Pro Kontra Terhadap Wacana Penghapusan Premium dan Pertalite di Tahun 2022

PUTRI SALSABILA ARZA
Mahasiswa PKN STAN
Konten dari Pengguna
30 Januari 2022 16:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PUTRI SALSABILA ARZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustrasi BBM Premium. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Illustrasi BBM Premium. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bahan Bakar Minyak (BBM) termasuk dalam hal penting bagi hajat orang banyak. BBM diperlukan dalam memenuhi dan mendukung aktifitas sehari-hari, baik bagi masyarakat perkotaan maupun masyarakat yang tinggal di pedesaan. Salah satu perusahaan BUMN yang bergerak dibidang penyelenggaraan usaha sektor hulu dan hilir, minyak dan gas bumi, serta energi adalah Pertamina. Beberapa produk BBM yang dijual Pertamina untuk kendaraan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), yaitu Premium, Pertalite, Pertamax, dan Pertamax Turbo.
ADVERTISEMENT
Berbagai produk BBM mempunyai nilai oktan atau RON (Reserach Octane Number) yang berbeda dengan menghasilkan emisi gas buang, berupa asap kendaraan, sehingga akan berdampak ke lingkungan. Emisi gas buang yang dihasilkan dari penggunaan BBM pada kendaraan mampu menurunkan kualitas udara. BBM dengan RON tinggi memiliki kualitas yang lebih baik dibanding dengan RON yang lebih rendah. RON terendah dimiliki oleh bahan bakar jenis Premium dengan RON 88, Pertalite dengan RON 90, sedangkan Pertamax dan Pertamax Turbo memiliki RON yang tinggi, yaitu di atas 90.
Oleh sebab itu, pemerintah berencana untuk menghapus penggunaan bensin Premium dan Pertalite. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.20/Setjen/Kum.1/3/2017 yang mengatur tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O. Dalam peraturan itu, BBM jenis euro 4 atau setara dengan BBM RON 91 ke atas akan diterapkan secara bertahap oleh pemerintah. Namun, wacana penghapusan premium dan pertalite tersebut menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kalangan Pro vs Kalangan Kontra
Wacana penghapusan BBM jenis Premium dan Pertalite disambut baik oleh Kepala Pusat Studi Energi UGM, Prof. Dr. Eng. Deendarlianto, S.T., M.Eng. Menurutnya, pemakaian BBM dengan nilai oktan yang lebih tinggi menjadi salah satu pertimbangan yang penting terhadap lingkungan. Lalu, rencana tersebut sesuai dengan upaya pemerintah untuk mengurangi emisi, termasuk sektor transportasi.
Di sisi lain, berdasarkan dari wawancara yang dilakukan oleh Sapa Indonesia Pagi dengan Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, menurutnya timing untuk melakukan kebijakan penghapusan di 2022 kurang tepat karena akan kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi, terutama pada daya beli masyarakat dengan ekonomi ke bawah yang paling terdampak selama pandemi dan bila kebijakan tesebut terjadi maka akan meningkatkan inflasi.
ADVERTISEMENT
Inflasi Ketika Harga-Harga Naik
Jika masyarakat harus beralih ke pertamax dengan harga yang lebih tinggi maka akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat (Purchasing power). Berdasarkan data yang dirilis oleh Pertamina, harga BBM di Indonesia per Desember 2021, yaitu Premium Rp6.450 per liter untuk wilayah Jabodetabek, Pertalite Rp7.650-Rp8.000 per liter, Pertamax Rp9.000-Rp9.400 per liter, dan harga tertinggi jatuh pada produk Pertamax Turbo dengan harga Rp12.300-Rp12.700 per liter. Perbedaan harga tersebut akan membuat biaya transportasi naik dan biaya produksi naik sehingga akan berimbas terhadap harga-harga barang pokok yang juga mengalami peningkatan. Apabila harga-harga melonjak maka hal tersebut dapat membuat inflasi meningkat di semua sektor ekonomi.
Inflasi yang timbul akibat peningkatan harga BBM termasuk dalam inflasi desakan biaya (Cost Push Inflation). Inflasi desakan biaya adalah peristiwa meningkatnya harga-harga yang timbul akibat kenaikan biaya produksi yang mendorong para produsen untuk menaikkan harga, meskipun mereka akan mengalami kemungkinan penurunan permintaan pada produk yang dihasilkan (Sukirno, 1999, ibid. hal.305).
ADVERTISEMENT
Indonesia pernah mengalami inflasi yang terjadi akibat naiknya harga BBM, salah satunya pada bulan Mei 1998. Saat itu, pemerintah menerapkan kebijakan untuk menaikkan harga BBM sebanyak 71,43% untuk Premium dan 57,89% untuk Solar. Tingkat inflasi pada bulan tersebut mencapai 5,24% dan mencapai tingkat inflasi tertinggi selama sejarah pemerintahan orde baru hingga era reformasi, yaitu 73,66%. Kebijakan tersebut berdampak pada keadaan perekonomian Indonesia yang semakin berat dan menjadi faktor pemicu kerusuhan 1998. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun itu membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi negatif.
Peran Pemerintah Berdasarkan Prinsip Ekonomi
Agar kejadian di tahun 1998 tidak terulang lagi, pemerintah Indonesia perlu memikirkan strategi agar tidak terjadi inflasi dan berbagai masalah ekonomi lainnya saat penghapusan Premium dan Pertalite resmi dilaksanakan. Dalam membuat strategi untuk mencegah terjadinya hal tersebut, pemerintah dapat menggunakan salah satu dari 10 Prinsip Ekonomi. Salah satu dari 10 Prinsip Ekonomi yang dapat digunakan, yaitu “Orang memberikan reaksi terhadap insentif”. Dalam prinsip tersebut, orang akan membandingkan keuntungan dan biaya saat memutuskan sesuatu. Perilaku seseorang dapat berubah ketika biaya atau keuntungan juga berubah yang berarti seseorang akan bereaksi terhadap insentif.
ADVERTISEMENT
Strategi yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan memberikan subsidi BBM. Namun, subsidi BBM yang selama ini telah ada kurang tepat sasaran karena masyarakat ekonomi ke atas lebih banyak menikmati subsidi dibandingkan dengan masyarakat ekonomi ke bawah. Agar pemberian subsidi BBM dapat tepat sasaran, pemerintah dapat menggunakan subsidi BBM berbasis target. Penentuan target sasaran dapat diambil dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang mencakup masyarakat miskin dan rentan. Selain itu, pemberian subsidi juga dapat ditentukan dengan berdasarkan Peraturan Presiden No.191 Tahun 2014 untuk menentukan konsumen yang berhak menerima subsidi.
Lalu, Pemerintah dapat menyediakan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan dengan harga yang terjangkau dan bisa diakses oleh berbagai kalangan. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM. Apabila terdapat energi alternatif baru dengan harga yang lebih murah, masyarakat akan beralih ke energi tersebut. Hal tersebut sesuai dengan prinsip ekonomi yang menyatakan perilaku seseorang akan berubah ketika terdapat perubahan biaya atau keuntungan.
ADVERTISEMENT
Diharapkan dua strategi yang menerapkan salah satu dari 10 Prinsip Ekonomi, “Orang memberikan reaksi terhadap insentif", mampu mencapai tujuan untuk menciptakan lingkungan dengan kualitas udara yang baik, tidak ada inflasi seperti yang terjadi di tahun 1998, dan perkembangan perekonomian di Indonesia tetap stabil.