Konten dari Pengguna

Antara Bali, Pajak Hiburan, dan Kemandirian Fiskal Daerah

Putu Dian Pusparini
Mahasiswa di PKN STAN
27 Januari 2025 16:58 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putu Dian Pusparini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terlihat kemacetan parah pada malam tahun baru 2025, banyak kendaraan tersendat menuju Desa Canggu, Bali. Tak heran, kawasan tersebut terkenal dengan wisata hiburan malam. Dari bulan ke bulan selama tahun 2024, Canggu mengalami laju pertumbuhan wisatawan asing sebesar 48,95%. Sebagian besar wisatawan mengunjungi kelab malam, diskotek, bar, dan tempat karaoke.
Ilustrasi Tempat Hiburan Malam (sumber : Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tempat Hiburan Malam (sumber : Penulis)
Kunjungan wisatawan yang ramai ke Canggu menstimulus kegiatan perekonomian di Kabupaten Badung. Meningkatnya produktivitas di sektor hiburan juga memberikan efek pengganda (multiplier effect) kepada pemerintah daerah setempat. Namun, nyatanya Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Badung melaporkan pajak hiburan hanya menyumbang sekitar Rp168 miliar ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung tahun 2024. Artinya, sektor hiburan hanya berkontribusi 2,6% dari PAD, dimana jenis pajak yang mendominasi PAD Kabupaten Badung adalah Pajak Hotel dan Restoran (PHR), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Hal ini wajar karena sifat dari PHR dan BPHTB memiliki dasar pengenaan pajak dengan nominal besar setiap kali transaksi, berbeda dengan pajak hiburan yang cenderung lebih kecil. Namun, yang perlu disoroti bukanlah nominal kontribusi pajak hiburan yang kecil terhadap PAD melainkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengoptimalisasi pemungutan pajak hiburan. Terlebih lagi dilihat dari aspek kedaerahan, sektor pentolan dari daerah tersebut adalah sektor hiburan.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Kemandirian Fiskal Daerah
Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah daerah memegang tanggung jawab besar dalam pengelolaan sumber daya fiskal untuk mendukung pembangunan lokal. Meskipun pemerintah pusat memberikan anggaran tersendiri untuk pemerintah daerah, bukanlah alasan bagi pemerintah daerah untuk bergantung pada Dana Bagi Hasil (BDH). Untuk itu, adalah perlu bagi pemerintah daerah mengoptimalisasi PAD baik dari pajak, retribusi, maupun hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Optimalisasi PAD juga memberikan dampak positif kepada pemerintah pusat, yaitu memberikan ruang untuk lebih fokus pada program-program prioritas nasional. Dampak positif ganda dari kemandirian fiskal daerah mengartikan perlunya dukungan dan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam optimalisasi local taxing power. Untuk itu, setiap perilisan aturan dan kebijakan, haruslah diselaraskan terlebih dahulu agar tidak tumpang tindih, terlebih lagi malah memperlemah local taxing power.
ADVERTISEMENT
Lalu, Apakah Kemandirian Fiskal Daerah Tercermin dalam Pajak Hiburan?
Bersamaan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), tarif pajak hiburan mengalami perubahan. Para pengusaha diresahkan dengan kenaikan tarif pajak hiburan tertentu seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Tarif pajak hiburan tersebut ditetapkan 40% hingga 75%. Dalam rentang tersebut, pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk menetapkan tarif sesuai dengan kemampuan fiskal dari masing-masing daerah. Sedangkan untuk jenis hiburan selain “hiburan malam” turun dari 35% menjadi 10%. Lalu apakah batas minimal 40% mampu menunjukkan kemampuan fiskal dari semua daerah?
Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, menetapkan tarif pajak hiburan tertentu di Kota Denpasar sebesar 15% (sumber : denpasarkota.go.id)
Kenaikan tarif pajak hiburan tertentu menyulut emosi pengusaha tempat hiburan, terutama daerah yang mengandalkan hiburan malam sebagai mata pencaharian mayoritas masyarakatnya misalnya Kabupaten Badung, Bali. Sejumlah protes dilakukan yang berujung pada relaksasi tarif pajak hiburan tertentu menjadi 15% oleh Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Kabupaten Badung. Kebijakan ini diputus dalam rangka mendukung pelaku usaha untuk menciptakan iklim bisnis yang kompetitif. Bertentangan dengan Kota Denpasar, dan Kabupaten Badung, sejumlah kota/kabupaten di provinsi lain sudah menerapkan kenaikan tarif pajak hiburan tertentu.
