NDP: Kompas HMI untuk Konsolidasi Masyarakat Sipil

Riyadh Putuhena
Ketua Bidang Otonomi Daerah Badko HMI Jawa Timur 2021-2023, Fungsionaris PB HMI 2024-2026, Peneliti YLBHI-LBH Malang.
Konten dari Pengguna
30 Maret 2021 15:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riyadh Putuhena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pekan lalu Kongres HMI Ke-XXXI baru saja usai di Surabaya. Kongres merupakan forum kekuasaan tertinggi di HMI. Tak heran jika kongres memiliki kesakralan tersendiri bagi keluarga besar HMI. Kongres selain menjadi upaya evaluasi dan proyeksi secara formal juga menjadi momen konsolidasi politik para kader cum alumni. Anda dapat melihat melalui banyak sisi tergantung di mana Anda berada saat prosesi kongres berlangsung. Warung kopi, kafe, restoran hotel, atau di emperan jalan menentukan dari sudut mana Anda melihat kongres HMI. Saya tentunya tidak (belum) mampu menggunakan seluruh sudut pandang itu.
ADVERTISEMENT
Mari kita awali dengan melihat HMI berdasarkan sudut yang filosofis. Ya, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI adalah teks filosofis racikan Cak Nur (Nurcholish Madjid) untuk membekali para kader agar tidak hilang arah selama ber-HMI. NDP setiap tahunnya hampir tidak pernah absen disampaikan saat proses inisiasi mahasiswa menjadi anggota HMI. Cak Nur merumuskan NDP untuk memantapkan arah perjuangan HMI demi mencapai tujuan organisasi ini.
NDP dalam gerak sejarahnya merupakan akumulasi kegundahan Cak Nur terhadap problem umat yang pada saat itu kian terjebak pada persoalan eksoterik. Menjelajahi NDP sama rasanya dengan mencicipi satu per satu karya-karya Cak Nur. Tidak berlebihan jika NDP disebut sebagai versi mini dari seluruh karya beliau.
Di dalam NDP setidaknya kita dapat menemukan tujuh bagian pembahasan, yakni: I. Dasar-dasar kepercayaan; II. Pengertian-pengertian dasar tentang kemanusiaan; III. Kemerdekaan manusia (ikhtiar) dan keharusan universal (takdir); IV. Ketuhanan yang maha esa dan perikemanusiaan; V. Individu dan masyarakat.; VI. Keadilan sosial dan keadilan ekonomi; VII. Kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Ketujuh bagian ini simetris dan rasanya amat sulit dipahami jika dibaca secara terpisah. Pada bagian pertama Cak Nur secara tersirat bilang bahwa dengan bersyahadat berarti melepaskan segala bentuk belenggu manusia terhadap apa pun dan siapa pun kecuali Tuhan (dengan T kapital). Bersyahadat berarti berkomitmen untuk tidak ditindas atau menindas. Bagian berikutnya Cak Nur menyampaikan bahwa penyerahan yang maksimal terhadap Tuhan juga bukan berarti meniadakan upaya (ikhtiar) seorang makhluk, sebab cara pikir macam ini yang pada akhirnya menciptakan kemandekan peradaban. Berserah pada takdir semata adalah cara pandang yang amat keliru.
ADVERTISEMENT
Lantas, pada bagian mana Cak Nur mengingatkan pentingnya konsolidasi kekuatan masyarakat sipil sebagai sebuah upaya kemajuan umat? Jika kita cermat pada paragraf terakhir NDP bagian 5 Cak Nur dengan lugas menyampaikan:
Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong-royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang.
Politik dalam NDP punya peran penting —tetapi bukan satu-satunya jalan— dalam upaya mewujudkan umat yang bermartabat. Pada paragraf ke tiga NDP bagian VI Cak Nur gamblang menyatakan bahwa:
ADVERTISEMENT
maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara dan pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Dari cara pandang tersebut dapat disimak betapa HMI menaruh harapan besar tentang kemajuan umat lewat entitas politik yang bernama bangsa dan negara. Bahkan jika ditarik lebih awal lagi latar belakang HMI berdiri pada awalnya bermotif pada eksistensi kemerdekaan Indonesia yang tengah menghadapi ancaman kembalinya Belanda serta mempertinggi derajat bangsa Indonesia.
