Konten dari Pengguna

Ibu, Ayah ke Mana? Ini tentang Kerinduan dan Keikhlasan padanya yang Telah Tiada

Putri Syifa Amelia
Seorang mahasiswi Penerbitan (Jurnalistik) Politeknik Negeri Jakarta yang sedang mencari ilmu.
12 Juli 2023 8:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Syifa Amelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saya ketika berkunjung ke "rumah" ayah. Foto: Putri Syifa Amelia
zoom-in-whitePerbesar
Saya ketika berkunjung ke "rumah" ayah. Foto: Putri Syifa Amelia
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu merasa rindu yang teramat besar kepada mereka yang telah tiada? Bisakah kamu ikhlas seutuhnya?
ADVERTISEMENT
Saya tumbuh besar tanpa sosok ayah. Ayah telah pergi jauh ke tempat peristirahatan terindah sejak saya masih sangat kecil. Sering saya merasa iri melihat teman-teman begitu dekat dengan ayah mereka.
"Mama, ayah ke mana?"
Itulah pertanyaan yang sering sekali saya ajukan kepada mama. Beliau hanya tersenyum tanpa menjawab.
Hingga suatu ketika saya sudah paham bahwa ayah saya telah pergi jauh dan tak akan pernah kembali, karena kami sudah berbeda alam.
Kemudian saya tumbuh dan masuk sekolah dengan didikan mama. Namun, setiap hari selalu ada rasa rindu itu. Terutama ketika saya melewati masa-masa penting, seperti kelulusan, memenangkan perlombaan, ulang tahun ke-17 dan lain sebagainya. Saya selalu berharap bahwa ayah akan menemui saya setidaknya sekali saja dalam mimpi. Namun ia tak pernah datang.
ADVERTISEMENT
Ejekan sudah makanan sehari-hari untukku. Panggilan yatim seringkali aku dengar. Namun apalah daya, benar adanya aku seorang yatim. Aku hanya bisa ikut tertawa, iya, menertawai nasibku. Biarlah, itu adalah sedikit kisah lama. Saat ini aku berada di lingkungan yang jauh lebih baik dan lebih memiliki empati.

Belajar Mengikhlaskan dan Fokus Pada Ibu yang Masih Saya Miliki

Ilustrasi ibu dan anak. Foto: Hananeko_Studio/Shutterstock
Seringkali saya merasa rindu dengan ayah, sayangnya saya tak bisa selalu mengunjungi makamnya. Foto pun saya tidak punya. Sehingga seringkali saya hanya bisa membayangkannya saja. Bahkan ketika akhirnya saya mengunjungi makam ayah, rasa rindu itu tetap tidak hilang.
Saya ingin bertemu ayah! Bukankah tega sekali dalam 18 tahun tak sekalipun datang berkunjung dalam mimpi? Tidakkah ayah saya ingin berbicara mengenai bagaimana saya tumbuh?
ADVERTISEMENT
Saya begitu merindukan ayah. Namun perlahan akhirnya saya tersadar, tak seharusnya saya terjebak pada ia yang telah tiada hingga lupa dengan kehadiran mama yang masih hidup. Mama yang selalu ada dalam setiap tumbuh kembangku. Ini salah. Saya salah.
Kemudian saya pun tersadar. Mengapa saya selalu menanti sosok yang telah tiada dan malah seolah tak melihat mama? Itu suatu hal keji. Saya tak seharusnya mengabaikan mama. Ia telah berusaha sangat keras untuk membesarkanku, mendidikku dan menjadi pengganti sosok ayah. Begitu banyak pengorbanan yang mama lakukan.
Saya seolah lupa, bukan hanya saya yang merasa sakit, namun mama juga merasakannya, bahkan jauh lebih dari apa yang saya rasa. Bagaimana saya bisa sekejam ini?
ADVERTISEMENT
Saya pun akhirnya sedikit demi sedikit berusaha mulai mengikhlaskan kepergian ayah. Bukan untuk dilupakan, tapi untuk kedamaian hati dan fokus pada apa yang masih saya miliki, yaitu mama.
Hingga kini rasa rindu itu ada, namun, sudah tak sesakit dulu. Saya ikhlas. Saya hanya akan berusaha untuk menyayangi mama sepenuhnya.
Ayah, rasa rindu ini tetap ada. Tapi saya akan hanya fokus kepada mama untuk sekarang. Selamat tinggal ayah. Mama, mari kita bersama melanjutkan hidup kita. Tanpa ayah.