Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Ketika Perlawanan Menjadi Kepatuhan: Perempuan Bali dalam Jerat Common Sense
27 April 2025 16:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Putu Saraswati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perempuan Bali seringkali dipandang sebagai sosok yang kuat, pekerja keras, dan memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial dan budaya. Namun di balik citra itu, ada paradoks besar yang jarang dibicarakan: perlawanan mereka terhadap ketidakadilan gender sering kali justru berujung pada bentuk-bentuk kepatuhan baru terhadap sistem patriarki. Ini terjadi bukan karena mereka tidak mampu melawan, melainkan karena struktur berpikir common sense yang dibentuk oleh budaya patriarki telah mengakar begitu dalam.
ADVERTISEMENT
Di Bali, perempuan memegang banyak peran penting: dari menjaga tradisi adat, mengelola rumah tangga, hingga berpartisipasi dalam upacara keagamaan. Namun semua peran tersebut sering kali dibingkai sebagai "kewajiban alami" perempuan. Sejak kecil, perempuan diajarkan bahwa pengabdian kepada keluarga dan masyarakat adalah bentuk ideal dari perempuan Bali sejati. Pola pikir ini menjadi bagian dari common sense, diterima begitu saja tanpa mempertanyakan asal usul atau dampaknya.
Ketika perempuan mulai mempertanyakan atau mencoba melawan ketidakadilan ini, seringkali bentuk perlawanan mereka justru dibingkai dalam kerangka nilai-nilai lama. Misalnya, perempuan yang berusaha mandiri secara ekonomi dipuji karena "berbakti kepada keluarga," bukan karena kemandirian itu sendiri. Dengan demikian, tindakan progresif mereka tetap dikembalikan ke dalam narasi kepatuhan terhadap peran tradisional.
ADVERTISEMENT
Inilah yang disebut jebakan common sense patriarki: bahkan saat perempuan mencoba mengubah nasib mereka, hasil akhirnya tetap menguatkan struktur lama. Alih-alih menciptakan perubahan radikal, perlawanan mereka justru direduksi menjadi bentuk lain dari kepatuhan.
Patriarki di Bali, seperti di banyak tempat lain, tidak hanya berdiri di atas dominasi fisik atau hukum, melainkan melalui kontrol makna dan nilai. Ia membentuk kesadaran kolektif tentang apa yang dianggap “baik”, “benar”, dan “terhormat”. Perempuan yang berani melawan norma sering kali distigma: dianggap tidak sopan, melawan kodrat, bahkan dikucilkan. Oleh sebab itu, banyak perempuan memilih "perlawanan aman" perubahan dalam batasan norma lama agar tetap diterima oleh komunitas.
Contohnya bisa dilihat dalam praktik upacara adat. Banyak perempuan muda Bali hari ini mulai mempertanyakan pembagian tugas adat yang berat sebelah. Namun, alih-alih menolak total, mereka mencari cara untuk "memodernisasi" tugas-tugas itu tanpa meninggalkan esensi adat. Ini tentu menunjukkan kesadaran baru, tetapi juga memperlihatkan betapa kuatnya kekuasaan budaya dalam mengarahkan bentuk-bentuk resistensi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, media sosial kini menjadi arena baru bagi perempuan Bali untuk bersuara. Mereka mengekspresikan aspirasi, berbicara tentang pengalaman ketidakadilan, bahkan membentuk komunitas untuk saling mendukung. Namun tetap saja, banyak yang membingkai perjuangan mereka dengan narasi "perempuan Bali yang setia menjaga budaya". Lagi-lagi, keberanian untuk berbicara tetap dikaitkan dengan nilai-nilai tradisional, bukan dengan hak-hak individu sebagai manusia merdeka.
Fenomena ini tidak berarti perempuan Bali gagal melawan patriarki. Justru, ini menunjukkan betapa kompleks dan kuatnya sistem budaya yang membentuk pola pikir dan perilaku kolektif. Perubahan budaya bukanlah sesuatu yang bisa terjadi secara instan. Ia membutuhkan proses panjang: membangun kesadaran kritis, menciptakan ruang-ruang diskusi, dan memperluas horizon berpikir generasi muda.
ADVERTISEMENT
Penting bagi kita untuk terus mendorong perempuan dan laki-laki untuk membongkar common sense yang tidak adil ini. Edukasi, literasi gender, serta penguatan komunitas kritis harus menjadi bagian dari upaya perubahan. Kesadaran bahwa "yang biasa" tidak selalu "yang benar" harus terus dibangun, agar perempuan Bali (dan perempuan di mana pun) bisa benar-benar bebas menentukan hidup mereka tanpa harus selalu berdamai dengan norma patriarki.
Akhirnya, pertanyaan penting yang harus kita renungkan adalah: apakah kita cukup berani untuk mendukung bentuk-bentuk perlawanan yang benar-benar mendobrak, bukan sekadar mengulang kepatuhan dalam wajah baru? Tanpa keberanian kolektif itu, perlawanan perempuan Bali akan terus menjadi bayang-bayang dari kepatuhan lama—sebuah pergerakan yang tampak berani, namun tetap terperangkap dalam jerat tak kasat mata patriarki budaya.
ADVERTISEMENT