Konten dari Pengguna

Refleksi Dampak Perlakuan Ayah kepada Ibu terhadap Kondisi Psikis Anak

Putri Khoirina Nuzullah
Undergraduate Education Management at Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
8 Mei 2025 21:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Khoirina Nuzullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Anak-anak tidak hanya mencintai dengan insting, mereka mencintai dengan pengamatan. Dan ketika mereka melihat ibu yang mereka sayangi disakiti oleh ayah—perlahan, cinta yang semula tulus berubah menjadi tanya, lalu luka.
https://www.freepik.com/freepik
zoom-in-whitePerbesar
https://www.freepik.com/freepik
Seorang anak perempuan sangat terikat secara emosional dengan ibunya. Ikatan ini bukan hanya soal kedekatan fisik, tapi juga kedekatan rasa. Ketika seorang ayah menyakiti ibu, baik lewat kata, sikap, atau perlakuan yang tidak adil. Anak perempuan akan merasakannya seakan-akan itu adalah penderitaannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Ia mulai sulit memahami mengapa ayah yang seharusnya melindungi, justru menjadi sumber luka bagi orang yang paling ia cintai. Di titik inilah, perasaan cinta terhadap sang ayah perlahan tidak lagi utuh. Ia mungkin tidak langsung membenci, tapi hatinya mulai menjauh.
Ada saatnya seorang ibu akhirnya bicara. Setelah sekian lama memendam luka dan rasa sesak yang tak pernah tuntas, ia memutuskan membuka suara tentang rasa sakit yang dialaminya, tentang perasaannya yang lama terabaikan. Namun keputusannya itu bukanlah upaya untuk menjatuhkan pasangan, apalagi menanamkan kebencian dalam hati anak. Ia hanya ingin didengar, dimengerti, dan tidak merasa sendiri dalam kesepian emosional yang selama ini ia telan dalam diam.
Bagi seorang ibu, membuka diri kepada anak bukan sekadar mengeluh, melainkan bentuk kejujuran emosional yang tulus. Ia ingin anaknya tahu bahwa ia pun manusia yang bisa rapuh, bisa lelah, dan butuh ruang untuk bersuara. Namun di sisi lain, curahan hati itu bisa menjadi beban batin bagi anak perempuan, terutama jika ikatan emosional antara mereka sangat kuat.
ADVERTISEMENT
Anak perempuan tidak hanya mendengar, tetapi turut merasakan. Ia menyerap kesedihan ibunya bukan sebagai cerita, melainkan sebagai kebenaran yang menggores hati. Ia melihat ibu yang selama ini menjadi sosok kuat dan penuh kasih, ternyata juga menyimpan luka karena perlakuan ayah yang mungkin dingin, mengabaikan, atau bahkan merendahkan.
Di dalam batin anak, muncul konflik yang tak mudah diurai. Ia ingin tetap mencintai ayahnya, tetap memegang rasa hormat dan kasih yang selama ini dibangun. Namun sulit baginya untuk menerima bahwa orang yang melukai ibunya adalah orang yang sama yang harus ia panggil "Ayah." Ini bukan sekadar dilema moral, melainkan konflik emosional yang melelahkan dan kompleks. Jika tidak dipahami dan diolah dengan komunikasi yang sehat, luka itu bisa tumbuh menjadi jarak emosional yang permanen antara anak dan ayah.
ADVERTISEMENT
Situasi semacam ini menggambarkan bagaimana keluarga tidak hanya dibangun oleh ikatan darah, tetapi juga oleh kejujuran, penghargaan, dan kasih sayang yang saling dijaga. Ketika salah satu sisi retak, getarannya bisa menjalar dan melukai tanpa disadari. Maka, keberanian ibu untuk bersuara perlu ditemani oleh ruang aman bagi anak untuk memproses perasaannya. Tanpa dipaksa memihak, tanpa harus memikul beban yang bukan miliknya.
Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan bukan hanya telinga untuk mendengar, tetapi hati yang sanggup memaknai, memaafkan, dan perlahan-lahan menyembuhkan.
Banyak ayah berpikir bahwa selama ia tidak menyakiti anak secara langsung, maka hubungannya aman. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Anak-anak adalah peniru dan perasa. Mereka menilai karakter, bukan dari omongan, tapi dari tindakan.
ADVERTISEMENT
Anak akan susah menyayangi ayah yang tidak menyayangi ibunya. Bukan karena ia tidak tahu berterima kasih, tapi karena jiwanya menolak untuk memuliakan seseorang yang menyakiti orang yang ia cintai. Cinta anak terhadap ayah adalah refleksi dari apa yang ia lihat dan lakukan terhadap ibunya.
Anak-anak tidak membutuhkan orang tua yang sempurna. Mereka hanya membutuhkan alasan untuk percaya. Dan kepercayaan itu tumbuh dari cara seorang ayah memperlakukan ibu, dalam tutur katanya, dalam tindakannya, dan dalam kehadirannya sebagai pelindung.
https://www.freepik.com/freepik
Jika ingin cinta anak tetap utuh, jangan hanya dekati anak.
Dekatilah hati ibunya, karena dari sanalah anak belajar tentang cinta, tentang hormat, dan tentang makna sebuah rumah.
Anak menyerap apa yang ia lihat: kelembutan dalam ucapan, penghargaan dalam perlakuan, dan kehangatan dalam kebersamaan.
ADVERTISEMENT
Cinta dalam keluarga tidak dibangun di atas perintah, seperti kalimat, “Aku ayahmu, maka hormatilah aku.”
Cinta tumbuh dari keteladanan—dari sikap yang seolah berkata, “Aku mencintai ibumu dengan tulus, dan lewat cinta itu, aku juga mencintaimu.”