Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Business Judgment Rule dan Implikasinya terhadap Pengawasan BUMN
27 Februari 2025 13:52 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Prinsip business judgment rule merupakan salah satu asas fundamental dalam hukum korporasi yang memberikan perlindungan terhadap direksi dalam mengurus perusahaan. Prinsip ini menegaskan bahwa direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian perusahaan selama mereka dapat membuktikan bahwa tindakan mereka tidak disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian, dilakukan dengan itikad baik serta kehati-hatian, tidak memiliki benturan kepentingan dalam pengelolaan investasi, dan tidak memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah. Dalam Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang baru, prinsip ini diadopsi untuk memberikan proteksi bagi menteri, organ, dan pegawai BUMN dalam menjalankan tugas mereka.
ADVERTISEMENT
Sekilas, prinsip ini tampak adil dan relevan dalam memberikan ruang bagi direksi dan pengelola BUMN untuk mengambil keputusan bisnis tanpa rasa takut akan tuntutan hukum yang berlebihan. Namun, penerapannya dalam UU BUMN yang baru justru menimbulkan sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan pengawasan terhadap BUMN itu sendiri. Salah satu kekhawatiran utama adalah semakin berkurangnya kontrol eksternal terhadap BUMN, terutama dengan adanya pemangkasan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebelumnya, BPK memiliki wewenang untuk melakukan berbagai jenis audit terhadap BUMN. Namun, dalam UU BUMN yang baru, BPK hanya dapat melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu, yang pelaksanaannya pun harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa fungsi pengawasan yang seharusnya bersifat profesional dan akuntabel justru dapat dipolitisasi.
ADVERTISEMENT
Minimnya pengawasan semakin diperburuk oleh konstelasi politik di DPR yang saat ini hampir tidak memiliki oposisi yang kuat. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap efektivitas mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan. Dengan kondisi DPR yang didominasi oleh partai-partai pro-pemerintah, kemungkinan adanya pengawasan ketat terhadap kebijakan BUMN menjadi semakin kecil. Konsekuensinya, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan BUMN dapat terancam.
Selain itu, UU BUMN yang baru juga tidak mengharmoniskan ketentuannya dengan undang-undang lain yang berkaitan, seperti Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah dihilangkannya frasa “yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan” dalam UU BUMN. Dalam UU Tipikor dan UU Keuangan Negara, keuangan negara mencakup seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, termasuk kekayaan yang dikelola oleh BUMN. Namun, dengan penghapusan frasa tersebut, dana yang diperoleh BUMN dari negara tidak lagi dianggap sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Akibatnya, status hukum kekayaan BUMN menjadi tidak jelas.
ADVERTISEMENT
Implikasi dari perubahan ini sangat signifikan, terutama dalam konteks penegakan hukum terhadap kasus korupsi di BUMN. Jika kekayaan BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai keuangan negara, maka aparat penegak hukum dapat menghadapi kesulitan dalam mengusut tindak pidana korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN. Pasalnya, banyak kasus korupsi yang terjadi di BUMN selama ini diproses berdasarkan definisi keuangan negara dalam UU Tipikor. Ketidakjelasan status hukum kekayaan BUMN dapat membuka celah bagi pelaku korupsi untuk menghindari jerat hukum dengan dalih bahwa mereka tidak merugikan keuangan negara.
Selain itu, UU BUMN yang baru juga menimbulkan permasalahan dalam aspek pemberantasan suap dan gratifikasi. Dalam hukum Indonesia, tindak pidana suap umumnya hanya berlaku bagi pejabat negara. Sementara itu, konsep bribery in the private sector masih belum diakomodasi secara memadai, meskipun Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Dalam konteks BUMN, penghilangan status pejabat BUMN sebagai pejabat publik berarti bahwa tindak pidana suap yang dilakukan di lingkungan BUMN berpotensi tidak dapat dijerat dengan ketentuan yang berlaku bagi pejabat negara. Hal ini menciptakan risiko bahwa korupsi dalam BUMN akan semakin sulit untuk ditindak.
ADVERTISEMENT
Privatisasi BUMN yang tengah menjadi agenda pemerintah juga semakin memperkuat urgensi regulasi yang mengakomodasi pencegahan korupsi di sektor swasta. Dalam skema privatisasi, sebagian kepemilikan BUMN akan dialihkan kepada pihak swasta, yang berarti mekanisme pengawasan terhadap potensi korupsi dalam transaksi bisnis BUMN menjadi semakin kompleks. Namun, UU BUMN yang baru tidak memberikan ketentuan yang cukup kuat untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam proses privatisasi ini. Dengan minimnya pengaturan mengenai bribery in the private sector, maka ada risiko bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses privatisasi dapat melakukan praktik korupsi tanpa terjerat oleh hukum yang ada.
Selain itu, prinsip business judgment rule yang diterapkan dalam UU BUMN juga berpotensi memberikan perlindungan yang terlalu luas bagi direksi dan pengelola BUMN. Dengan adanya prinsip ini, mereka dapat terhindar dari pertanggungjawaban hukum selama dapat membuktikan bahwa tindakan mereka dilakukan dengan itikad baik. Namun, batasan mengenai bagaimana itikad baik ini diukur masih belum diatur secara jelas dalam UU BUMN. Tanpa mekanisme yang jelas untuk menilai itikad baik ini, ada risiko bahwa prinsip business judgment rule dapat disalahgunakan untuk melindungi keputusan yang sebenarnya merugikan BUMN dan kepentingan negara.
ADVERTISEMENT
Melihat berbagai permasalahan di atas, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memperbaiki regulasi terkait pengelolaan dan pengawasan BUMN. Pertama, perlu adanya harmonisasi antara UU BUMN dengan UU Keuangan Negara dan UU Tipikor untuk memastikan bahwa status hukum kekayaan BUMN tetap jelas dan berada dalam lingkup keuangan negara. Kedua, perlu adanya penguatan mekanisme pengawasan terhadap BUMN, termasuk dengan mengembalikan kewenangan BPK untuk melakukan audit secara lebih luas tanpa harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Ketiga, Indonesia harus segera mengadopsi regulasi yang mengatur tindak pidana suap di sektor swasta agar dapat mengakomodasi skema bribery in the private sector, terutama dalam konteks privatisasi BUMN.
Selain itu, penerapan prinsip business judgment rule dalam UU BUMN juga harus diperjelas, terutama dalam hal mekanisme penilaian itikad baik dan kehati-hatian direksi dalam mengambil keputusan. Diperlukan parameter yang lebih konkret untuk menilai apakah suatu keputusan bisnis benar-benar dilakukan dengan itikad baik, atau justru merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan yang terselubung.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, meskipun prinsip business judgment rule dalam UU BUMN bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pengelola BUMN, implementasinya yang tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat justru dapat membuka celah bagi berbagai bentuk penyimpangan. Oleh karena itu, revisi terhadap regulasi yang ada serta penguatan pengawasan terhadap BUMN menjadi langkah yang sangat mendesak untuk dilakukan guna memastikan bahwa prinsip ini tidak digunakan sebagai tameng untuk menghindari pertanggungjawaban hukum atas tindakan yang merugikan negara dan masyarakat.