Konten dari Pengguna

Digital to Print: Hukum Penggunaan Face Claim pada Karya Alternative Universe

Angger Mira
English Language and Literature Student at Universitas Airlangga
26 November 2024 17:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angger Mira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Print Book. Foto: Unsplash/Geilan Malet-Bates.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Print Book. Foto: Unsplash/Geilan Malet-Bates.
ADVERTISEMENT
Perkembangan sastra di era digital semakin masif dengan terciptanya karya yang tidak terbatas pada narasi, tetapi juga dengan memanfaatkan elemen multimedia seperti audio, video, dan animasi. Salah satu karya fiksi digital yang populer di kalangan remaja dan dewasa muda saat ini adalah Alternative Universe atau yang akrab dikenal dengan AU. Alternative Universe pada dasarnya adalah sebuah latar untuk sebuah karya fiksi penggemar (fanfiction) yang berangkat dari canon yang menjadi dasar dari karya penggemar tersebut. Dalam dunia Alternative Universe yang dinamis dan terus berkambang, ada satu hal menarik yang menjadi perdebatan adalah praktik “face claim”. Face claim terjadi dimana penulis memberikan representasi visual dari individu di dunia nyata, sering kali tokoh-tokoh terkenal seperti idol, aktor, atau influencer, kepada karakter yang dibayangkan dan dihidupkan dalam narasi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan hukum dan etika antara penulis dan penggemar idola yang dijadikan face claim karena dianggap hanya memanfaatkan visual idola untuk tujuan komersil.
ADVERTISEMENT

Hukum Hak Cipta di Indonesia

Di Indonesia, undang-undang hak cipta diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. Menurut aturan ini, setiap karya yang menggabungkan bagian dari karya yang sudah ada, seperti fanfiksi, dianggap sebagai karya yang diadaptasi. Penulis fanfiction yang menggunakan karakter atau elemen dari karya lain harus mendapatkan izin dari pemegang hak cipta asli untuk menghindari pelanggaran hukum. Dalam konteks face claim, jika penulis tidak mendapatkan izin dari artis atau agensi artis tersebut, karya tersebut kemungkinan besar akan melanggar hak cipta. Pelanggaran hak cipta ini akan mendapatkan konsekuensi hukum yang dapat berupa denda atau tuntutan perdata. Jika karya yang dikomersilkan tersebut tetap menggunakan face claim, selebriti yang bersangkutan berhak atas royalti dari hasil penjualan tersebut seperti yang telah diatur dalam hukum hak cipta.
ADVERTISEMENT

Dampak Face Claim pada Public Figure

Lalu, bagaimana dampak penggunaan face claim bagi selebriti tersebut? Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan klaim wajah pada tokoh-tokoh terkemuka akan menjadi bumerang. Mereka memiliki hak atas foto dan nama mereka, dan penggunaan yang melanggar hukum dapat dianggap sebagai pelanggaran hak publisitas mereka. Ketika cerita tersebut dipublikasikan untuk tujuan komersial, hal ini menjadi lebih rumit karena persetujuan dari orang-orang yang terlibat harus diperoleh baik dari penerbit maupun penulis. Meskipun penulis AU telah memberikan disclaimer di awal karya, pernyataan mereka tidak selalu cukup untuk melindungi mereka secara hukum. Belum lagi berhubungan dengan pembaca yang tidak bijak, citra asli dari selebriti tersebut bisa rusak karena selalu disangkut pautkan dengan kehidupan asli yang tidak berhubungan dengan karakter fiksi tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sangat dianjurkan bagi penulis Alternative Universe untuk melepaskan atribut fandom dalam karya mereka. Hal ini termasuk dengan tidak menggunakan nama asli dan citra artis tersebut dalam cerita atau promosi. Penulis yang tidak lagi menggunakan visualisasi artis dalam buku cetak yang dikomersilkan tidak perlu mendapat izin dari artis tersebut sesuai Pasal 12 ayat 1 UUHC. Dengan ini, karya tersebut dapat dianggap sebagai original fiction yang lebih aman untuk dipublikasikan dan dikomersilkan, seperti novel Fifty Shades of Grey karya E.L. James, yang awalnya fanfiction tetapi diubah menjadi karya orisinal dengan menghilangkan seluruh elemen fandom. Sekali lagi, penting bagi penulis untuk memahami batasan hukum dan etika penggunaan karakter dan citra public figure.
ADVERTISEMENT