Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Code-Mixing dan Code-Switching: Apakah Wajar?
17 November 2021 22:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Putri Shinta Balqish tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“There’s no way aku mau makan makanan pedas.”
“Honestly, aku kemarin pergi shopping sama temen.”
ADVERTISEMENT
Pernahkah kalian mendengar atau mengucapkan kalimat seperti contoh di atas? Dalam kalimat-kalimat tersebut, terdapat beberapa kata dalam bahasa Inggris yang disisipkan dalam kalimat bahasa Indonesia. Lantas, hal itu wajar tidak sih? Apa benar bahwa mencampur-campur bahasa memiliki tujuan untuk terlihat keren dan intelek?
Sebenarnya, kalimat di atas merupakan contoh dari code-mixing. Fenomena ini sering ditemukan pada orang-orang yang bisa menggunakan dua bahasa atau lebih, seperti bilingual (orang yang menguasai dua bahasa) dan poliglot (orang yang menguasai banyak bahasa). Code-mixing merupakan transisi satu kata dari satu bahasa ke bahasa lain dalam satu kalimat. Singkatnya, potongan dari bahasa A digunakan saat pembicara menggunakan bahasa B. Code-mixing tidak bergantung pada situasi si pembicara dalam percakapan. Contohnya, seperti penyisipan kata literally, obviously, atau prefer pada kalimat berbahasa Indonesia. Suwito (dalam Hairennisa, 2018) mengatakan bahwa code-mixing memiliki beberapa bentuk yaitu penyisipan kata, frasa, idiom/ekspresi, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Selain code-mixing, ada juga yang dinamakan code-switching. Menurut Basnight-Brown & Altarriba (2007), code-switching terjadi secara sengaja, dalam klausa/kalimat berbeda, dan bergantung pada situasi si pembicara. Jadi, ada kemungkinan orang tersebut merasa kata di dalam bahasa keduanya lebih cocok untuk diucapkan.
Ternyata, menurut perspektif psikolinguistik, code-mixing dan code-switching memiliki hubungan erat ke proses yang terjadi di otak kita, loh. Yuk pahami lebih dalam tentang fenomena ini dengan menyimak penjelasan berikut!
Pergeseran dari satu bahasa ke bahasa lain dalam code-mixing dan code-switching mengaktifkan korteks frontal dan korteks temporal dalam otak. Basal ganglia yang kita ketahui berfungsi dalam koordinasi otak, ternyata juga terlibat dalam pemilihan bahasa yang penting untuk code-switching dan code-mixing pada para bilingual (Moreno et al., 2009). Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Lei et al., 2014) terhadap bilingual Korea-Cina, ditemukan daerah precentral cortex dan area fusiform yang berperan dalam pergeseran bahasa. Maka dari itu, terdapat koneksi kuat antara daerah subkortikal dan kortikal untuk pengalihan dua bahasa yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Penemuan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun wilayah otak yang bertanggung jawab secara penuh untuk pertukaran bahasa. Apakah mereka yang melakukan code-switching dan code-mixing memiliki tempat pemrosesan yang berbeda untuk bahasa yang berbeda juga? Jawabannya adalah tidak, bagian otak yang sama akan memproses masing-masing bahasa tersebut. Namun, pada orang-orang yang menggunakan dua bahasa atau lebih sejak usia dini, area temporal dan korteks frontalnya ternyata tumbuh lebih tebal dari rata-rata (Kalat, 2009). Selain itu, menurut Moreno et al. (2009), mereka menjadi lebih andal dalam mengabaikan informasi yang mengganggu proses kognitif di otak dibandingkan para monolingual.