ADVERTISEMENT
Daerah yang sudah menerapkan tarif pajak hiburan tertentu sebesar 40% adalah Surakarta, Yogyakarta, dan Mataram diikuti dengan daerah yang mengenakan tarif pajak hiburan tertentu sebesar 50% yaitu Bandung, Bogor, Sukabumi, dan Surabaya. Beberapa kota juga sudah menetapkan tarif pajak hiburan tertentu dengan batas tertinggi 75% yaitu Aceh Besar, Banda Aceh, Binjau, Padang, dan Depok. Melihat sebaran daerah yang setuju dan tidak setuju terhadap kenaikan tarif pajak hiburan tertentu mengindikasikan bahwa local taxing power terhadap sektor tertentu setiap daerah berbeda-beda tergantung aspek kedaerahan. Nyatanya rentang tarif 40% sampai dengan 75% tidak mencerminkan kemandirian fiskal daerah tertentu seperti Bali sehingga merelaksasi tarif pajak.
Apa Maksud Pemerintah Menaikkan Tarif Pajak Hiburan?
Pivot yang dilakukan pemerintah pusat untuk menaikkan tarif pajak hiburan malam tetapi menurunkan tarif pajak hiburan lainnya, mengindikasikan fokus pemerintah dalam menekan aktivitas hiburan malam. Dalam siaran pers, pertimbangan pemerintah adalah jasa hiburan malam tersebut pada umumnya hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Pengamat pajak yang buka suara soal ini berpendapat bahwa ini bukan sekadar karena dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Ia menyoroti hiburan lain seperti pacuan kuda dan kontes kecantikan yang juga merupakan jasa yang dikonsumsi sebagian besar oleh orang kaya tetapi tidak dikenakan tarif 40% sampai dengan 75% ini. Alasan mengenai naiknya tarif pajak hiburan tertentu ini juga tidak tertera pada UU HKPD sehingga, pengamat pajak berspekulasi tujuan dari kenaikan tarif pajak hiburan tertentu untuk menekan aktivitas ilegal seperti perjudian yang banyak terungkap di tempat-tempat hiburan malam. Hal ini didukung oleh Mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Tempat Hiburan Hiburan Jakarta yang menegaskan bahwa 75% tempat hiburan di Jakarta terdapat aktivitas ilegal seperti perjudian, narkoba, dan prostitusi.
ADVERTISEMENT
Pajak Hiburan : Tantangan dan Solusi
Kenaikan tarif pajak hiburan tertentu menghadapi banyak tantangan, mulai dari kesangsian terhadap alasan kenaikan tarif dengan alibi bahwa jasa ini hanya dikonsumsi tertentu, efek domino kenaikan pajak hiburan yang merugikan, hingga kontradiksi kemandirian fiskal pada daerah-daerah tertentu.
Jika memang pemerintah menggunakan kenaikan tarif pajak hiburan sebagai “pajak tidak langsung” atas transaksi ilegal pada tempat hiburan malam, nampaknya kurang efektif. Perjudian misalnya, tergolong ke dalam underground economy yangmana pelacakan aktivitasnya susah karena tersembunyi dan tidak tercatat dalam sistem resmi. Ditambah fakta bahwa perjudian yang marak terjadi kini adalah judi online bukan di tempat hiburan malam. Alih-alih efektif mengurangi perilaku buruk masyarakat melalui kenaikan tarif pajak hiburan, justru kebijakan ini berefek domino terhadap peningkatan bar-bar ilegal hingga meningkatnya pengangguran akibat bar-bar legal kalah bersaing. Kontradiksi kemandirian fiskal juga terjadi, ketika daerah ingin mengoptimalisasi PAD dengan penerimaan pajak, namun “dicekik” dengan aturan batas bawah yang tidak mencerminkan aspek kedaerahan sehingga daerah tidak bisa mengoptimalisasi local taxing power-nya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, berkaca dari beberapa negara yang secara tegas mengenakan pajak langsung atas perjudian seperti Singapura, Makau, hingga Filipina yang memajaki pendapatan dari operator perjudian termasuk kasino dan media daring, maka sebaiknya pemerintah pusatlah yang mengambil alih dengan skema Pajak Penghasilan (PPh) bukan pemerintah daerah. Selain daripada itu, kebijakan ini perlu untuk dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji keseimbangan antara kepentingan fiskal pemerintah dan keberlangsungan industri hiburan yang berkontribusi pada perekonomian lokal.