Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Penjaga Nyawa di Perlintasan Sebidang Kereta
25 Desember 2023 9:04 WIB
Tulisan dari Putri Kunaefi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu saya naik KA Lokal di Bandung dari Stasiun Rancaekek menuju Stasiun Bandung. Maklum, setelah dua tahun lamanya kuliah di pinggiran Bandung, saya belum juga mengunjungi wisata sejuta umat di pusat Kota Bandung. Alhasil, saya mencoba jalan-jalan naik kereta di Bandung. Soalnya, kata banyak orang, Bandung itu romantis banget, syahdu, dingin, dan nampaknya sudah jadi kiblat banyak pasangan untuk berkunjung. Belum lagi dengan julukannya sebagai kota paling indah untuk ditinggali. Duh, didengarnya memang tak jauh beda sama Yogyakarta karena sama-sama kota yang selalu diromantisasi. Namun, alih-alih romantis, saya justru merasakan banyak hal di Bandung yang justru gak bisa diromantisasi, tetapi harus dibenahi.
ADVERTISEMENT
Sepanjang berkereta, saya menyadari bahwa jarak antara rel dengan pemukiman penduduk luar biasa dekatnya. Bahkan, saya bisa melihat gerombolan anak kecil bermain bola, ibu menyuapi bayinya, dan bapak-bapak yang asyik menyeruput kopi dengan rokok di bibir. Nampak santai meski angin kencang dari laju kereta sesekali mengenai wajah dan membuat mereka tertawa senang. Memang, di negara kita yang lucu ini, tata letak kota masih semrawut dan bikin pusing. Saya tak menyangka hal ini juga terjadi di kota romantis idaman setiap orang. Apalagi ketika kereta melaju di perlintasan sebidang yang hanya dijaga oleh warga. Tanpa palang otomatis, tanpa rambu, hanya sebilah besi panjang menjulur yang dioperasikan oleh bapak-bapak tua penguasa perlintasan. Walah, ternyata di Bandung pun masih banyak yang seperti ini. Apakah ini romantis? Menurut saya sih tidak.
ADVERTISEMENT
Hari-hari Menjaga Nyawa
Kalau boleh lebay sih, saya akan sebut mereka yang menjaga di perlintasan sebidang adalah penjaga nyawa. Mungkin saja mereka bekerja di rel sepetak itu bersamaan dengan para pencabut nyawa yang tak kasat mata. Sebab, para pengendara yang ugal-ugalan, menerobos sana sini, dan mencari celah memang sangat mengundang para malaikat bukan? Ya, saya juga gak bisa menyalahkan siapa-siapa sih, kita kan negara dengan penduduk yang punya kelakuan yang kadang terlewat lucu.
Kemudian, saya berkesempatan menemui salah satu penjaga nyawa di daerah Cisaranten Endah, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung. Siang itu mendung dan gerimis mulai mengguyur. Ketika saya bertanya, Suryono (63) masih sibuk mengatur mobil dan motor yang berlalu lalang. Sebab, perlintasan sebidang tersebut sangat sempit dan hanya bisa dilalui oleh satu jalur. Suryono dan temannya mengatur dari kedua sisi agar kendaraan tak menumpuk tengah yang manakala bisa menyebabkan macet. Kalau macet, pencabut nyawa tak kasat mata yang ada di lokasi bisa-bisa ikutan turun tangan nih, ngeri.
ADVERTISEMENT
Walau dibarengi dengan canda tawa dan ia sudah paham dengan tabiat pengendara, nampaknya dirinya tetap terselip rasa marah dan kesal dengan pengendara yang ugal.
Selain menjaga nyawa, Suryono bahkan juga harus menanggung resiko apabila terjadi kecelakaan, ya walau tetap mengacu pada kronologi dan saksi, tetapi peran Suryono juga turut ikut andil jika terjadi hal-hal ngeri. Belum lagi jika kita bicarakan soal upah yang didapat. Apakah ada pekerjaan sejenis penjaga rel kereta yang upah seikhlasnya tetapi pengorbanan semaksimalnya? Kalau dituang dalam tinta perjanjian kerja antara karyawan dan user, kelak gak akan ada yang mau sih mendaftar ke lowongan kerja penjaga nyawa seperti ini.
ADVERTISEMENT
Bagi Suryono memang banyak tetapi bagaimana dengan resiko yang setiap hari membayang-bayangi nyawanya bahkan nyawa orang lain? Kalau dihitung dengan beban kerja yang tidak setimpal, upah yang tidak layak, dan resiko besar yang ditanggung, kira-kira bagaimana sih kebijakan terhadap penjaga palang pintu liar di rel kereta seperti Suryono ini?