Penelitian-penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa kedua bahasa dapat digunakan secara bersamaan dalam pemrosesan bahasa. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan pembicara dalam menghambat penamaan kata yang muncul dalam bahasa yang berbeda. Bahkan, penerjemah profesional berkomentar tentang code-mixing yang mereka alami. Mereka mengalami kesulitan dalam membaca novel seperti orang-orang normal karena adanya dorongan untuk memikirkan terjemahan akan kata yang mereka baca dalam bahasa lain. Kemampuan dalam masing-masing bahasa juga menentukan mekanisme fenomena ini. Seorang bilingual yang berbahasa Indonesia di rumah, tetapi tumbuh besar menggunakan bahasa Inggris di sekolah dan lingkungannya akan cenderung melakukan code-mixing dan code-switching dalam bahasa Inggris. Berikut contoh-contoh lainnya :
ADVERTISEMENT
Proses lainnya adalah proses dalam memori. Ketika seseorang memperoleh bahasa kedua, terutama jika itu terjadi di kemudian hari, kata-kata dari bahasa kedua tersebut akan diintegrasikan ke dalam memori dengan mengembangkan jalur yang melekat pada kosakata bahasa pertama (Basnight-Brown & Altarriba, 2007). Terkadang, seseorang lupa akan kata atau frasa yang mau ia katakan, lalu orang tersebut melakukan code-mixing dalam bahasa lain yang ia ingat. Orang bilingual mungkin mengetahui suatu kata dalam dua bahasa, tetapi mereka cenderung menggunakan kata dengan bahasa yang lebih familier baginya karena kata tersebut lebih cepat diambil dari memori.
ADVERTISEMENT
Namun, penggunaan code-switching dan code-mixing ini masih sering dipandang negatif oleh sebagian besar orang. Buktinya, masih ada stereotip yang mengatakan bahwa orang-orang yang mencampur bahasa itu tidak menghargai bahasa Indonesia dan hanya melakukan hal tersebut untuk gengsi belaka. Padahal, mereka melakukan code-mixing dan code-switching agar pesan yang ingin disampaikan itu diterima dengan baik (Sridhar & Sridhar, 1980). Lagi pula, orang-orang yang terbiasa melakukan code-mixing juga dapat mengucapkan kalimat penuh dalam satu bahasa, kok. Selama tidak menyalahgunakan bahasa Indonesia, fenomena ini tidak seharusnya menjadi suatu masalah.
Selain itu, fenomena ini juga bisa menjadi sebuah keuntungan di dunia pemasaran, loh! Peminat produk dan layanan cenderung meningkat ketika slogan atau iklan disajikan dalam bahasa kedua. Jadi, kalian tidak perlu malu bila pernah mengalami code-mixing atau code-switching karena hal yang terpenting dalam berkomunikasi adalah proses penyampaian informasi dengan jelas. Pada hakikatnya, semua pembicara ingin dipahami. Pendengar juga harus memahami cara orang lain berbicara, walaupun ada perubahan bahasa yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Basnight-Brown, D. M., & Altarriba, J. (2007). Code-switching and code-mixing in bilinguals: Cognitive, developmental, and empirical approaches. Speech and Languange Disorders in Bilinguals, 69–89.
Hairennisa, H. (2018). CODE MIXING IN STUDENTS’ WHATSAPP (WA) CHAT AT EIGHT SEMESTER OF ENGLISH STUDY PROGRAM AT STATE ISLAMIC OF UNIVERSITY RADEN INTAN LAMPUNG. State Islamic of University Raden Intan Lampung.
Kalat, J. W. (2009). Biological Psychology (10th ed.). Cengage Learning.
Lei, M., Akama, H., & Murphy, B. (2014). Neural basis of languange switching in the brain: fMRI evidence from Korean-Chinee early bilinguals. Brain & Languange, 138, 12–18. https://doi.org/10.1016/j.bandl.2014.08.009
Moreno, E. M., Wicha, N. Y., & Kutas, M. (2009). Code-switching and the brain. In The Cambridge Handbook of Linguistic Code-switching (pp. 289–306). Cambridge University Press.
ADVERTISEMENT
Sridhar, S. N., & Sridhar, K. (1980). The syntax of psycholinguistics of bilingual code-mixing. Canadian Journal of Psychology Revue Canadienne de Psychologie, 34(4). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1037/h0081105