Konten dari Pengguna

Hentikan Toxic Masculinity: Itu Bisa Merusak Kepribadian Seseorang

Putri Rahayu Lestari
Pecinta Budaya, Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Pamulang
17 Oktober 2022 0:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Rahayu Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: koleksi pribadi
ADVERTISEMENT
Mungkin diantara kalian sering mendengar, jika ada laki-laki yang tidak merokok itu berarti tidak keren. Entah dari mana statement itu muncul tapi banyak laki-laki yang mengatakan demikian untuk menunjukkan kemasukulinannya selain daripada hobi. Lalu yang di pertanyakan apakah jika laki-laki tidak merokok itu tidak maskulin ?
ADVERTISEMENT
Toxic itu jika diartikan secara harfiah ini diartikan sebagai sesuatu yang beracun. Namun beralih fungsi jika diartikan dalam bahasa gaul yang maknanya hal yang kurang baik, sering menyusahkan orang lain terlebih merugikan baik dalam individu maupun kelompok. Sehingga toxic masculinity ini lebih kepada pemikiran sempit terhadap stigma kaum laki-laki yang dapat merugikan orang lain. Konon laki-laki ini tidak boleh menangis, tidak boleh mengeluh, self-care dan self-love ini akan aneh jika diterapkan oleh kaum laki-laki, tidak banyak bicara, tidak merokok itu tidak keren dan mungkin masih banyak lagi terkait hal tersebut. Padahal setiap orang itu pasti punya karakter masing-masing bukan? Misalnya begini, si A ini perokok dianggap keren sedangkan si B tidak merokok lalu apakah dia tidak keren? Masih ada peluang untuk jawaban tersebut. Mungkin saja si B ini memiliki riwayat penyakit yang mengharuskan dirinya memilih untuk tidak untuk merokok. Atau mungkin yang saya dengar ada alasan untuk merokok karena “tidak enak” kepada teman-temannya jika dalam situasi sedang kumpul bersama. Sehingga yang awalnya dia menghindari rokok memutuskan untuk merokok dengan alasan “solidaritas”.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya itu saja yang saya temukan di sekitar lingkungan saya, ada seseorang yang tidak bisa bermain bola dan lebih menyukai badminton. Mereka berpendapat bahwa “ Laki-laki itu harus bisa bermain bola” padahal tidak semua laki-laki harus bisa dan dituntut untuk menyukai bola karena pada dasarnya jika seseorang menyukai sesuatu hal maka ia akan menekuni hal yang ia inginkan. Sehingga ia akan mampu bahkan mahir dalam hal yang ditekuni tersebut. Setiap laki-laki juga memiliki hobi yang berbeda, meskipun mungkin permainan bola ini identik dengan laki-laki namun tidak dapat dipungkiri banyak laki-laki yang lebih menyukai jenis olahraga yang lain daripada sepak bola seperti yang dicontohkan diatas yakni menyukai badminton. Atau bahkan dengan jenis kegiatan yang lain seperti Fotografi, main game atau yang lainnya. Jadi kurang tepat rasanya jika hal tersebut dijadikan tolak ukur kemaskulinitas.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan laki-laki yang self-care ?
Apakah dia tidak maskulin?
Self care diartikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan seseorang dengan cara merawat diri. Namun karena ada stigma bahwa laki-laki itu kuat maka banyak laki-laki yang enggan untuk merawat diri. Padahal tujuan dari self-care ini sendiri adalah untuk merawat dan menjaga tubuhnya supaya menjadi sehat. Salah satu contoh self care ialah perawatan tubuh, mereka berasumsi bahwa yang melakukan hal tersebut didominasi oleh kaum perempuan. Sehingga mereka enggan untuk merawat diri dengan produk-produk kebersihan dan kecantikan. Namun yang perlu diketahui bahwa kaum perempuan menyukai laki-laki yang bersih, bening, dan sehat. Apakah sebagai kaum laki-laki dapat menjadi demikian tanpa adanya self-care? Coba dipikir-pikir lagi yaaa.
ADVERTISEMENT
Contoh lain dari toxic masculinity ialah tidak boleh mengeluh. Bukankah kita semua itu sama-sama manusia yang pastinya punya rasa lelah. Namun karena adanya stigma bahwa laki-laki itu kuat sehingga ia dikatakan tidak boleh cengeng, tidak boleh mengeluh maka banyak kaum laki-laki yang enggan untuk mengeluh akan rasa lelahnya tersebut sehingga ia memilih untuk memendamnya sendiri dan mungkin melampiaskannya melalui “sebatang rokok”. Padahal tidak ada yang salah jika laki-laki mengeluh untuk menyampaikan sesuatu yang dianggapnya butuh solusi. Bercerita kepada keluarga ataupun orang terdekat seperti teman atau kekasih dapat menenangkannya dari rasa lelah tersebut. Apalagi menangis, menurut saya tidak masalah jika laki-laki menangis karena laki-laki juga punya hati dan perasaan. Sekuat apapun mereka pasti mereka memiliki sebuah kelemahan dan tidak ada salahnya jika hal tersebut diluapkan melalui menangis.
ADVERTISEMENT
Apapun hal itu, kita harus saling menghargai. Toxic masculinity ini akan merugikan individu maupun orang yang disekitar kita. Dengan adanya stigma-stigma tersebut dapat membunuh karakter seseorang sehingga orang tersebut bisa jadi lebih introvert atau bahkan lebih memilih untuk terpaksa menunjukkan dirinya kuat karena perbedaan contoh diatas. Sehingga hal tersebut dapat mengganggu mental masing-masing individunya.
Terima kasih karena sudah membaca, semoga bermanfaat dan mohon maaf jika terdapat kekeliruan.
Salam Feminis.