Konten dari Pengguna

Antara Harapan dan Realita: Gibran, Fufufafa, dan Dinamika Politik Kontemporer

Putu Luna Kirana Sridevi
Mahasiswa Baru di Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik dengan Program Studi Ilmu Komunikasi
13 Oktober 2024 16:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putu Luna Kirana Sridevi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Antara Harapan dan Realita: Gibran, Fufufafa, dan Dinamika Politik Kontemporer. (Image : Putu Luna Kirana Sridevi, dibuat di Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Antara Harapan dan Realita: Gibran, Fufufafa, dan Dinamika Politik Kontemporer. (Image : Putu Luna Kirana Sridevi, dibuat di Canva)
ADVERTISEMENT
Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, kini menjadi pusat perhatian publik, tidak hanya karena posisinya sebagai anak presiden, tetapi juga karena ambisinya untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden. Salah satu karya yang banyak dibicarakan adalah “Fufufafa,” sebuah akun di platform media sosial Kaskus yang menjadi topik hangat dalam diskusi politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini disebabkan karena konten-konten negatif serta kontroversial yang dipublikasikan, terutama dengan dugaan bahwa akun tersebut merupakan milik Gibran atau setidaknya memiliki keterkaitan langsung dengannya. Meskipun telah membantah keterlibatannya, dampak dari akun ini terhadap dinamika politik nasional tidak dapat diabaikan.
Konten-konten yang dipublikasikan oleh "Fufufafa" sering kali mengandung elemen negatif, termasuk penghinaan terhadap kelompok tertentu dan penyebaran informasi yang tidak berimbang. Konten semacam ini tidak hanya merugikan individu atau kelompok yang menjadi sasaran, tetapi juga berpotensi memperburuk polarisasi di masyarakat.
Sebagai seorang calon pemimpin, Gibran harus menyadari bahwa konten yang merugikan dapat menciptakan citra negatif terhadap dirinya. Publik sangat memperhatikan sikap dan tindakan tokoh politik, dan jika terbukti ada keterkaitan dengan konten negatif, maka kepercayaan masyarakat terhadapnya akan terganggu. Dalam politik, kredibilitas adalah aset yang sangat berharga; sekali hilang, sulit untuk didapat kembali.
ADVERTISEMENT
Reaksi masyarakat terhadap "Fufufafa" sangat beragam. Ada yang melihatnya sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan kritik yang sah terhadap tokoh-tokoh politik. Mereka berpendapat bahwa akun seperti "Fufufafa" memberikan suara kepada masyarakat yang mungkin merasa tidak terwakili oleh media arus utama. Di sisi lain, ada yang menganggapnya sebagai tindakan yang tidak etis dan merusak citra politik. Mereka khawatir bahwa penyebaran informasi yang tidak diverifikasi dapat menyesatkan publik dan merusak kepercayaan terhadap institusi politik.
Perbedaan persepsi ini terlihat di berbagai kelompok masyarakat. Kelompok yang lebih kritis terhadap pemerintah cenderung mendukung keberadaan akun seperti "Fufufafa", sementara pendukung pemerintah mungkin melihatnya sebagai ancaman terhadap stabilitas politik.
Dalam era di mana disinformasi dan manipulasi informasi sangat mudah terjadi, tanggung jawab seorang pemimpin—terutama calon wakil presiden—menjadi semakin besar. Gibran harus menyadari bahwa cara dia berinteraksi di media sosial dapat memengaruhi cara orang melihatnya sebagai pemimpin. Dengan memanfaatkan “Fufufafa” untuk menarik perhatian, ada risiko bahwa ia akan kehilangan kredibilitas sebagai politisi yang seharusnya mengedepankan isu-isu penting dan memberikan solusi untuk masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dugaan bahwa akun "Fufufafa" adalah milik Gibran atau ada keterkaitan yang kuat, menambah kompleksitas permasalahan ini. Jika benar bahwa Gibran terlibat dalam pengelolaan atau mendukung konten tersebut, maka hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang tanggung jawab sosial seorang pemimpin. Sebagai figur publik, Gibran harus mampu menunjukkan sikap yang inklusif, menghargai keragaman, dan memperkuat solidaritas di masyarakat.
