Konten dari Pengguna

Kidung Pilu Tanah Gaza

Putri Rumondang Siagian SH MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6 November 2023 17:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Rumondang Siagian SH MH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga Palestina mencari korban usai serangan Israel di kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara, Rabu (1/11/2023).  Foto: Mohammed Al-Masri/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Warga Palestina mencari korban usai serangan Israel di kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara, Rabu (1/11/2023). Foto: Mohammed Al-Masri/REUTERS
ADVERTISEMENT
Kidung pilu dari tanah Gaza beberapa hari terakhir semakin santer terdengar. Jeritan wanita seakan saut-sautan dengan suara bom yang diledakkan di permukiman mereka. Suara tangis keluarga yang ditinggalkan menjadi pengiring ‘nyanyian’ pilu ini.
ADVERTISEMENT
Ribuan anak-anak menjadi korban reruntuhan bangunan disertai tubuh kaku dengan bercakan darah yang menempel di anggota tubuh dan rasa trauma seakan cukup menggambarkan betapa ‘kejamnya’ situasi di kala itu. Akan tetapi, kidung pilu dari tanah Gaza di esok hari mungkin sedikit sumbang.
Bukan karena tangis diganti tawa seperti harapan kita semua tapi mereka yang menangis, menjerit telah tiada menghadap Illahi, sebab opsi menjatuhkan senjata nuklir oleh Israel menjadi pilihan.
Entah panggilan apa yang dapat kita sematkan untuk mereka yang berada di balik layar itu. Bahkan setan sekalipun ‘jijik’ untuk disamakan dengan mereka. Sebutan apa yang pantas diberikan terhadap orang yang ‘berani’ menyerang anak-anak dan wanita?
Perang kata mereka, tapi yang terlihat hanyalah upaya pemusnahan massal. Bahwa perang yang selama ini kita yakini adalah pertempuran antara pihak-pihak yang setara, keduanya sama-sama menggunakan senjata untuk melawan satu dengan yang lainnya. Lalu bagaimana menggambarkan situasi yang terjadi di tanah Gaza jika pertempuran dilakukan tanpa perlawanan?
Ilustrasi logo PBB Foto: Reuters
Tindakan pertahanan diri orang bilik sebelah menyebutnya. Berlindung dibalik legitimasi Pasal 51 Piagam PBB sekalipun tidak dapat membenarkan tindakan brutal Israel. Alih-alih mengatasnamakan keberadaan hamas yang mereka sebut sebagai teroris lantas memborbardir tempat-tempat yang sepatutnya dihindari dalam melakukan penyerangan.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana jika mereka yang disebut Hamas ‘bersembunyi’ di wilayah kekuasaan milik mereka? Apakah pembinasaan serupa dilakukan. Pertahanan apa yang coba mereka lakukan bila serangan justru diarahkan ke rumah sakit, tempat ibadah dan mobil ambulans yang mengangkut masyarakat sipil yang tak berdaya?
Ironisnya kucuran dana yang tidak sedikit dialokasikan untuk membumihanguskan gaza. Seakan mengamini tindakan ‘biadab’ mereka yang berkuasa.
Reaksi nirempati yang dilakukan oleh masyarakat yang menyangkal terjadinya ‘pembantaian’ mereka yang seharusnya dilindungi dalam hukum perang. Suasana huru-hara dijadikan sebuah parodi dan ajang canda tawa. Kidung pilu terdengar parau. Entah karena telinga yang tuli atau perasaan yang sudah tertutup mati. Bahkan mereka yang tuli sekalipun dapat mendengar jelas kidung pilu di tanah Gaza.
ADVERTISEMENT
Katanya masa lalu tidak melulu sudah berlalu. Seperti déjà vu kita kembali dipertontonkan peristiwa pilu yang mengusik rasa kemanusiaan.
Genosida begitu sebutannya. Istilah yang merupakan bagian dari kejahatan kemanusiaan ini memiliki arti tentang pembantaian terhadap salah satu ras/suku/etnik tertentu yang bertujuan memusnahkan secara massal (kelompok ras/suku/etnik tersebut).
Buku-buku ini dibawa oleh orang-orang Yahudi ketika mereka ditahan dan dibawa melalui kargo barang menuju Kamp Pemusnahan Foto: Shutter Stock
Jika dulu di tahun 1942 goresan luka kemanusiaan itu bernama peristiwa Holocaust dengan memakan korban kurang lebih 11 (sebelas) juta orang yahudi dan non yahudi yang ‘dibantai’ secara sadis salah satunya menggunakan asap beracun yang sengaja dilepaskan ke kompartemen tertutup tempat penahanan. Namun tidak ada konsep legal tentang genosida dalam peristiwa Holocaust ini sebab kejahatan genosida baru diatur dalam Statuta Roma Tahun 1998.
