Credit Title: Tanggung Jawab di Balik Sebuah Karya Film

Putri Safira Pitaloka
Mahasiswa Jurnalistik, Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
1 Mei 2021 9:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Safira Pitaloka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Credit title dari film Justice League
zoom-in-whitePerbesar
Credit title dari film Justice League
ADVERTISEMENT
Sejak dulu, menonton film telah menjadi salah satu hobi yang digemari banyak orang. Berbagai kalangan mulai dari anak-anak hingga lansia menyukai kegiatan ringan ini. Namun ada hal yang seringkali dilewatkan oleh para penikmat film, yaitu credit title.
ADVERTISEMENT
Tak bisa disangkal, banyak orang mengabaikan credit title yang merupakan wadah utama untuk mengenalkan para kru secara singkat. Jika diperhatikan, mayoritas penonton langsung keluar bioskop atau menutup aplikasi –jika menonton secara digital– ketika credit title masih berjalan, padahal di situlah letak kebanggaan kru film.
Produser, sutradara, penulis skenario, hingga peran-peran yang kadang dianggap remeh seperti driver pun dituliskan sejelas mungkin dalam credit title untuk menunjukkan peran mereka dalam pembuatan film tersebut. Meski begitu, tak dapat dipungkiri juga, mereka yang telah dicantumkan dalam credit title ini memiliki tanggung jawab atas titel yang ada pada namanya.
Dalam kuliah umum yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Salman Aristo sampai empat kali menyebutkan kata ‘harus’, saking ia sangat menekankan bahwa credit title bukanlah hal yang bisa dipermainkan.
ADVERTISEMENT
“Ini adalah sesuatu yang harus harus harus harus dikuasai dan sering dianggap remeh. Titling,” tuturnya.
Pria yang dikenal sebagai produser, penulis skenario, dan sutradara ini menegaskan bahwa credit title bukan wadah untuk gaya-gayaan atau suatu yang bisa di-taken for granted begitu saja. Melainkan, katanya, titling merupakan sebuah akuntabilitas yang wajib dipertanggungjawabkan.
Dalam kesempatan yang sama, Aris, sapaan akrab Salman Aristo, juga menyinggung soal perfilman Hollywood yang terus menjaga diskusi soal titling. Hal ini disebabkan oleh maraknya kasus tentang unsur film satu ini.
Salah satu contoh kasus mengenai pertanggungjawaban dalam dunia perfilman adalah masalah Joss Whedon, sutradara pengganti dalam film Justice League (2017) yang baru terungkap pada pertengahan tahun 2020 lalu. Melalui pengakuan dari aktor dan aktris yang berperan dalam film tersebut, Whedon dikabarkan melakukan tindakan tidak menyenangkan kepada para aktor dan kru film lainnya.
ADVERTISEMENT
Joss Whedon’s on-set treatment of the cast and crew of Justice League was gross, abusive, unprofessional, and completely unacceptable. (Perlakuan Joss Whedon terhadap para pemain dan kru Justice League sangat kotor, kasar, tidak profesional, dan sama sekali tidak dapat diterima),” tulis John Fisher yang saat itu berperan sebagai Cyborg dalam akun Twitternya.
Gal Gadot dan Ray Fisher saat berperan dalam film Justice League (2017)
Lawan main Fisher dalam film yang sama, Gal Gadot pun akhirnya buka suara. Ia merasa lega karena dengan pengakuan Fisher, masalah ini dapat terungkap. Dikutip dari Kompas.com, Gadot mengatakan, “Ini masalah serius. Ini perlu diselidiki dan orang-orang harus dimintai pertanggungjawaban”.
Sama halnya dengan pembajakan, pertanggungjawaban dari kru film yang tertera pada credit title pun memiliki kebijakan tersendiri. Jika masalah Joss Whedon diadili menggunakan aturan hukum Indonesia, maka di sinilah Pasal 20 UU no. 33 tahun 2009 tentang Perfilman berlaku.
ADVERTISEMENT
Pasal tersebut berbunyi “Insan perfilman (…) mendapat: a. perlindungan hukum; b. perlindungan asuransi pada usaha perfilman yang berisiko; c. jaminan keselamatan dan kesehatan kerja; dan d. jaminan sosial”. Dan pasal ini dapat dilanjutkan dengan Pasal 78 dari Undang-undang yang sama yang direvisi ke dalam Paragraf 12 UU Cipta Kerja tentang Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam paragraf tersebut, tertulis ayat (1) “Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (…) Pasal 20 (…) dikenai sanksi administratif.”; dan ayat (2) “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; dan/atau d. pembubaran atau pencabutan Perizinan Berusaha.”
Adanya aturan-aturan yang telah disebutkan di atas membuktikan bahwa credit title yang sering dilewatkan penonton dapat menjadi bumerang bagi para kru yang terlibat dalam suatu proses produksi film. Ia bisa membawa nama yang tertera di dalamnya mendapat penghargaan, atau justru teguran, tergantung pada tindakan dari nama-nama tersebut sesuai titlenya.
ADVERTISEMENT