Konten dari Pengguna

Antara Pajak Pusat dan Daerah, UU HKPD Menjadi Solusi?

PUTRI SYAHNAZ HANINDIRA
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
5 Februari 2025 8:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PUTRI SYAHNAZ HANINDIRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbagai regulasi perpajakan belakangan ini menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Pro dan kontra terhadap kebijakan yang muncul seakan menjadi kritik maupun pujian bagi pemerintah saat ini. Salah satu kebijakan yang menarik perhatian adalah rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025 sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021. Selain itu, penetapan opsen untuk tiga jenis pajak daerah, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), mulai berlaku pada 5 Januari 2025 sesuai amanat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) Nomor 1 Tahun 2022.
Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva
Ketika masyarakat memberikan pujian atau kritik terhadap regulasi perpajakan terbaru, sering kali mereka mengarahkan pertanyaan atau protes ke instansi yang tidak berwenang. Sebagai contoh, tidak sedikit masyarakat yang ingin membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta menanyakan kebijakan opsen pajak daerah dengan mendatangi Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP), padahal KPP merupakan kantor pajak pusat yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Kritik terhadap kebijakan PPN 12% pun sempat menimbulkan kebingungan, terutama dalam hal pajak restoran. Beberapa rumah makan mencantumkan pajak restoran sebesar 12% seolah-olah tarif tersebut merupakan bagian dari PPN, padahal pajak restoran merupakan pajak daerah yang kewenangannya berada di tangan pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi kepada masyarakat serta sinergi antara pemerintah pusat dan daerah masih perlu ditingkatkan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat perlu memahami bahwa desentralisasi fiskal bertujuan membagi kewenangan antara pusat dan daerah dalam mengelola penerimaan pajak. Pajak sebagai pungutan wajib digunakan untuk mendukung pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan fasilitas dan layanan sosial yang merata di seluruh wilayah. Pajak daerah memberikan hak otonom bagi pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota untuk mengelola pendapatan sesuai dengan kebutuhan dan potensi masing-masing wilayah. Setiap daerah memiliki karakteristik serta tantangan berbeda dalam mengoptimalkan penerimaan pajaknya. Sebagai contoh, Provinsi Bali dengan sektor pariwisatanya yang kuat dapat memanfaatkan pajak hotel, pajak hiburan, dan pajak restoran sebagai sumber pendapatan utama. Sementara itu, Provinsi Jawa Timur yang memiliki jumlah kendaraan bermotor terbanyak di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, yakni sebanyak 24 juta unit, dapat mengoptimalkan penerimaan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Dengan adanya sinergi antara pajak pusat dan daerah, pemerataan pembangunan dapat tercapai, khususnya bagi wilayah-wilayah yang masih tertinggal.
ADVERTISEMENT
Meskipun pajak pusat dan pajak daerah memiliki peran penting dalam pemerataan pembangunan serta optimalisasi keadilan fiskal, tantangan dalam pelaksanaannya masih cukup besar. Salah satu tantangan utama adalah administrasi perpajakan di daerah yang masih tertinggal dibandingkan dengan pajak pusat. Pajak pusat telah mengintegrasikan sistem administrasinya dalam satu sistem digital yang terstruktur, sementara kemampuan daerah dalam melakukan digitalisasi administrasi pajak masih bervariasi dan belum merata. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas pajak daerah masih menjadi permasalahan, terutama karena keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur di beberapa daerah.
Saat ini, pajak pusat telah mengalami digitalisasi yang masif guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta efisiensi administrasi. Salah satu inovasi yang diperkenalkan adalah Core Tax Administration System (CTAS), yang menjamin keamanan data wajib pajak serta mempermudah pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan dalam satu sistem digital yang terintegrasi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pajak daerah, mengingat wilayah serta regulasi yang berbeda-beda mempersulit pengembangan sistem digital yang serupa. Administrasi perpajakan yang efisien serta kepastian hukum dalam perpajakan daerah sangat berpengaruh terhadap pencapaian rasio pajak daerah (local tax ratio) serta kontribusi pajak daerah terhadap pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
UU HKPD untuk Meningkatkan Local Taxing Power
Sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas pemungutan pajak daerah (local taxing power) serta menciptakan efektivitas dan efisiensi antara pajak pusat dan daerah, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) Nomor 1 Tahun 2022. UU ini bertujuan menjawab tantangan desentralisasi fiskal, terutama dalam meningkatkan rasio pajak daerah yang masih relatif rendah. Beberapa tantangan utama dalam desentralisasi fiskal adalah pemanfaatan Transfer Pemerintah ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang belum optimal, Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai, serta masih lemahnya sinergi antara pusat dan daerah dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, UU HKPD menggantikan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU HKPD mengusung empat pilar utama, yaitu: (1) meminimalkan ketimpangan antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta ketimpangan antarwilayah yang setara, (2) memperkuat kapasitas pemungutan pajak daerah melalui reformasi sistem perpajakan daerah, (3) meningkatkan kualitas belanja daerah, dan (4) mengharmonisasi kebijakan belanja antara pemerintah pusat dan daerah. Implementasi dari empat pilar ini dilakukan melalui evaluasi terhadap regulasi pajak dan retribusi daerah, kebijakan transfer ke daerah, pengelolaan belanja daerah, serta sinergi fiskal antara pusat dan daerah.
ADVERTISEMENT
Fokus utama dari pilar kedua, yaitu penguatan kapasitas pemungutan pajak daerah, adalah pengurangan biaya administrasi dalam pemungutan pajak serta optimalisasi penerimaan pajak daerah. Efektivitas dan efisiensi dalam pemungutan pajak menjadi faktor utama dalam meningkatkan penerimaan pajak daerah. Semakin mudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, semakin tinggi pula tingkat kepatuhan pajak serta kepedulian terhadap pembangunan daerah. Sebagai upaya meningkatkan efisiensi administrasi pajak daerah, UU HKPD mengatur penyederhanaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang mencakup pajak hotel, pajak hiburan, pajak restoran, dan pajak parkir. Dengan penyederhanaan ini, pengawasan dan pelayanan perpajakan daerah dapat lebih mudah dilakukan. Selain itu, dalam aspek efektivitas, UU HKPD juga mendorong pemberian insentif fiskal bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) guna mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kepatuhan pajak di sektor usaha kecil.
ADVERTISEMENT
Sebagai solusi atas berbagai tantangan dalam meningkatkan kapasitas pemungutan pajak daerah, implementasi UU HKPD perlu didukung oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia serta infrastruktur di setiap daerah. Peningkatan infrastruktur tersebut dapat berupa peningkatan kemudahan akses layanan berbasis digital. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan dengan mengadakan berbagai pelatihan serta penguatan nilai integritas dan profesionalisme. Pemerintah daerah tidak hanya perlu berfokus pada peningkatan penerimaan pajak, tetapi juga harus memastikan bahwa masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap layanan perpajakan serta transparansi dalam pengelolaan pajak yang mereka bayarkan. Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, desentralisasi fiskal yang efektif dapat diwujudkan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.