ADVERTISEMENT
Legitimasi genosida secara sah diperkenalkan pada tahun 1998 terhadap peristiwa Rwanda. Di mana International Criminal Tribunal for Rwanda (pengadilan yang dibentuk Persyarikatan Bangsa-Bangsa selanjutnya disebut PBB) memberikan vonis bersalah kepada pihak yang melakukan genosida atas etnis tutsi tahun 1994 di Afrika yang menelan 800.000 (delapan ratus ribu) korban jiwa.
Kidung pilu dari tanah Gaza kembali terdengar kencang beberapa hari terakhir. Hampir keseluruhan bangunan milik warga sipil Palestina yang porak poranda menandakan intensitas serangan rudal/bom.
Sekolah, universitas bahkan rumah sakit yang menampung korban yang mayoritas adalah masyarakat sipil ikut menjadi bagian dari serangan yang ‘membabi buta.’ Bahkan penggunaan bom fosfor putih yang dilarang dalam hukum internasional pun digunakan untuk menghujani masyarakat di wilayah Gaza dan sekitarnya.
Warga Palestina mencari korban usai serangan Israel di kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara, Rabu (1/11/2023). Foto: Mohammed Al-Masri/REUTERS
Ironisnya tempat pengungsian Kamp Jabalia di Gaza Utara sebagai tempat bernaungnya warga sipil pun menjadi objek bagian dari penyerangan Israel. Bahkan kendaraan masyarakat sipil yang ingin keluar dari ‘wilayah’ gaza ‘dihadiahkan’ tembakan prajurit penjaga perbatasan termasuk ambulans yang mengangkut korban yang tertimbun reruntuhan.
ADVERTISEMENT
Tak terhitung korban yang wafat dalam peristiwa ini. Anak-anak dan perempuan yang dilarang diserang dalam hukum humaniter pun ikut menjadi bagian. Sekitar 9.376 yang di antaranya 3.912 orang anak-anak dan 2.213 wanita kehilangan nyawa dan mungkin saja angka tersebut kian bertambah hingga hari ini.
Kidung pilu di tanah Gaza terus melantun menyayat rasa kemanusiaan. Blockade atau penutupan akses distribusi makanan, bantuan medis untuk masyarakat Palestina di Gaza kian harinya semakin ekstrem.
Diputusnya akses internet, listrik dan air bagi warga yang tersisa membuat Gaza sebagai penjara terbuka dan terbesar di dunia. Tak pelak, beragam penolakan dilakukan masyarakat di berbagai Negara. Seruan casefire atau genjatan senjata diploklamirkan. Pun boikot atas barang-barang buatan Israel ikut menjadi imbasnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan Direktur Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB di New York Amerika Serikat mengundurkan diri karena PBB tidak dapat menghentikan pembantaian genosida atas warga Palestina di Tanah Gaza. Ketiadaan daya dari pimpinan elite himpunan berbagai bangsa ini bak singa ompong taringnya yang hanya mengandalkan ‘auman’ tanpa taring yang membuat ketakutan.
Ilustrasi bendera PBB. Foto: Alexandros Michailidis/Shutterstock
Lantas masihkah kita berharap agar PBB melalui dewan keamanannya menegakkan dan menghukum para penjahat genosida ini melalui Mahkamah Internasional (International Criminal Court)? Or UN Is Useless?
Kidung pilu di tanah Gaza takkan berhenti jika PBB selaku pengemban tanggung jawab menjaga perdamaian dan keamanan Negara-negara yang bernaung di dalamnya hanya sekadar menyerukan kecaman semata.
Harus menunggu berapa ratus juta manusia yang melakukan protes di jalan agar meyakinkan pemegang hak veto untuk vokal menyerukan telah terjadi peristiwa genosida yang harus segera diadili di meja mahkamah internasional.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini mungkin tidak akan berdampak banyak untuk menghentikan upaya genosida di bumi Palestina. Namun, baik saya maupun pembaca akan sepakat bahwa tindakan ini merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus diadili. Menyerang anak-anak, sekolah, tempat ibadah, jurnalis, dan tempat penampungan adalah tindakan pengecut.
Memilih lawan yang tidak menggunakan senjata adalah pilihan yang hina. Upaya damai tidak sekadar menghentikan serangan kemudian dilanjutkan beberapa tahun lagi. Tawaran damai adalah mengusir pergi sebab penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.