Konten dari Pengguna

Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Dalam Perspektif Hukum Islam

Qayla Fariha Azfi
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta fakultas Syari'ah dan hukum Prodi Hukum Keluarga
16 September 2024 18:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Qayla Fariha Azfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak muslim.Foto:Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak muslim.Foto:Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hak asuh anak menurut islam adalah pemeliharaan anak yang masih kecil atau belum bisa mengurus dirinya sendiri,istilah ini berasal dari bahasa Arab yang berarti mengasuh, merawat, dan memeluk.
ADVERTISEMENT
Hak asuh ( Hadhanah) merupakan kebutuhan dan keharusan demi kemaslahatan anak. Kewajiban ini berlaku bagi kedua orang tua, baik dalam keadaan berumah tangga maupun bercerai.
Ilustrasi ibu dan anak laki-laki.Foto:Shutterstock
Menurut perspektif hukum islam hak asuh (hadhanah) sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW apabila terjadi perceraian antara suami-istri,maka ibulah yang lebih berhak untuk mendidik/mengasuh dan memelihara anak-anaknya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari’at.[1]
ADVERTISEMENT
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي
“Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku“.
Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
“Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah“.[2]
Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak asuhnya.
Ilustrasi ibu dan anak perempuan.Foto:Shutterstock
Soal siapa yang berhak mengurus hadhanah, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa hadhanah adalah haknya hadhin dan hadhinah (orang yang memelihara). Ia berhak menggugurkan haknya meski tanpa pengganti.
ADVERTISEMENT
Hadhanah menurut Imam Syafi'i memelihara anak yang belum mummayiz atau belum dewasa. Apabila terjadi perceraian dalam pernikahan dan terjadi persengkataan dalam pengasuhannya,maka Syafi'i mensyaratkan pengasuhan itu dilimpahkan pada ibunya ibu.
Menurut pendapat Mazhab Maliki hadhanah adalah pemeliharaan anak bagi orang yang berhak memeliharanya dan pemeliharaan ini dilakukan sampai usia Mumayyiz.
Berdasarkan pendapat imam hanafi dan hambali masa hadhanah anak adalah sampai dewasa dan anak tidak diberikan pilihan dengan siapa akan diasuh, lebih lanjut imam Hambali menambahkan bahwa masa hadhanah anak laki-laki sampai berusia 7 tahun setelah itu anak laki-laki diperbolehkan untuk ikut atau di asuh oleh ayahnya.
Setiap anak berhak untuk dapat hidup,tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Qayla Fariha Azfi
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Hukum Keluarga