Begini Kata Pihak KAI
Usut punya usut, sebetulnya perlintasan sebidang tempat penyebrangan di rel kereta api itu sudah diatur oleh pemerintah setempat bersama Dinas Perhubungan dan Kementerian Perhubungan. Pihak KAI juga sudah membuat perlintasan resmi yang dilengkapi dengan pos penjagaan, rambu lalu lintas, alarm sirine, dan petugas yang memakai rompi dan helm demi keselamatan. Akan tetapi, sangat disayangkan banyak muncul perlintasan sebidang yang liar dan dikelola oleh warga setempat sehingga tidak dalam pengawasan PT KAI.
ADVERTISEMENT
Terhadap perlintasan sebidang yang liar, Pihak KAI akan menutup paksa sesuai dengan UU Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian di Pasal 94 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa bahwa perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Sebab, jika dibiarkan dapat membahayakan tak hanya kereta api sendiri tetapi pengendara maupun warga sekitar yang berada di lokasi. Hanya saja, persoalan muncul dari warga yang kerap membuka paksa perlintasan sebidang untuk akses jalan karena akses resmi yang telah diberikan KAI dinilai terlalu jauh dan harus mutar jalan.
Bisa dikatakan Sidik memang salah satu WNI asli. Lihat dari kelakuannya yang gak mau jauh, maunya instant, dan apa-apa yang dekat aja. Iya sih, Dik, kami paham dan maklum dengan tingkahmu. Tapi, bagaimana jika yang berpikir seperti itu gak cuma kamu, tapi separuh atau seluruh masyarakat Bandung? Eh, bukan bermaksud menyalahkanmu ya, Dik. Kita memang WNI alias “Warga Ngelakuannya Innalillahi.”
ADVERTISEMENT
Pihak KAI juga gak tinggal diam. Rupanya, ada kebijakan penutupan perlintasan liar sebidang yang ditargetkan rampung sebanyak 23 di sepanjang Bandung Raya, tetapi yang baru terealisasi hanya 15. Kesulitan penutupan perlintasan lagi-lagi ada di penolakan warga yang tidak ingin ditutup untuk akses penyebrangan. Sehingga, hal tersebut yang menghambat KAI menertibkan seluruh perlintasan liar sebidang yang ada di sepanjang Bandung Raya.
Yah, tapi kalau ditutup gimana dengan nasib penjaga perlintasan liar seperti Suryono dkk? Mereka hanya mengharap upah dari situ loh! Tega banget, sih!
Kemunculan Berbagai Solusi
Sebetulnya bagaimana ya, dibanding dengan upah yang gak seberapa dan membahayakan nyawa penjaga, memang lantas lebih baik ditutup dan ditiadakan. Kalau soal penjaga jadi pengangguran itu lagi-lagi memang masalah struktural. Jangankan pengangguran yang sudah tua macam Suryono, pengangguran fresh seperti para sarjana yang baru lulus pun memiliki masalah yang serupa. Memang, lagi-lagi negeri kita ini penuh komedi.
ADVERTISEMENT
Solusi sih banyak, misalnya mengajukan perlintasan liar tersebut menjadi resmi ke Kementerian Perhubungan. Lalu, Suryono dkk bisa diangkat menjadi pegawai resmi. Alhasil, upah terjamin, keselamatan juga memadai. Akan tetapi, kembali lagi apakah yang berwenang mau mengangkat Suryono tanpa kualifikasi? Alasan usia, pendidikan, dan segala tetek bengeknya juga pasti menjadi pertimbangan.
Solusi lain bisa dengan membuat flyover atau underpass penyeberangan. Sehingga, tidak ada lagi pos penjagaan yang beroperasi. Aman dan nyaman ya kalau dibayangkan. Tapi kalau membayangkan dana rasanya gak mungkin. Negeri kita masih memerlukan dana untuk hal lain yang lebih penting. Walau entah apa yang disebut dengan ‘penting’ itu kadang-kadang bikin garuk kepala, hehehe.
Akan tetapi, memang alangkah baiknya jika Pihak KAI, Pemerintah Daerah, Kementerian Perhubungan, Dinas Perhubungan, Komunitas Railfans, dan warga sekitar mampu menciptakan kesadaran ini bersama-sama. Keselamatan dan kenyamanan setiap orang merupakan hal yang utama. Pengadaan perlintasan yang memiliki kualifikasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan serta pegawai yang terjamin upah dan keselamatannya menjadi cita-cita bersama. Tentunya dengan tidak melepaskan mata kita dari kesejahteraan masyarakat marginal seperti Suryono dkk. Ah, sepertinya hal itu hanya ada di bayangan. Setidaknya untuk sementara jika masih belum ada aksi dan tindakan nyata.
ADVERTISEMENT