi di balik kesamaan itu, keduanya bisa sangat berbeda dan perbedaan ini bukan hanya soal teknis, tapi juga menyimpan ironi dalam regulasi.
ADVERTISEMENT
Laporan keuangan disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, seperti PSAK di Indonesia atau IFRS secara internasional. Tujuan utamanya adalah menyediakan informasi yang wajar dan relevan bagi para pemangku kepentingan: investor, kreditor, dan publik. Sementara laporan pajak disusun untuk kepentingan perpajakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak. Tujuan utamanya adalah untuk menghitung dan melaporkan kewajiban pajak kepada negara.
Masalahnya, standar akuntansi dan peraturan pajak sering kali tidak sejalan. Akuntansi keuangan menekankan prinsip kehati-hatian dan pengakuan pendapatan atau beban sesuai periode terjadinya, sementara perpajakan lebih menekankan pada aspek legal formal: apakah suatu biaya benar-benar terjadi dan dapat dibuktikan secara sah menurut hukum pajak. Perbedaan prinsip ini menciptakan ruang abu-abu yang legal, bahkan lumrah, untuk membuat satu perusahaan menyusun dua laporan berbeda atas satu entitas usaha yang sama.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh biaya promosi. Dalam laporan keuangan, biaya ini bisa diakui jika mendukung penjualan dan memperluas pangsa pasar. Tapi dalam pajak, ada batasan maksimal berapa persen yang bisa dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Atau penyusutan aset tetapdi laporan keuangan mengikuti masa manfaat ekonomis, sementara dalam perpajakan mengikuti tarif dan masa tertentu sesuai regulasi pajak. Perbedaan pengakuan ini membuat laba versi laporan keuangan bisa jauh berbeda dengan laba versi laporan pajak.
Fenomena ini bukan pelanggaran hukum, tapi memang diakomodasi oleh sistem. Bahkan akuntansi mengenalnya sebagai “rekonsiliasi fiskal”proses mencocokkan kembali perbedaan laba komersial dan laba fiskal. Namun celah ini juga menciptakan ruang untuk praktik manipulasi secara halus, yang sulit diidentifikasi publik. Dalam laporan keuangan, perusahaan bisa terlihat sangat untung untuk menarik investor. Tapi di laporan pajak, laba bisa “diperkecil” agar pajak yang dibayar menjadi minimal. Semua sah secara administratif, karena mengikuti dua rezim yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Persoalannya menjadi lebih kompleks ketika perbedaan ini terjadi secara sistemik dan berlangsung lama. Negara bisa kehilangan potensi penerimaan yang besar, sementara perusahaan tetap tampak patuh. Di sisi lain, publik dan pemegang saham bisa termanipulasi oleh angka laba yang secara substansi tidak mencerminkan kemampuan riil perusahaan dalam menyumbang kepada negara.
Apakah regulasi membiarkan ini? Tidak sepenuhnya. Pemerintah sudah menerapkan prinsip transfer pricing, aturan anti-penghindaran pajak, hingga dokumentasi kewajaran transaksi afiliasi. Namun realitasnya, selisih antara laba komersial dan laba fiskal masih sering ditemukan dalam skala besar. Ini menunjukkan bahwa celah regulasi masih terbuka—bukan hanya karena aturan yang lemah, tapi juga karena dualisme sistem yang belum sepenuhnya sinkron.
Dalam konteks ini, urgensi harmonisasi antara standar akuntansi dan peraturan pajak menjadi penting. Tentu tidak berarti keduanya harus disamakan, karena memang memiliki tujuan yang berbeda. Tapi penyelarasan dalam hal prinsip dasar, pengakuan pendapatan, dan batasan biaya bisa membantu mengurangi disparitas yang terlalu lebar. Selain itu, transparansi publik atas laporan rekonsiliasi fiskal perusahaan bisa menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Jika masyarakat bisa melihat dengan jelas perbedaan antara laba komersial dan fiskal, maka akan tercipta tekanan moral dan reputasional yang mendorong kepatuhan yang lebih etis.
ADVERTISEMENT
Di sinilah peran mahasiswa dan generasi muda akuntan menjadi penting. Kita tidak hanya dituntut mampu menyusun laporan dengan rapi, tetapi juga memahami konteks regulasi yang melatarinya. Kita harus paham bahwa di balik angka-angka itu, ada politik fiskal, ada etika profesional, dan ada tanggung jawab sosial. Laporan keuangan yang mengilap tidak akan berarti jika dibarengi dengan kontribusi pajak yang minim. Begitu juga sebaliknya kepatuhan pajak yang ketat tapi laporan keuangan yang manipulatif juga menyesatkan pemangku kepentingan.
Perbedaan antara laporan keuangan dan laporan pajak tidak selalu berarti kejahatan, tapi bisa menjadi cermin bagaimana sistem kita belum cukup terintegrasi. Dan selama kita masih membiarkan perbedaan ini berjalan tanpa pengawasan publik yang kuat, maka celah itu akan tetap terbuka—bukan untuk inovasi, tetapi untuk kepentingan sepihak yang tak berpihak pada keadilan fiskal.
ADVERTISEMENT