Konten dari Pengguna

Autocratic Legalism dalam RUU Perubahan Keempat UU MK

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Member of Surabaya Academia Forum, Center for Research and Humanity
2 Juni 2024 14:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: istock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: istock
ADVERTISEMENT
Autocratic Legalism merupakan sebuah konsep yang dikemukakan oleh Kim Lane Scheppele untuk menggambarkan cara rezim otoriter menggunakan hukum sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan mereka secara legalistik tetapi manipulatif. Rezim otoriter ini menggunakan perubahan undang-undang untuk mengkonsolidasi kekuasaan, menghambat oposisi, dan mengendalikan lembaga-lembaga negara. Proses legislasi sering kali dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa, mengurangi transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, lembaga yudikatif dijadikan alat untuk melegitimasi kebijakan pemerintah dan menghukum oposisi, sementara hukum digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul.
ADVERTISEMENT
RUU Perubahan Keempat UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) mencerminkan beberapa karakteristik Autocratic Legalism. Perubahan ini disepakati dalam Pembicaraan Tingkat I pada 13 Mei 2024, di tengah kurangnya partisipasi publik dan transparansi. Dokumen perancangan undang-undang tidak dapat diakses, dan pokok-pokok pembahasan tidak dipublikasikan secara luas. Hal ini mencerminkan upaya untuk menghindari pengawasan publik dan mempercepat proses legislasi demi kepentingan tertentu. Proses legislasi yang tertutup dan tergesa-gesa ini menunjukkan kurangnya akuntabilitas dan mengarah pada manipulasi hukum untuk kepentingan politik partisan.
Perubahan signifikan dalam RUU ini adalah masa jabatan hakim konstitusi yang diubah dari 15 tahun menjadi 10 tahun. Pergantian masa jabatan yang sering dalam satu dekade terakhir menunjukkan ketidakstabilan hukum dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Selain itu, Pasal 23A ayat (2), (3), dan (4) memberikan dasar bagi lembaga pengusul untuk melakukan recall terhadap hakim konstitusi dengan mekanisme evaluasi setiap lima tahun. Recall ini dapat menghambat independensi dan imparsialitas MK, karena hakim konstitusi akan bergantung pada kehendak lembaga pengusul. Ini adalah bentuk intervensi semena-mena yang mengancam kebebasan hakim dalam membuat keputusan yang bertentangan dengan kepentingan penguasa.
ADVERTISEMENT
Artinya, RUU Perubahan Keempat UU MK dijadikan sebagai upaya strategis untuk memperkuat kontrol pemerintah terhadap lembaga yudikatif dan mengurangi mekanisme check and balance. Perubahan ini mencerminkan instrumen hukum yang digunakan untuk mendukung kekuasaan politik dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan independensi lembaga negara.
Intervensi melalui Majelis Kehormatan MK
Pasal 27A Perubahan Keempat UU MK menambah personil dalam Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang diusulkan oleh tiga lembaga pengusul. Penambahan ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi intervensi terhadap lembaga penegak etik MK. Dalam sistem demokrasi yang sehat, penegakan etik harus bebas dari pengaruh eksternal untuk memastikan bahwa keputusan dan tindakan lembaga yudikatif didasarkan pada hukum dan integritas, bukan pada tekanan politik. Intervensi dalam MKMK bisa merusak kepercayaan publik terhadap kemampuan MK untuk menegakkan standar etik secara independen.
ADVERTISEMENT
Penambahan personil dalam MKMK yang diusulkan oleh tiga lembaga pengusul membuka pintu bagi potensi intervensi terhadap lembaga penegak etik MK. Dalam proses seleksi dan penunjukan personil baru, lembaga pengusul dapat mencoba memilih individu yang lebih condong pada kepentingan politik atau golongan tertentu, daripada individu yang benar-benar mewakili keahlian dan integritas yang diperlukan untuk menjalankan fungsi penegakan etik dengan baik.
Selanjutnya, penambahan personil dalam MKMK yang diusulkan oleh lembaga pengusul juga dapat menciptakan ketergantungan yang berlebihan pada lembaga tersebut. Hakim konstitusi yang menjadi anggota MKMK mungkin merasa terbebani oleh kepentingan politik dari lembaga pengusul yang mengusulkan mereka, sehingga dapat mengorbankan independensi dan integritas dalam penegakan etik.
Selain daripada itu, intervensi politik dalam MKMK juga ikut mengancam keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kekuasaan haruslah dipisahkan dan dijaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Namun, jika lembaga penegak etik seperti MKMK menjadi terlalu terikat pada kepentingan politik tertentu, maka keseimbangan kekuasaan dapat terganggu.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem demokrasi yang sehat, penegakan etik haruslah dilakukan secara independen dan bebas dari pengaruh politik eksternal. Majelis Kehormatan MK memiliki peran krusial dalam menjaga integritas dan moralitas hakim konstitusi, serta menegakkan standar etik yang tinggi dalam pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, menjaga independensi MKMK dan memastikan bahwa proses penegakan etik dilakukan secara transparan, adil, dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik adalah suatu keharusan dalam mempertahankan marwah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang menjaga keadilan dan kebenaran dalam sistem demokrasi. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi dapat terus eksis sebagai penjaga konstitusi yang terdepan, yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara dan menjamin supremasi konstitusi.