Ketika seorang calon pemimpin terlibat dalam konten negatif, masyarakat berhak mempertanyakan integritas dan komitmen mereka terhadap nilai-nilai demokrasi. Apakah Gibran ingin dikenal sebagai pemimpin yang menghormati semua pihak, atau justru sebaliknya? Ini adalah pertanyaan yang perlu dijawab oleh Gibran melalui tindakan dan sikapnya.
Tanggapan Gibran terhadap kritik yang muncul juga patut dicermati.
ADVERTISEMENT
"Ya tanya yang punya akun," ujar Gibran saat ditanya soal akun Fufufafa di Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Solo. (10/9/2024)
Respon tersebut telah mengimplikasikan sikap apatis serta menjadi bentuk pengabaian terhadap aspirasi masyarakat. Sebagai seorang calon wakil presiden, Gibran seharusnya memahami bahwa dialog dengan publik sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas. Respon yang minim atau tampaknya tidak peduli dapat memberikan sinyal negatif bahwa ia tidak menghargai pandangan masyarakat.
Hal ini berpotensi merusak citranya sebagai calon pemimpin yang peduli dan responsif. Dalam politik, komunikasi yang baik dengan publik merupakan aspek yang krusial, dan sikap apatis hanya akan memperburuk kesan negatif yang ada.
Dugaan keterlibatan Gibran dengan akun tersebut juga mengangkat isu integritas. Publik berhak mempertanyakan apakah dia benar-benar mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam kampanyenya. Jika terbukti ada keterkaitan, ini dapat merusak reputasinya di mata pemilih. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu menunjukkan komitmen terhadap etika dan moralitas.
ADVERTISEMENT
Sebagai calon wakil presiden, Gibran memiliki tanggung jawab moral untuk merespons kritik ini dengan serius. Sikap diam atau tidak peduli terhadap konten negatif hanya akan memperburuk persepsi publik terhadapnya. Ia harus menunjukkan bahwa dirinya tidak hanya seorang politisi, tetapi juga seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan sensitif terhadap isu-isu sosial.
Dalam kebisingan politik yang ditandai dengan fenomena "Fufufafa," tampaknya kita kembali ke titik awal— masyarakat menginginkan perubahan, tetapi yang muncul justru adalah para calon yang berlomba-lomba untuk menjadi "alternatif" terbaik dengan menggunakan ketidakpuasan sebagai alat pemasaran. Sementara itu, Calon Presiden Negara Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, berusaha menampilkan diri sebagai pahlawan perubahan, tanpa menyadari bahwa terlalu banyak retorika dan terlalu sedikit tindakan hanya akan menambah lapisan ketidakpercayaan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Apakah kita akan terus berputar dalam siklus yang sama, di mana pemimpin baru menjanjikan hal-hal yang sama dengan kemasan yang berbeda? Tentu saja, kita bisa berharap bahwa kali ini ada calon yang tidak hanya pandai berkomunikasi, tetapi juga berani mengambil langkah nyata. Namun, dalam realitanya, harapan tersebut sering kali berakhir sebagai ilusi di tengah permainan politik yang berujung sandiwara. Di tengah-tengah dinamika politik, "Fufufafa" telah menjadi semacam propaganda atau justru implementasi dari “senjata makan tuan”.
Akhir kata, siapa yang tahu? Mungkin kali ini, kita akan mendapatkan pemimpin yang mampu mengubah sarkasme menjadi tindakan nyata. Atau mungkin, kita hanya akan terus menyaksikan drama politik yang sama, dengan penonton yang semakin skeptis. Mari kita saksikan pergerakan dan perkembangan para pemangku kekuasaan, sambil berharap untuk tidak terlalu kecewa.
ADVERTISEMENT