Konten dari Pengguna

Feature: Anak Perempuan di Keluarga

Putri Septianingrum
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, program studi Penerbitan (Jurnalistik). Staff of Human Resources (HR) BO GEMA.
9 Juni 2024 11:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Septianingrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perempuan (Foto: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perempuan (Foto: Pexels)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tidak ada seorang pun yang dapat memilih akan dilahirkan dari keluarga mana, berjenis kelamin apa, dan memiliki kehidupan yang seperti apa. Namaku Putri, aku merupakan anak terakhir perempuan di keluarga. Tak mudah memang menjadi anak terakhir perempuan, yang seringkali dianggap manja.
ADVERTISEMENT
Menjadi anak terakhir perempuan membuatku dituntut untuk serba bisa. Cuci piring, nyetrika, masak, membersihkan rumah adalah tugas sehari-hariku. Tak jarang aku memiliki perasaan iri oleh Kaka laki-laki ku, karena semasa dia kecil hingga dewasa Mamah tidak pernah menuntutnya untuk melakukan pekerjaan rumah apapun. Peran sebagai adik dan satu-satunya perempuan membentuk aku menjadi sosok yang peka terhadap perasaan orang lain, sementara tuntutan untuk menjadi serba bisa membuat aku menjadi individu yang tangguh dan ulet. Tuntutan untuk menjadi seorang perempuan yang harus serba bisa ini muncul karena dengan adanya harapan besar yang diberikan Mamah untuk aku di masa depan yang nantinya akan berganti status menjadi seorang istri dan juga Ibu.
Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku sering kali diharapkan untuk mengambil peran yang mirip dengan Mamah dalam hal mengurus rumah tangga. Dari kecil, Mamahku selalu mengajariku untuk mengurus kebersihan rumah seperti menyapu, mengepel, dan memasak lauk untuk aku makan. Ajaran kecil yang Mamah berikan, menjadikanku pribadi yang bertanggung jawab atas segala perbuatan yang aku lakukan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
“Jangan gantungkan hidupmu pada laki-laki, karena laki-laki bisa pergi kapan saja” ucap Mamah kepadaku. Selain dituntut serba bisa, aku juga dituntut menjadi perempuan yang mandiri. Dari kecil, Mamah selalu mengajarkan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri, untuk tidak bergantung pada orang lain dalam menjalani hidup. Menjadi perempuan yang mandiri tidak berarti menolak bantuan atau dukungan dari orang lain. Sebaliknya, itu berarti memiliki kekuatan untuk berdiri sendiri saat dibutuhkan, dan dengan bijaksana menerima bantuan saat diperlukan. Mamah mengajarkan aku keseimbangan ini dengan sempurna. Ia menunjukkan bahwa kemandirian tidak berarti harus menjalani hidup sendirian, tetapi lebih tentang kemampuan untuk mengontrol hidup kita sendiri.
Menjadi anak bungsu perempuan di keluarga, seringkali dianggap sebagai posisi yang menyenangkan, dikelilingi oleh perhatian dan kasih sayang. Namun, bagiku, status tersebut juga datang dengan serangkaian ekspektasi yang diberikan. Ketika Kakak laki-lakiku diberi kebebasan dalam mengejar mimpinya, sedangkan aku harus bersiap dengan harapan dan ekpektasi yang Mamah dan Papah berikan kepadaku. Segala harapan dan ekspektasi yang Mamah dan Papahku berikan, membuatku harus bijak dalam mengambil langkah yang aku pilih.
ADVERTISEMENT
Aku tumbuh disaat aku kehilangan masa jaya orang tuaku, berbeda halnya dengan Kaka laki-lakiku yang masih merasakan masa jaya Mamah dan Papah. Keterbatasan ekonomi inilah, yang membuatku untuk mengurungkan mimpiku. Aku sadar betul akan tanggungan besar yang nantinya Mamah dan Papahku rasakan, jika aku mengejar mimpiku itu. Berjalannya waktu, aku semakin sadar mungkin Tuhan berikan jalan ini, untuk memberiku sedikit pelajaran, bahwa yang sebenarnya baik untuk aku belum tentu itu baik, dan sebaliknya, yang menurutku itu tidak baik, belum tentu itu tidak baik.
Ketika kata-kata terasa terjebak di tenggorokan, aku merasa terperangkap dalam dunia diam. Sebagai seorang anak perempuan, aku sering merasa sulit untuk mengutarakan isi hatiku. Mungkin karena takut diabaikan, dianggap lemah, atau tak ingin merepotkan. Padahal, hati ini penuh dengan cerita, harapan, dan keinginan yang ingin disampaikan. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, stigma sosial yang menganggap perempuan tidak seharusnya menyatakan perasaan duluan membuatku takut akan penolakan dan stigma dari masyarakat. Lingkungan tempat aku dibesarkan juga memiliki pengaruh besar. Ketidakamanan emosional dan kurangnya keterampilan komunikasi membuatku merasa takut untuk mengungkapkan perasaanku karena khawatir akan reaksi orang lain. Terkadang, aku berharap ada yang bisa membaca isi hatiku ini tanpa kata-kata, merangkul dengan pengertian, dan mendengarkan tanpa henti.
ADVERTISEMENT
Ada kalanya, menjadi anak perempuan terakhir di keluarga harus merasakan rasanya dibanding-bandingkan dengan saudaranya. Tak jarang, aku dianggap tidak kompeten dalam melakukan pekerjaan rumah. Tak jarang pula aku harus berjuang untuk diakui atas usahaku. Dari kecil memang Kaka Laki-lakiku menjadi pusat perhatian orang-orang, karena ia anak pertama laki-laki di keluarga, dan memiiki segudang prestasi non akademik. Karena Kaka laki-lakiku masih merasakan masa jaya orang tuaku, segala kebutuhan akademik dan non akademik pasti dipenuhi oleh Mamah dan Papahku. Berbeda halnya denganku yang tumbuh bersamaan dengan hilangnya masa jaya orang tuaku. Aku harus bisa berjuang dengan segala tekad yang aku punya, untuk mendapatkan sekolah negeri agar orang tuaku tidak kebingungan memikirkan biaya sekolahku.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah pepatah yang bilang bahwa anak laki-laki milik ibunya, dan anak perempuan milik ayahnya, benarkah itu? menurutku tidak. Mungkin memang benar, adakalanya Mamahku lebih banyak mendukung dan membela Kaka laki-lakiku dibanding aku, tetapi itu ia lakukan berdasarkan kasih sayang antara Mamah dan anak lelakinya, bukan bermaksud untuk membedakan dukungannya terhadap anak-anaknya. Sama halnya dengan Papahku, ia memang tak sering berbicara, namun dalam membagi kasih sayang dan dukungannya kepada anak-anaknya itu sama rata.
Sebagai anak laki-laki atau perempuan, aku dan Kaka laki-lakiku mungkin memiliki ikatan yang berbeda dengan Mamah dan Papah kita, tetapi yang paling penting bagi kita adalah pengaruh positif dan dukungan yang Mamah dan Papah berikan dalam membentuk diri kita menjadi individu yang istimewa dan berharga untuk masa depan.
ADVERTISEMENT