Lewat konsolidasi masyarakat sipil pula HMI dapat menuntaskan masalah ekstremisme agama yang kian gencar dipertontonkan belakangan ini. Pemahaman yang serampangan terhadap cara beragama membuat kekerasan atas dalih agama tumbuh subur. Cak Nur sekali waktu dalam sebuah pengantar pada buku Islam Mazhab HMI karya Azhari Akmal Tarigan mengemukakan tentang sebuah gejala psikologis yakni convert complex. Convert complex ialah sebuah fenomena psikologis yang dialami seseorang yang “hijrah” dari kutub kemaksiatan ekstrem ke kutub yang sangat religius. Orang-orang yang mengidap convert complex cenderung memahami agama secara kaku dan saklek. Imbasnya tentu menegasikan penganut agama yang lain. Penganut agama lain dianggap sebagai the other yang pantas menerima ganjaran kekerasan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat adil makmur yang di-ridhoi Allah SWT adalah masyarakat yang pro terhadap kebebasan sipil. Karena hanya dengan menghargai kebebasan sipil manusia bisa benar-benar lepas dari belenggu para tuhan-tuhan (dengan t kecil). Peristiwa yang makin akrab seperti penyerangan terhadap ruang-ruang sipil (shrinking civic space) harusnya menjadi perhatian penuh keluarga besar HMI (HMI dan KAHMI). Sebab, tak acuh dengan peristiwa tersebut sama artinya dengan menegasikan ke-HMI-an yang melekat sejak LK I.
HMI harus mampu menjadi cerminan intelektual yang terbuka akan kritik. Untuk hal ini paling tidak HMI menghadapi kenyataan bahwa harapan perbaikan HMI selalu muncul setiap tahun, tetapi harapan itu nyaris dihancurkan setiap bulan. Menguatnya ikatan patron-klien dalam tubuh HMI berimbas pada lemahnya independensi seorang kader. Perbaikan organisasi ini harus dimulai dari kerelaan para patron meletakkan pedang intervensinya dan membiarkan para kader tumbuh dan berkembang dengan kehendak bebasnya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, HMI harus terlibat aktif dalam agenda-agenda konsolidasi masyarakat sipil pada level kampus maupun di luar kampus. Pada tubuh HMI yang sangat kuat ikatan patron-kliennya kerap ditemukan sikap HMI selalu seiring dengan para alumni. Problemnya bukanlah kesamaan sikap, tetapi cara dan wujud sikap itu sering kali kontra produktif dan berlawanan dengan semangat kebebasan masyarakat sipil. Dari sini muncul istilah kakanda-isme. Kakandaisme selain sangat patriarkis juga sangat feodalistik. Kakandaisme kurang lebih dapat dimaknai sebagai keharusan para kader untuk tunduk dan patuh pada sikap politik senior tertentu.
HMI milik banyak orang. Hal ini dapat ditinjau dari banyaknya orang yang mencari hidup dari HMI. Begitu pun yang menghidupi. Idealnya, para kader dan alumni berlomba-lomba menjadi yang terakhir untuk menunjukkan rasa kepemilikannya terhadap himpunan. Bukan malah menjadikan HMI sebagai nilai tukar dalam sebuah transaksi politik murahan. Menghidupi HMI berarti mewarnai diskursus intelektual. Sebab hanya dengan kembali pada khitah intelektual nilai tawar HMI sebagai elemen kekuatan masyarakat sipil dapat menguat selain hanya sebatas mengandalkan jejaringnya dengan para alumni semata.
ADVERTISEMENT
Jika HMI masih saja mengambil jarak yang jauh dari agenda-agenda penguatan masyarakat sipil maka HMI tidak lebih dari sebuah jaringan politik yang sarat nepotisme atau tempat geladi resik sebelum terjun pada arena politik praktis semata. HMI akan tenggelam seiring dengan tenggelamnya para alumni. Namun, seperti biasa HMI selalu punya audacity of hope yang terus tumbuh setiap tahun walau dihancurkan hampir setiap bulan.
Tidak tunduk terdiam untuk ditindas, tapi bangkit menatap untuk melawan karena mundur adalah sebuah pengkhianatan.
Yakin Usaha Sampai!
Riyadh Putuhena, Ketua Bidang PTKP HMI Cabang Malang